30.6 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Tukang Foto Mayat

Oleh: T Agus Khaidir

Dari sekian banyak pekerjaan lain yang sebenarnya bisa saja ia lakoni, Rahmat Yanis memilih jadi tukang foto. Memang, tak seorang pun boleh memandang remeh pekerjaan ini. Jika ukuran kualitas hidup adalah kesuksesan dan sebutan lain untuk kesuksesan adalah kekayaan, kalian bisa menyusun daftar panjang berisi tukang-tukang foto yang hidup senang layaknya orang gedongan.

Kalau pun tak kaya, bahkan bernasib sial harus mati muda, tidak sedikit di antara mereka yang kemudian terus dikenang dan dipuja. Sebutlah, misalnya, Robert Capa. Orang Hongaria ini mati di Thai Binh, satu distrik kecil di Vietnam. Tubuhnya kupak-kapik setelah terkena ledakan ranjau. Capa tak sempat ditolong. Pada siang 25 Mei 1954 yang lembab, nafasnya berakhir di atas truk dalam perjalanan menuju rumah sakit. Usianya cuma menyentuh angka 40. Tapi sejak itu ia justru abadi. Namanya dijadikan ajang penghargaan fotografi bergengsi.

Rahmat Yanis tak pernah pergi ke medan tempur atau daerah konflik mana pun. Sepuluh tahun lalu ia melamar ke satu kantor koran untuk pekerjaan administrasi. Tapi dia gagal menyederhanakan defenisi pekerjaan yang diinginkannya. Dalam kepala Rahmat Yanis, admisnistrasi berarti mengetik surat, memasukkan ke amplop, lalu mengirimnya lewat pos. Juga menghitung angka-angka, memperbanyak berkas dengan mesin fotokopi, dan sejenisnya.
Pewawancara mengatakan kantor mereka tak butuh tenaga adminstrasi. Lowongan hanya ada untuk posisi wartawan, pesuruh kantor, dan satpam. Rahmat Yanis sudah terlalu lama menganggur dan ia bosan mendengar omelan ibunya. Bahwa ternyata Rahmat Yanis kemudian memilih wartawan, jangan dikira pertimbangannya matang. Sebelumnya ia pernah jadi pesuruh kantor dan satpam dan merasa betapa pekerjaan-pekerjaan ini kerap membuatnya makan hati.

Sebelum kita beranjak lebih jauh, kukira kalian perlu tahu bahwa perusahaan koran tempat Rahmat Yanis bekerja bukanlah perusahaan bonafide. Bukan perusahaan koran yang memberi wartawannya gaji manusiawi. Bukan pula perusahaan koran yang paling tidak punya tanggung jawab moral mengajarkan etika jurnalistik. Ini perusahaan centang-prenang belaka. Perusahaan slonong boy yang bukan saja tak pernah peduli pada kebrengsekan produknya, tapi tega pula menggaji wartawannya dengan lima sampai sepuluh eksemplar koran per hari.

Kalian yang selama ini cuma tahu gambaran pekerjaan di perusahaan koran dari film All The President Men, lewat sosok dua wartawan legendaris Washington Post yang secara gemilang diperankan Dustin Hoffman dan Robert Redford, tentu sulit memahami mekanisme penggajian seperti ini. Padahal tidak rumit-rumit amat. Kuncinya bagaimana bisa mewawancarai narasumber sebanyak mungkin. Kedua, jeli memilah dan memilih narasumber yang tebal kantongnya dan sedang didera masalah pula. Lebih bagus lagi apabila masalah itu menyangkut kekurangajaran moral yang potensial memantik rasa benci seperti korupsi atau bermain api.

Sederhananya begini. Jika pada satu edisi sang wartawan mampu mewawancarai sepuluh narasumber untuk sepuluh berita dan seluruhnya kemudian naik cetak, itulah peluangnya mendapat upah. Pascaterbit sang wartawan kembali mendatangi narasumber untuk menunjukkan hasil wawancara yang sudah dicetak di halaman koran. Kalau beruntung, satu eksemplar koran yang banderolnya cuma Rp 2500 bisa ditebus berkali-kali lipat. Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu, bahkan Rp 50 ribu. Khusus berita-berita yang membikin narasumber “kejang-kejang”, jumlah lipatannya niscaya lebih banyak. Kita rata-ratakan sajalah Rp 10 ribu. Sepuluh koran berarti Rp 100 ribu. Dalam sebulan, apabila konsisten seperti itu, sang wartawan bisa mengantongi Rp 3 juta. Jumlah yang hampir sama dengan gaji wartawan perusahaan koran bonafide.

