Oleh: Riza Multazam Luthfy
Ia berpunca dari udik. Teman-temannya meruahnya Ratu Udik. Karena memang perangainya yang kekampung-kampungan. Tampang dan tingkahnya yang lugu, tak sanggup menyembunyikan tabiat orang desa. Ditambah lagi dengan kebutaannya dalam hal teknologi. Sehingga, suara-suara sumbang kerap ditenggak. Joni dan Fiko, adalah dua di antara mereka yang mencibirnya terang-terangan. Pasalnya, semua tugas ia tunaikan dengan menulisnya di atas kertas folio. Tak terkecuali, tugas berbentuk paper ataupun makalah.
atu Udik termasuk korban. Ya, tepatnya korban ketidaktahuan. Karena ketidaktahuannya, ia mengambil jurusan sastra. Sebuah jurusan, yang dalam benaknya, kelak mengirimnya menjadi seorang guru.
“Nduk. Besok kamu jadi guru, ya. Dulu emak ngebet jadi guru, tapi gak bisa. Enam hari setelah lulus SD, bapak langsung melamar emak”.
Pesan emaknya terpacak dalam-dalam. Sehingga ia berazam menjadi pengajar sekolah di kampungnya.
Kekecewaan menyergap. Ketika menginjak semester dua, Ratu Udik baru mafhum bahwa sebenarnya, bila bercita-cita guru, maka kudu bersila pada jurusan pendidikan. Bukan sastra Jerman. Makanya, ia agak heran, mengapa di jadwal kuliah, sama sekali tidak tercium mata kuliah yang berhubungan dengan pendidikan. Dan dugaannya selama ini, bahwa setiap sarjana bisa langsung jadi guru dan mengajar di sekolah, harus lekas-lekas disingkirkan. (Barangkali persangkaannya benar, menurut konteks masa lalu. Lulus SMP saja, boleh jadi guru. Namun sekarang, sarjana pendidikan kian membludak. Mereka saja terancam tidak mendapat jatah kursi guru, apalagi jebolan non-pendidikan).
Nasi terlanjur menjelma bubur. Penyesalan harus dihapuskan. Penyesalan yang berlarat-larat hanya akan menerbitkan penderitaan. Akhirnya, Ratu Udik nekat menyambung jalan yang kadung ia tempuh.
“Maaf, Mak. Bukan bermaksud mendurhakaimu. Aku akan menapaki jalan yang terlanjur kupilih. Sesulit apapun”
Bertukas-tukas batinnya bergumam.
***
Berawal dari tugas Pak Janu, dosen Pengantar Ilmu Sastra, ia berkenalan dengan puisi. Kenal dalam arti sesungguhnya. (Karena semasih belajar di SD, jika bertemu dengan halaman yang memuat puisi, Bu Nanik langsung melewatinya). Guna menggenapi tugas Pak Dosen, Ratu Udik menggarap puisi cinta. Ya, cinta. Tema yang sangat dekat dan akrab dengan remaja.
Dari tugas itu pula, ia mulai bergaul dengan dunia maya. Tulisan tangannya tentu tak akan berfaidah. Sebab, Pak Dosen bersedia menerima kalau puisi dioper melalui email.
“Rob, nanti habis kuliah tolong ajari aku ngirim email, ya!”
Katup bibirnya menghembuskan kalam itu kepada Robet. Untungnya, mahasiswa yang baru dua hari bertukar nama dengannya itu mengekor saja.
***
Bukanlah Ratu Udik anak orang berpunya serupa teman-temannya yang lain. Jamak kali ia mengutang kepada Dewi, kalau kiriman dari emak ludes. Parahnya lagi, jika tempo pemberesan uang semester tiba. Demi sekadar memungut uang, ia rela mengasongkan kerudung dan asesoris milik Bu Atin. Juga menunggu kios pulsa di sebelah kos.
Dalam kegetiran hidup seperti itu, ia mencari tempat buat membocorkan perasaan. Dan ternyata puisi menjadi medium terbaik baginya. Saat mandi. Belajar. Melungguh di WC. Makan. Mau tidur. Bahkan ketika ngelindur pun semua syarat puisi. Tak ketinggalan pula ketika dosen berceramah.
“Daripada ngantuk. Kan lebih baik bikin puisi.”
