30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Beli Pesawat, Presiden Disomasi

Jika tak Dibatalkan, akan Digugat

JAKARTA- Pembelian pesawat kepresidenan yang menelan anggaran Rp910 miliar menuai gugatan. Sejumlah LSM mendesak pemerintah agar membatalkan pembelian pesawat kepresidenan. Jika tidak, gabungan LSM itu akan melayangkan gugatan warga negara (citizen law suit) ke pengadilan.
“Jika dalam tujuh hari somasi ini tidak ditindaklanjuti, kami akan melayangkan gugatan warga negara,” ujar Uchok Sky Khadafy, koordinator Investigasi dan Advokasi Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), di Jakarta kemarin (19/2).

Menurut Uchok, pembelian pesawat kepresidenan dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) telah melanggar ketentuan konstitusi. Sesuai dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 disebutkan, APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat.

Belanja pemerintah yang disetujui DPR untuk membeli pesawat jenis Boeing 737-800 business jet 2 itu dituangkan dalam APBN yang sifatnya multiyears atau dilakukan di lebih dari satu tahun anggaran berjalan. Pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp92 miliar, tahun 2012 sebesar Rp339 miliar untuk pesawat, ditambah dengan lelang pengadaan interior dan keamanan senilai USD 31 juta.

Namun, diketahui sumber pemasukan APBN untuk pembelian pesawat kepresidenan itu berasal dari utang luar negeri. Anggaran pembelian pesawat kepresidenan tersebut tercantum dalam pos belanja lain-lain bagian lancar utang luar negeri dan pos utang jangka panjang luar negeri APBN. “Hal ini jelas-jelas membebani APBN itu sendiri,” ujar Uchok.

Pemerintah beralasan, dengan membeli pesawat kepresidenan, negara bisa menghemat anggaran USD 33 juta selama lima tahun. Logika penghematan itu dinilai menyesatkan publik dan sekaligus “mengelabui” DPR. Sebetulnya, sewa pesawat kepresidenan sangat bergantung kepada frekuensi perjalanan yang dilakukan. “Selama presiden melakukan pengetatan perjalanan ke luar negeri, tentunya biaya sewa ini akan jauh lebih murah,” ujar Uchok.
Sementara dari pihak Istana Negara belum memberikan tanggapan atas pengajuan somasi tersebut. Saat dikonfirmasi via telepon, tidak ada tanggapan dari Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha. (bay/c4/jpnn)

Jika tak Dibatalkan, akan Digugat

JAKARTA- Pembelian pesawat kepresidenan yang menelan anggaran Rp910 miliar menuai gugatan. Sejumlah LSM mendesak pemerintah agar membatalkan pembelian pesawat kepresidenan. Jika tidak, gabungan LSM itu akan melayangkan gugatan warga negara (citizen law suit) ke pengadilan.
“Jika dalam tujuh hari somasi ini tidak ditindaklanjuti, kami akan melayangkan gugatan warga negara,” ujar Uchok Sky Khadafy, koordinator Investigasi dan Advokasi Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), di Jakarta kemarin (19/2).

Menurut Uchok, pembelian pesawat kepresidenan dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) telah melanggar ketentuan konstitusi. Sesuai dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 disebutkan, APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk kemakmuran rakyat.

Belanja pemerintah yang disetujui DPR untuk membeli pesawat jenis Boeing 737-800 business jet 2 itu dituangkan dalam APBN yang sifatnya multiyears atau dilakukan di lebih dari satu tahun anggaran berjalan. Pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp92 miliar, tahun 2012 sebesar Rp339 miliar untuk pesawat, ditambah dengan lelang pengadaan interior dan keamanan senilai USD 31 juta.

Namun, diketahui sumber pemasukan APBN untuk pembelian pesawat kepresidenan itu berasal dari utang luar negeri. Anggaran pembelian pesawat kepresidenan tersebut tercantum dalam pos belanja lain-lain bagian lancar utang luar negeri dan pos utang jangka panjang luar negeri APBN. “Hal ini jelas-jelas membebani APBN itu sendiri,” ujar Uchok.

Pemerintah beralasan, dengan membeli pesawat kepresidenan, negara bisa menghemat anggaran USD 33 juta selama lima tahun. Logika penghematan itu dinilai menyesatkan publik dan sekaligus “mengelabui” DPR. Sebetulnya, sewa pesawat kepresidenan sangat bergantung kepada frekuensi perjalanan yang dilakukan. “Selama presiden melakukan pengetatan perjalanan ke luar negeri, tentunya biaya sewa ini akan jauh lebih murah,” ujar Uchok.
Sementara dari pihak Istana Negara belum memberikan tanggapan atas pengajuan somasi tersebut. Saat dikonfirmasi via telepon, tidak ada tanggapan dari Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha. (bay/c4/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/