Rahmat Yanis tak pernah sanggup menguangkan berita-beritanya dengan cara demikian. Dua tahun berselang, setelah muak dan bosan hanya meliput acara-acara seremonial, ia memutuskan berhenti. Ia hampir menerima tawaran bekerja sebagai juru jual panci anti lengket. Tapi Suharkarno datang dan membuatnya seolah-olah merasa telah menemukan jalan lain.

Rahmat Yanis tak punya banyak teman. Di kantor ia cuma akrab dengan Suharkarno. Bukan lantaran kesamaan nama yang janggal atau terlahir sebagai bagian dari suku yang menciptakan kuliner terlezat di dunia. Tapi lebih kepada perasaan senasib. Mereka sama-sama tidak mendapatkan job desk yang basah.

Begitulah. Diawali oleh kelancangan. Diam-diam Suharkarno mengirim tulisan Rahmat Yanis ke satu koran yang memiliki ruang sastra. Tulisan itu dimuat tiga pekan berselang, sebagai cerpen. Honornya Rp 50 ribu.

Semangat Rahmat Yanis bangkit. Sama sekali tak ia sangka, tulisan yang dianggapnya sekadar corat-coret tak berguna ternyata bisa mendatangkan uang. Serta-merta dibatalkannya niat berhenti jadi wartawan. Pertimbangan Rahmat Yanis sederhana. Banyak peristiwa dapat diolah jadi cerita. Ia kian menggebu setelah tahu honor pemuatan cerpen di koran atau majalah di Jakarta dan daerah-daerah lain di Jawa jauh lebih besar.

Maka tiap hari ia menulis cerpen. Tentu saja, untuk perutnya ia tetap bergantung pada liputan seremonial. Ratusan cerpen lahir. Ratusan kali pula ia kirim ke koran dan majalah. Butuh kurang lebih tiga tahun bagi Rahmat Yanis untuk sadar betapa cerpen-cerpennya lebih banyak ditolak dengan alasan yang bahkan seragam belaka. Tak sesuai kriteria pemuatan. Dimana letak ketidaksesuaiannya tak pernah dijelaskan. Memang ada juga yang agak spesifik. Tulisannya kelewat panjang, melebihi batas karakter ditetapkan: 5.000, 7.500, atau 10.000, berikut spasi.

Sejauh itu Rahmat Yanis sebenarnya masih mencoba bersabar. Pernah didengarnya penyair besar negeri ini bersabda: kunci keberhasilan seorang penulis adalah sikap bebal. Intinya, jangan pernah kapok sebab sajak penyair besar itu sendiri pun konon baru dimuat setelah ia mengirim lebih dari 100 kali.

Tapi setelah satu cerpennya kembali ditolak, seluruh persediaan kesabaran Rahmat Yanis habis tergerus. Cerpen ini ia garap dengan tingkat keseriusan melebihi cerpen-cerpen lain. Semua sisi diperhatikannya betul. Tak terkecuali jumlah karakter. Sebisa mungkin Rahmat Yanis memadatkan cerita agar karakternya tak melebihi 10.000. Namun ia menyerah. Ia berhenti di angka 10.009. Pikirnya, sekadar kelebihan 9 karakter huruf berikut spasi tentulah bisa ditolerir. Ada pilihan tight dan very tight di program pagemaker. Ia keliru. Cerpennya tetap dikembalikan dengan alasan serupa. Rahmat Yanis meradang karena selang beberapa hari setelah konfirmasi penolakan diterimanya, di edisi Minggu koran yang sama ia menemukan cerpen dari penulis kawakan yang dimuat penuh satu halaman. Pekan berikut ia malah mendapati cerpen yang bahkan dicontek nyaris bulat-bulat dari salah satu cerpen paling kondang di kolong langit.

Gagal meretas jalan sebagai penulis cerpen, Rahmat Yanis kembali berpikir mencari pekerjaan lain. Namun lagi-lagi Suharkarno datang. Sungguh juru celaka kawan itu. Manis mulutnya kali ini membuat Rahmat Yanis percaya ia memiliki bakat sebagai tukang foto. Mengulang tragedi cerpen, Suharkarno mengirim beberapa hasil jepretannya ke panitia lomba menyambut HUT kota. Satu di antara foto itu dinyatakan sebagai pemenang harapan.
Kemenangan tak diduga ini kembali melecut semangatnya. Betapa tidak. Seluruh foto yang dikirimkan Suharkarno dihasilkan Rahmat Yanis tanpa rencana. Satu hari ia diminta koordinator liputan menggantikan Sam, tukang foto kantor yang mengundurkan diri setelah dinyatakan lulus ujian penerimaan PNS.