Alasan yang kurang jitu, memang. Ketika kupingnya menangkap teguran dari dosen.
Hari-harinya, selain mengerjakan tugas kuliah, juga dipadati dengan memproduksi puisi. Dengan puisi, ia jelmakan rasa kesal pada Danu, yang kerap menyematkan permen karet di bajunya. Mendeskripsikan sebagian dosen yang minta ampun killer-nya. Juga kegalauannya tatkala menyambut tarikh penertiban utang.
Setelah puisi berhasil ditelurkan, Ratu Udik menjemurnya di kamar kos. Makanya tak heran, bila ia selalu mengunci pintu kamar. Sebab, bila ibu kos memergoki dindingnya dijejali kertas, maka marahnya bisa tiga hari tiga malam.
Kebiasannya itu menggelinding sampai sekitar delapan bulan. Kemudian, atas saran Mbak Jeni, redaktur media kampus, ia mulai berani mempublikasikan karya. Berbekal pengetahuan mengirim email dari Robet, Ratu Udik menerbangkan puisi-puisinya ke beberapa media massa. Bahkan, tiap minggu, sembilan sampai sepuluh media massa diserang. Tentunya dengan puisi-puisi yang berbeda.
Jadwal mengirim karya ke media massa jatuh pada hari Jumat. Oleh dasar itulah, maka Kamisnya ia wajib berpuasa, agar bisa menyisihkan uang untuk online di internet.
***
Meski belum satu pun puisinya menyangkut, harapannya sukar tumbang. Perjuangan terus berlanjut. Dan ketika mengetahui bahwa para redaktur koran lebih terpikat dengan karya-karya orang lain, ia tak ambil pusing. Dalam pandangannya, menulis puisi dan mempublikasikannya merupakan keniscayaan. Sedangkan dimuatnya puisi di media massa adalah kebetulan.
Karena acapnya bertarung dengan media massa. Akhirnya pada pertengahan semester empat, beberapa puisinya termaktub di segelintir koran.
“Puisimu ada di Jabung Post, Mbak.”
Leni, adik semesternya, menenteng koran dan menunjukkannya kepada Ratu Udik.
Alamak. Meski baru termuat di koran daerah, ia begitu bungah. Hatinya melonjak. Semangatnya bercabang-cabang. Rasa cintanya terhadap puisi kian menebal. Bahkan, sugesti yang baru terbangun yaitu apabila ia berbuat baik kepada puisi, maka puisi bakal membalas kebaikannya.
Atas dasar itulah, ia berhasrat mengangkat puisi sebagai sahabat.
***
“Qobiltu nikaahaha wa tazwijaha bi almahri almadzkuur”
Pernikahan kedua mempelai berjalan lancar. Selain mahar berupa cincin emas dan uang 6.000.000 rupiah, Robet juga mempersembahkan selembar kertas yang bertuliskan puisi. Ratih menatap lama dan mengeja puisi tersebut. Ia terhenyak lantas tertegun, sebab puisi itu sangat mirip, bahkan kembar, dengan puisi yang diciptanya tujuh tahun silam. Usut punya usut, ternyata Robet mengarsip karya pertama mantan Ratu Udik itu. Ia berkisah, bahwa sebelum melayangkan email ke alamat Pak Janu, terlebih dahulu ia menyimpannya ke dalam flashdisk. Ia menggembala puisi Ratih sebagaimana ia menggembala perasaannya. Dalam ingatan, masih terrekam jelas bagaimana ia harus bersitegang dengan satpam. Ia hampir diusir. Sebab, saban malam pembacaan puisinya kerap membangunkan pak RT.
Sebulan seusai mengikat janji dengan Robet, Ratih dipercaya menjadi dosen sebuah kampus ternama di Malang. Sesungguhnya, kualifikasi akademiknya kurang memenuhi syarat. Akan tetapi, karena kredibilitasnya sebagai penyair sudah diakui. Terlebih, kualitasnya dalam berkarya begitu mumpuni. Maka ia pun dipinang sebagai tenaga pendidik di kampus. Ia diminta mengampu beberapa mata kuliah. Walakin, kepalanya menggeleng. Demi memelihara kualitas karya, ia hanya bersedia menggepit mata kuliah Sastra Indonesia.