Setelah tahu ada bejibun lomba sejenis yang menyediakan hadiah lebih besar, Rahmat Yanis pun meminta statusnya sebagai tukang foto kantor dipermanenkan. Di luar harapan mendapat banyak uang, Rahmat Yanis juga berkeinginan besar bergabung dengan Sarekat Mata Sebelah, perkumpulan tukang foto elite di kota ini. Sebagian besar anggotanya memotret untuk koran-koran kenamaan dan kantor berita asing.

Namun hari pertamanya sebagai tukang foto berakhir menyedihkan. Saat memotret aksi unjuk rasa sekelompok warga korban penggusuran di gedung wakil rakyat, Rahmat Yanis berulangkali memperoleh tatap kurang senang dari para anggota sarekat. Seorang dari mereka kemudian menghardiknya.
“Hei, kau. Jangan di situ. Bocor foto kau buat. Cari angle lain! Jangan curi angle!”

Tukang foto yang galak itu bernama Awang. Bekerja untuk kantor berita asing yang  berkedudukan di New York. Di mata Rahmat Yanis, gayanya sungguh mengesankan profesionalitas. Awang selalu menyandang dua kamera. Di bahu kanan, Nikon dengan lensa 16-35 mm. Di bahu kiri Canon berlensa 70-200 mm. Kacamata hitamnya merek Oakley.

Rahmat Yanis tak paham maksud hardikan Awang. Ia juga tidak mengerti kenapa para anggota sarekat serentak cengengesan manakala ia menjawab pertanyaan mereka perihal media tempatnya bekerja. Ia mencoba acuh dan terus memotret dan hari kedua dan seterusnya, suasana mulai mencair. Namun seiring itu pula Rahmat Yanis menyadari betapa kantongnya justru makin kempes. Memang, di satu sisi kemampuannya memotret meningkat pesat. Tapi apalah gunanya? Persoalan bukan terletak pada dirinya, melainkan media tempatnya bekerja yang memang sama sekali tak pernah masuk hitungan hingga tidak seperti para anggota sarekat lain, ia kerap diabaikan tiap kali ada undangan meliput gelaran perusahaan-perusahaan bonafide. Gelaran seperti ini, biasanya, menyediakan amplop yang jumlah isinya selalu lumayan.

Kondisi ini, pelan-pelan memadamkan keinginannya bergabung ke dalam sarekat. Ia juga mulai jarang datang ke warung kopi tempat mereka biasa berkumpul. Tapi ia terus memotret. Entah mengapa, makin Rahmat Yanis ingin berhenti, makin kuat dorongan untuk memotret.
Satu hari telepon selularnya berdering. Ada Awang di seberang. Sungguh tak biasa.
“Bung, fotomu hari ini luar biasa. Berkelas dan penuh daya magis.”

“Foto yang mana?”
“Di halaman satu koranmu. Foto mayat itu!”
“Ah, foto biasa saja, Bung.”
“Anjing, foto begitu kau bilang biasa?”

Baru kali ini Rahmat Yanis tersenyum ketika dimaki orang. Awang tak tahu, foto itu sesungguhnya nyaris gagal naik cetak. Pemimpin redaksi meminta foto lain. “Kau bikin dia seperti orang tidur saja. Padahal ini orang mati penasaran,” bilangnya.

Mayat itu korban perkosaan dan pembunuhan. Sebut saja Melati. Usianya 16, anak pemilik satu rumah makan khas Minang-Melayu. Di rumah makan itu, sepulang dari sekolah, Melati bekerja sebagai kasir. Hasil visum et repertum menunjukkan ada 19 luka tusukan benda tajam di tubuhnya. Satu menembus jantung, tiga bersarang di paru-paru, dua lainnya merobek tenggorokan. Sisanya tersebar di beberapa bagian tubuh lain. Polisi menduga pelaku teman dekat korban yang juga bekerja di rumah makan tersebut. Kawan-kawan Melati mengatakan semasa hidupnya mendiang mudah bergaul dan periang. Karakter inilah yang membayang pada foto hasil jepretan Rahmat Yanis. Tak ada horor.

“Kalau ada lomba foto mayat, aku yakin kau menang, Bung,” kata Awang lagi.

Awang tertawa. Rahmat Yanis ikut tertawa. Tepatnya menertawakan diri sendiri. Nasib yang betul-betul konyol. Sementara kantung para anggota sarekat maupun tukang-tukang foto lain yang tidak bergabung dalam kumpulan itu terus menggelembung, ia justru beroleh pujian lewat foto mayat yang sama sekali tak ada gunanya.

Tapi sekali lagi, ia menyimpulkan terlalu cepat.

Tak pernah dibayangkannya foto kasir rumah makan Minang-Melayu itu akan mengubah kebijakan koran-koran di kota ini dalam hal menampilkan foto mayat. Sebelumnya, antara koran kuning dan koran mainstream memiliki kebijakan berbeda. Koran kuning, juga umumnya koran-koran mingguan, memilih foto mayat yang tolak ukur layak muatnya hanya satu: sejauh mana bisa menerbitkan kengerian. Makin bikin bergidik makin bagus. Sebaliknya koran mainstream bermain lebih di komposisi dan angle. Tak ada darah. Bekas-bekas luka, juga wajah, dan bagian-bagian tubuh yang vital, lazimnya dikaburkan.

Rahmat Yanis memorak-porandakan kebijakan-kebijakan ini. Ada wajah pada fotonya. Ada darah dan bagian tubuh yang tak utuh. Namun entah bagaimana kebergidikan tak muncul. Wajah-wajah mayat itu kerap kali tampak seperti sumringah saja. Darah, bagian tubuh yang lebam, patah, tercabik, bahkan buntung, lebih menyerupa karya seni.

Maka sejak itu beratus-ratus mayat hasil jepretan Rahmat Yanis dipampangkan di halaman depan semua koran di kota ini. Juga koran-koran di kota-kota lain. Pesanan juga datang dari kantor-kantor berita asing. Ada pun kenyataan bahwa sebagian besar foto-foto itu tidak dipatenkan atas namanya, sama sekali bukan masalah. Bagi Rahmat Yanis yang penting adalah seberapa besar foto-foto itu dihargai.

Rahmat Yanis tak perlu lagi berharap pada acara-acara seremonial yang menyediakan makan gratis. Ia naik kasta jadi pembeli. Sampai di sini, tentu ada di antara kalian yang menyimpulkan hidup Rahmat Yanis membaik dan ia sekarang jadi lebih berbahagia.
Jangan buru-buru menyimpulkan. Dengar dulu kelanjutan ceritaku.

Namaku Zainuddin. Sampai hari ini genap 28 tahun kujaga kamar mayat di rumah sakit ini. Sepanjang 28 tahun silih berganti kuterima mayat-mayat bagai tamu dari tempat yang jauh. Lalu Rahmat Yanis datang. Mula-mula ia hanya memotret mayat korban pembunuhan. Lalu dipotretnya pula mayat-mayat korban kecelakaan dan mayat-mayat tak dikenal. Mayat gelandangan dan pengemis yang sejak lama dianggap tak lebih dari sekadar sampah. Betapa ternyata orang-orang bisa begitu tergila-gila pada mayat. Sungguh sukar dipercaya! Belakangan, Rahmat Yanis juga memotret mayat-mayat yang disemayamkan di balai-balai sosial suku Tionghoa. Yang terakhir ini tentu bukan untuk konsumsi koran, melainkan pesanan pihak keluarga berduka. Mereka ingin foto mendiang tampak memukau saat dipanjang di sisi peti mati.

Uang mengalir deras ke kantongnya. Maka aku pun mula-mula berprasangka serupa kalian. Rahmat Yanis kini pasti lebih berbahagia. Sampai suatu malam pandanganku berubah. Waktu itu kuanggap pertemanan kami sudah akrab. Kuputar untuknya lagu yang bertahun-tahun menemaniku di kamar mayat ini. Somewhere Over The Rainbow. Suara Israel Ka’ano’i Kamakawiwo’ole, raksasa 343 kilogram, ditingkahi ukulele. Satu dari tiga versi yang paling kusuka selain Tony Bennett dan Ella Fitzgerald. Somewhere over the rainbow, bluebirds fly. Birds fly over the rainbow. Why then, oh why can’t I?
Kuputar dengan volume rendah dan 3 menit 37 detik berselang, kulihat matanya basah.
“Putar sekali lagi, Pak,” katanya.

Akan kuakhiri celoteh panjang ini dengan berkata jujur pada kalian. Sejak malam itu kuputuskan berhenti meyakini diri sebagai lelaki yang sudah tak lagi mungkin disinggahi kebahagian. Sejak malam itu, tiap kali perasaan terkutuk ini datang, aku hanya perlu memutar lagu tersebut dan menunggu Rahmat Yanis menangis.