Karena track-record-nya bagus, berulang kali Pak Rektor hendak mengangkatnya sebagai dekan fakultas sastra sekaligus mengantongi SK PNS. Namun, perempuan berjanggut pedang itu menangkis. Baginya, hal tersebut bakal memangkas waktunya dalam berkarya.
***
Hari berebut senja. Aroma obat-obatan berseliweran memadati ruangan.
Di sebelah kanannya, berdiri sang buah hati, suami, bapak, dan emak. Sedang di sebelah kiri ada sejumlah sanak famili dan tetangga.
Dari ke sekian pengunjung, Robet tampak paling tegang. Gerahamnya mengait. Betisnya menggigil. Dan pandangannya menerawang. Dalam situasi darurat seperti itu, ia agak menyesal, kenapa dulu Ratih menolak tawaran Pak Rektor. Jika bersedia, pastilah gajinya akan membantu meringankan biaya operasi. Biaya yang sukar ditanggung oleh lelaki yang cuma guru swasta. Mana penjualan bukunya seret. Siapa pula yang sudi membeli buku puisi, selain kalangan sastrawan sendiri. Belum lagi, puisi-puisi Ratih kian nyenyai nangkring di koran. Tak semisal masa emasnya dulu. Sebulan bisa nongkrong tujuh kali. Ya, maklumlah. Para redaktur mulai melirik penulis muda, yang jumlahnya seabrek. Dan pastilah mereka juga memerlukan eksistensi dan pengakuan.
Tujuh orang dokter bersiap-siap mengoperasi penyakit Ratih. Kanker yang hinggap di payudaranya selama setahun terakhir itu sudah saatnya dihabisi. Berada di atas ranjang, wajah Ratih amat tenang. Sepi dari kegelisahan. Giginya juga terbentang, menandakan tak ada secuilpun kesedihan. Padahal semua orang yang bersua di selingkarnya cukuplah cemas.
Sejurus kemudian, sebiji pena berkelebat dalam pikirannya. Ya, pena. Hanya pena. Bukan nasibnya yang gawat dan tinggal menunggu keajaiban. Pena yang diperoleh dari penyair besar Yogyakarta itu berloncatan dalam otak Ratih.
“Mas, tolong ambilkan pena keperekan yang ada di lemari.”
Ahai. Siapa yang mengira bahwa dalam kondisi genting demikian, Ratih malah ingin bermain imajinasi. Siapa juga yang menduga kalau pena lusuh itu hendak dipakai memahat puisi. Padahal, dokter menyarankan untuk beristirahat total. Apalagi, karena sebentar lagi dioperasi, maka segala aktifitas, baik yang berhubungan dengan fisik maupun pikiran, harus dikucilkan.
Awalnya, Robet melarang. Ia amat kawatir dengan keadaan istrinya. Akan tetapi, karena keinginan Ratih urung dibendung, maka dibiarkan istrinya itu melancarkan hobinya; Mendekap dan memeluk erat sahabat. Ya, puisi adalah sahabat yang begitu lekat dan dekat dengan kehidupannya.
Jemari kanannya menari-nari di atas kertas. Tujuh bait dihasilkan. Sampai sini, tak ada sesuatu yang mencengangkan. Tiada hal yang istimewa. Semua berjalan biasa saja. Namun, selepas pena bergerak-gerak sepuluh menit. Tiba-tiba alat tulis itu menyembulkan cahaya. Merah. Ah, bukan. Sahihnya merah bercampur kuning. Semua mata terpaku. Segala yang hadir terpukau. Kepala mereka geleng-geleng, mengisyaratkan keheranan. Bagai amuba, cahaya tersebut terbelah, berganda, dan melahirkan rona lain; Biru, hijau, dan ungu. Usai menampilkan keindahan yang tiada tara, cahaya itu lekas menjalar ke tulang Ratih. Sehingga muka dan serata tubuhnya menjadi terang seperti neon yang baru saja dinyalakan.
Dan, wow. Mengetahui kondisi terbarunya, Pak Heru, kepala tim operasi, mengatakan bahwa operasi dibatalkan. Penyakit Ratih lenyap entah ke mana.
Yogyakarta, 2011
Catatan:
Qobiltu nikaahaha wa tazwijaha bi almahri almadzkuur = Akad yang diucapkan oleh pihak suami ketika menikah.