Medan, Oktober 2012-Mei 2013

Oleh: T Agus Khaidir

Dari sekian banyak pekerjaan lain yang sebenarnya bisa saja ia lakoni, Rahmat Yanis memilih jadi tukang foto. Memang, tak seorang pun boleh memandang remeh pekerjaan ini. Jika ukuran kualitas hidup adalah kesuksesan dan sebutan lain untuk kesuksesan adalah kekayaan, kalian bisa menyusun daftar panjang berisi tukang-tukang foto yang hidup senang layaknya orang gedongan.

Kalau pun tak kaya, bahkan bernasib sial harus mati muda, tidak sedikit di antara mereka yang kemudian terus dikenang dan dipuja. Sebutlah, misalnya, Robert Capa. Orang Hongaria ini mati di Thai Binh, satu distrik kecil di Vietnam. Tubuhnya kupak-kapik setelah terkena ledakan ranjau. Capa tak sempat ditolong. Pada siang 25 Mei 1954 yang lembab, nafasnya berakhir di atas truk dalam perjalanan menuju rumah sakit. Usianya cuma menyentuh angka 40. Tapi sejak itu ia justru abadi. Namanya dijadikan ajang penghargaan fotografi bergengsi.

Rahmat Yanis tak pernah pergi ke medan tempur atau daerah konflik mana pun. Sepuluh tahun lalu ia melamar ke satu kantor koran untuk pekerjaan administrasi. Tapi dia gagal menyederhanakan defenisi pekerjaan yang diinginkannya. Dalam kepala Rahmat Yanis, admisnistrasi berarti mengetik surat, memasukkan ke amplop, lalu mengirimnya lewat pos. Juga menghitung angka-angka, memperbanyak berkas dengan mesin fotokopi, dan sejenisnya.
Pewawancara mengatakan kantor mereka tak butuh tenaga adminstrasi. Lowongan hanya ada untuk posisi wartawan, pesuruh kantor, dan satpam. Rahmat Yanis sudah terlalu lama menganggur dan ia bosan mendengar omelan ibunya. Bahwa ternyata Rahmat Yanis kemudian memilih wartawan, jangan dikira pertimbangannya matang. Sebelumnya ia pernah jadi pesuruh kantor dan satpam dan merasa betapa pekerjaan-pekerjaan ini kerap membuatnya makan hati.

Sebelum kita beranjak lebih jauh, kukira kalian perlu tahu bahwa perusahaan koran tempat Rahmat Yanis bekerja bukanlah perusahaan bonafide. Bukan perusahaan koran yang memberi wartawannya gaji manusiawi. Bukan pula perusahaan koran yang paling tidak punya tanggung jawab moral mengajarkan etika jurnalistik. Ini perusahaan centang-prenang belaka. Perusahaan slonong boy yang bukan saja tak pernah peduli pada kebrengsekan produknya, tapi tega pula menggaji wartawannya dengan lima sampai sepuluh eksemplar koran per hari.

Kalian yang selama ini cuma tahu gambaran pekerjaan di perusahaan koran dari film All The President Men, lewat sosok dua wartawan legendaris Washington Post yang secara gemilang diperankan Dustin Hoffman dan Robert Redford, tentu sulit memahami mekanisme penggajian seperti ini. Padahal tidak rumit-rumit amat. Kuncinya bagaimana bisa mewawancarai narasumber sebanyak mungkin. Kedua, jeli memilah dan memilih narasumber yang tebal kantongnya dan sedang didera masalah pula. Lebih bagus lagi apabila masalah itu menyangkut kekurangajaran moral yang potensial memantik rasa benci seperti korupsi atau bermain api.

Sederhananya begini. Jika pada satu edisi sang wartawan mampu mewawancarai sepuluh narasumber untuk sepuluh berita dan seluruhnya kemudian naik cetak, itulah peluangnya mendapat upah. Pascaterbit sang wartawan kembali mendatangi narasumber untuk menunjukkan hasil wawancara yang sudah dicetak di halaman koran. Kalau beruntung, satu eksemplar koran yang banderolnya cuma Rp 2500 bisa ditebus berkali-kali lipat. Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu, bahkan Rp 50 ribu. Khusus berita-berita yang membikin narasumber “kejang-kejang”, jumlah lipatannya niscaya lebih banyak. Kita rata-ratakan sajalah Rp 10 ribu. Sepuluh koran berarti Rp 100 ribu. Dalam sebulan, apabila konsisten seperti itu, sang wartawan bisa mengantongi Rp 3 juta. Jumlah yang hampir sama dengan gaji wartawan perusahaan koran bonafide.

Rahmat Yanis tak pernah sanggup menguangkan berita-beritanya dengan cara demikian. Dua tahun berselang, setelah muak dan bosan hanya meliput acara-acara seremonial, ia memutuskan berhenti. Ia hampir menerima tawaran bekerja sebagai juru jual panci anti lengket. Tapi Suharkarno datang dan membuatnya seolah-olah merasa telah menemukan jalan lain.

Rahmat Yanis tak punya banyak teman. Di kantor ia cuma akrab dengan Suharkarno. Bukan lantaran kesamaan nama yang janggal atau terlahir sebagai bagian dari suku yang menciptakan kuliner terlezat di dunia. Tapi lebih kepada perasaan senasib. Mereka sama-sama tidak mendapatkan job desk yang basah.

Begitulah. Diawali oleh kelancangan. Diam-diam Suharkarno mengirim tulisan Rahmat Yanis ke satu koran yang memiliki ruang sastra. Tulisan itu dimuat tiga pekan berselang, sebagai cerpen. Honornya Rp 50 ribu.

Semangat Rahmat Yanis bangkit. Sama sekali tak ia sangka, tulisan yang dianggapnya sekadar corat-coret tak berguna ternyata bisa mendatangkan uang. Serta-merta dibatalkannya niat berhenti jadi wartawan. Pertimbangan Rahmat Yanis sederhana. Banyak peristiwa dapat diolah jadi cerita. Ia kian menggebu setelah tahu honor pemuatan cerpen di koran atau majalah di Jakarta dan daerah-daerah lain di Jawa jauh lebih besar.

Maka tiap hari ia menulis cerpen. Tentu saja, untuk perutnya ia tetap bergantung pada liputan seremonial. Ratusan cerpen lahir. Ratusan kali pula ia kirim ke koran dan majalah. Butuh kurang lebih tiga tahun bagi Rahmat Yanis untuk sadar betapa cerpen-cerpennya lebih banyak ditolak dengan alasan yang bahkan seragam belaka. Tak sesuai kriteria pemuatan. Dimana letak ketidaksesuaiannya tak pernah dijelaskan. Memang ada juga yang agak spesifik. Tulisannya kelewat panjang, melebihi batas karakter ditetapkan: 5.000, 7.500, atau 10.000, berikut spasi.

Sejauh itu Rahmat Yanis sebenarnya masih mencoba bersabar. Pernah didengarnya penyair besar negeri ini bersabda: kunci keberhasilan seorang penulis adalah sikap bebal. Intinya, jangan pernah kapok sebab sajak penyair besar itu sendiri pun konon baru dimuat setelah ia mengirim lebih dari 100 kali.

Tapi setelah satu cerpennya kembali ditolak, seluruh persediaan kesabaran Rahmat Yanis habis tergerus. Cerpen ini ia garap dengan tingkat keseriusan melebihi cerpen-cerpen lain. Semua sisi diperhatikannya betul. Tak terkecuali jumlah karakter. Sebisa mungkin Rahmat Yanis memadatkan cerita agar karakternya tak melebihi 10.000. Namun ia menyerah. Ia berhenti di angka 10.009. Pikirnya, sekadar kelebihan 9 karakter huruf berikut spasi tentulah bisa ditolerir. Ada pilihan tight dan very tight di program pagemaker. Ia keliru. Cerpennya tetap dikembalikan dengan alasan serupa. Rahmat Yanis meradang karena selang beberapa hari setelah konfirmasi penolakan diterimanya, di edisi Minggu koran yang sama ia menemukan cerpen dari penulis kawakan yang dimuat penuh satu halaman. Pekan berikut ia malah mendapati cerpen yang bahkan dicontek nyaris bulat-bulat dari salah satu cerpen paling kondang di kolong langit.

Gagal meretas jalan sebagai penulis cerpen, Rahmat Yanis kembali berpikir mencari pekerjaan lain. Namun lagi-lagi Suharkarno datang. Sungguh juru celaka kawan itu. Manis mulutnya kali ini membuat Rahmat Yanis percaya ia memiliki bakat sebagai tukang foto. Mengulang tragedi cerpen, Suharkarno mengirim beberapa hasil jepretannya ke panitia lomba menyambut HUT kota. Satu di antara foto itu dinyatakan sebagai pemenang harapan.
Kemenangan tak diduga ini kembali melecut semangatnya. Betapa tidak. Seluruh foto yang dikirimkan Suharkarno dihasilkan Rahmat Yanis tanpa rencana. Satu hari ia diminta koordinator liputan menggantikan Sam, tukang foto kantor yang mengundurkan diri setelah dinyatakan lulus ujian penerimaan PNS.

Setelah tahu ada bejibun lomba sejenis yang menyediakan hadiah lebih besar, Rahmat Yanis pun meminta statusnya sebagai tukang foto kantor dipermanenkan. Di luar harapan mendapat banyak uang, Rahmat Yanis juga berkeinginan besar bergabung dengan Sarekat Mata Sebelah, perkumpulan tukang foto elite di kota ini. Sebagian besar anggotanya memotret untuk koran-koran kenamaan dan kantor berita asing.

Namun hari pertamanya sebagai tukang foto berakhir menyedihkan. Saat memotret aksi unjuk rasa sekelompok warga korban penggusuran di gedung wakil rakyat, Rahmat Yanis berulangkali memperoleh tatap kurang senang dari para anggota sarekat. Seorang dari mereka kemudian menghardiknya.
“Hei, kau. Jangan di situ. Bocor foto kau buat. Cari angle lain! Jangan curi angle!”

Tukang foto yang galak itu bernama Awang. Bekerja untuk kantor berita asing yang  berkedudukan di New York. Di mata Rahmat Yanis, gayanya sungguh mengesankan profesionalitas. Awang selalu menyandang dua kamera. Di bahu kanan, Nikon dengan lensa 16-35 mm. Di bahu kiri Canon berlensa 70-200 mm. Kacamata hitamnya merek Oakley.

Rahmat Yanis tak paham maksud hardikan Awang. Ia juga tidak mengerti kenapa para anggota sarekat serentak cengengesan manakala ia menjawab pertanyaan mereka perihal media tempatnya bekerja. Ia mencoba acuh dan terus memotret dan hari kedua dan seterusnya, suasana mulai mencair. Namun seiring itu pula Rahmat Yanis menyadari betapa kantongnya justru makin kempes. Memang, di satu sisi kemampuannya memotret meningkat pesat. Tapi apalah gunanya? Persoalan bukan terletak pada dirinya, melainkan media tempatnya bekerja yang memang sama sekali tak pernah masuk hitungan hingga tidak seperti para anggota sarekat lain, ia kerap diabaikan tiap kali ada undangan meliput gelaran perusahaan-perusahaan bonafide. Gelaran seperti ini, biasanya, menyediakan amplop yang jumlah isinya selalu lumayan.

Kondisi ini, pelan-pelan memadamkan keinginannya bergabung ke dalam sarekat. Ia juga mulai jarang datang ke warung kopi tempat mereka biasa berkumpul. Tapi ia terus memotret. Entah mengapa, makin Rahmat Yanis ingin berhenti, makin kuat dorongan untuk memotret.
Satu hari telepon selularnya berdering. Ada Awang di seberang. Sungguh tak biasa.
“Bung, fotomu hari ini luar biasa. Berkelas dan penuh daya magis.”

“Foto yang mana?”
“Di halaman satu koranmu. Foto mayat itu!”
“Ah, foto biasa saja, Bung.”
“Anjing, foto begitu kau bilang biasa?”

Baru kali ini Rahmat Yanis tersenyum ketika dimaki orang. Awang tak tahu, foto itu sesungguhnya nyaris gagal naik cetak. Pemimpin redaksi meminta foto lain. “Kau bikin dia seperti orang tidur saja. Padahal ini orang mati penasaran,” bilangnya.

Mayat itu korban perkosaan dan pembunuhan. Sebut saja Melati. Usianya 16, anak pemilik satu rumah makan khas Minang-Melayu. Di rumah makan itu, sepulang dari sekolah, Melati bekerja sebagai kasir. Hasil visum et repertum menunjukkan ada 19 luka tusukan benda tajam di tubuhnya. Satu menembus jantung, tiga bersarang di paru-paru, dua lainnya merobek tenggorokan. Sisanya tersebar di beberapa bagian tubuh lain. Polisi menduga pelaku teman dekat korban yang juga bekerja di rumah makan tersebut. Kawan-kawan Melati mengatakan semasa hidupnya mendiang mudah bergaul dan periang. Karakter inilah yang membayang pada foto hasil jepretan Rahmat Yanis. Tak ada horor.

“Kalau ada lomba foto mayat, aku yakin kau menang, Bung,” kata Awang lagi.

Awang tertawa. Rahmat Yanis ikut tertawa. Tepatnya menertawakan diri sendiri. Nasib yang betul-betul konyol. Sementara kantung para anggota sarekat maupun tukang-tukang foto lain yang tidak bergabung dalam kumpulan itu terus menggelembung, ia justru beroleh pujian lewat foto mayat yang sama sekali tak ada gunanya.

Tapi sekali lagi, ia menyimpulkan terlalu cepat.

Tak pernah dibayangkannya foto kasir rumah makan Minang-Melayu itu akan mengubah kebijakan koran-koran di kota ini dalam hal menampilkan foto mayat. Sebelumnya, antara koran kuning dan koran mainstream memiliki kebijakan berbeda. Koran kuning, juga umumnya koran-koran mingguan, memilih foto mayat yang tolak ukur layak muatnya hanya satu: sejauh mana bisa menerbitkan kengerian. Makin bikin bergidik makin bagus. Sebaliknya koran mainstream bermain lebih di komposisi dan angle. Tak ada darah. Bekas-bekas luka, juga wajah, dan bagian-bagian tubuh yang vital, lazimnya dikaburkan.

Rahmat Yanis memorak-porandakan kebijakan-kebijakan ini. Ada wajah pada fotonya. Ada darah dan bagian tubuh yang tak utuh. Namun entah bagaimana kebergidikan tak muncul. Wajah-wajah mayat itu kerap kali tampak seperti sumringah saja. Darah, bagian tubuh yang lebam, patah, tercabik, bahkan buntung, lebih menyerupa karya seni.

Maka sejak itu beratus-ratus mayat hasil jepretan Rahmat Yanis dipampangkan di halaman depan semua koran di kota ini. Juga koran-koran di kota-kota lain. Pesanan juga datang dari kantor-kantor berita asing. Ada pun kenyataan bahwa sebagian besar foto-foto itu tidak dipatenkan atas namanya, sama sekali bukan masalah. Bagi Rahmat Yanis yang penting adalah seberapa besar foto-foto itu dihargai.

Rahmat Yanis tak perlu lagi berharap pada acara-acara seremonial yang menyediakan makan gratis. Ia naik kasta jadi pembeli. Sampai di sini, tentu ada di antara kalian yang menyimpulkan hidup Rahmat Yanis membaik dan ia sekarang jadi lebih berbahagia.
Jangan buru-buru menyimpulkan. Dengar dulu kelanjutan ceritaku.

Namaku Zainuddin. Sampai hari ini genap 28 tahun kujaga kamar mayat di rumah sakit ini. Sepanjang 28 tahun silih berganti kuterima mayat-mayat bagai tamu dari tempat yang jauh. Lalu Rahmat Yanis datang. Mula-mula ia hanya memotret mayat korban pembunuhan. Lalu dipotretnya pula mayat-mayat korban kecelakaan dan mayat-mayat tak dikenal. Mayat gelandangan dan pengemis yang sejak lama dianggap tak lebih dari sekadar sampah. Betapa ternyata orang-orang bisa begitu tergila-gila pada mayat. Sungguh sukar dipercaya! Belakangan, Rahmat Yanis juga memotret mayat-mayat yang disemayamkan di balai-balai sosial suku Tionghoa. Yang terakhir ini tentu bukan untuk konsumsi koran, melainkan pesanan pihak keluarga berduka. Mereka ingin foto mendiang tampak memukau saat dipanjang di sisi peti mati.

Uang mengalir deras ke kantongnya. Maka aku pun mula-mula berprasangka serupa kalian. Rahmat Yanis kini pasti lebih berbahagia. Sampai suatu malam pandanganku berubah. Waktu itu kuanggap pertemanan kami sudah akrab. Kuputar untuknya lagu yang bertahun-tahun menemaniku di kamar mayat ini. Somewhere Over The Rainbow. Suara Israel Ka’ano’i Kamakawiwo’ole, raksasa 343 kilogram, ditingkahi ukulele. Satu dari tiga versi yang paling kusuka selain Tony Bennett dan Ella Fitzgerald. Somewhere over the rainbow, bluebirds fly. Birds fly over the rainbow. Why then, oh why can’t I?
Kuputar dengan volume rendah dan 3 menit 37 detik berselang, kulihat matanya basah.
“Putar sekali lagi, Pak,” katanya.

Akan kuakhiri celoteh panjang ini dengan berkata jujur pada kalian. Sejak malam itu kuputuskan berhenti meyakini diri sebagai lelaki yang sudah tak lagi mungkin disinggahi kebahagian. Sejak malam itu, tiap kali perasaan terkutuk ini datang, aku hanya perlu memutar lagu tersebut dan menunggu Rahmat Yanis menangis.

Medan, Oktober 2012-Mei 2013

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tali, Kembang Tanjung

Terpopuler

Artikel Terbaru

/