30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Korban Minta DJKN Transparan, Sertifikat Tanah Tertahan Selama 35 Tahun

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rafiadi, ahli waris Almarhum Sareng, warga Jalan Yogya Dusun VI, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut) dan Ismail warga Jalan Bumi Ayu, Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Langkat diduga menjadi korban penipuan, yakni terkait surat tanah miliknya yang dilarikan rekannya Suratmin sejak 35 tahun silam.

Melalui Kuasa Hukum korban, Riky Politika Sirait SH didampingi rekannya, Wisker Pakpahan SH dan Fadli Affandi Rambe SH, korban berharap surat tanah yang merupakan haknya tersebut dapat kembali lagi.

Riky menceritakan kronologi surat tanah tersebut, di mana saat ini keberadaannya ada di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Regional Sumatera, Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN) Sumut. Dijelaskannya, bahwa kliennya selama 35 tahun mengalami ganjalan hukum, yakni sertifikat tanah milik kliennya tidak diketahui keberadaannya. Namun di saat ditelusuri validnya berada di DJKN Cq BLBI.

“Kenapa bisa disana?, yakni sekira tahun 1980 an, dua klien kami Ismail dan Rafiadi. Rafiadi adalah ahli waris Almarhum Sareng, yang memiliki sertifikat tanah tersebut, pada saat itu, mereka berencana membentuk kelompok tani dengan inisiasi usaha yang bergerak di perkebunan tebu untuk menyejahterakan anggota. Kelompok tani belum terbentuk, salah seorang anggota, Suratmin menginisiasi agar terbentuk kelompok tani, maka harus mengumpulkan sertifikat tanah sebagai kelengkapan data. Karena sifatnya kekeluargaan, klien kami percaya kepada Suratmin itu,” ujar Riky kepada sejumlah wartawan, saat ditemui di warkop, Jalan Gaharu Medan, Selasa (20/12).

Tetapi setelah sertifikat tanah dikumpulkan, lanjut Riky, Suratmin malah menghilang. Hingga tahun 1992, Bank Surya Nusantara mengirimkan surat kepada kliennya dengan isinya tercantum bernama Anton Simanungkalit, yang beralamat di Medan mengambil uang kredit dengan jaminan sertifikat tanah kliennya itu. “Klien kami bingung sebab mereka hanya berurusan dengan Suratmin. Korban diminta datang ke Bank Surya Nusantara, yang saat itu beralamat di Jalan Brigjend Katamso Medan. Pihak bank memperjelas bahwa Anton meminjam dana dengan jaminan serrifikat tanah, sementara korban merasa tidak ada berurusan pinjam meminjam dengan pihak bank,” bebernya.

Lalu, sambungnya, datang lagi surat dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), bertugas mengelola aset-aset pihak ketiga yang bermasalah dan kemudian menjadi aset negara. Ada pemberitahuan di dalam surat itu, bahwa kliennya harus mengosongkan tempat, merekapun semakin bingung. Kemudian, pada tahun 1997-1998, kliennya diberitahu pihak PT PPA, bahwa Bank Surya dilikuidasi dan diambilalih pemerintah, yakni ke BLBI.

“Klien kami merasa tertipu. Kami menemukan ada dokumen surat ke Polres Langkat pada tahun 1993, bahwa ada LP penggelapan dan penipuan terhadap terlapor, yang awalnya dilaporkan ke Polda Sumut, lalu dilimpahkan ke Polres Langkat. Ini akan kami cek kembali,” imbuhnya.

Selanjutnya, tambah Riky, pada tahun 2007, pihaknya menemukan surat dari DJKN, bahwa tanah tersebut harus dikosongkan. “Terkesan korban dibola-bola (dipermainkan). Sampailah sekarang surat tanah itu berada di DJKN. Hingga kami ditunjuk sebagai kuasa hukum korban, kemudian kami menelusuri informasi yang kami dapat. Berawal mendatangi Kantor BPN Langkat, kami sempat akan membuat informasi kehilangan,” ungkapnya.

Tetapi, terangnya, pihak BPN menyatakan tidak bisa dibuat surat kehilangan, karena sudah ada surat pemberitahuan dari DJKN, bahwa tanah itu sudah menjadi aset negara, sehingga siapapun pihak-pihak, termasuk kliennya tidak bisa melakukan aktivitas hukum terkait surat tersebut.

“Kami pun protes, karena tidak ada terkait dengan pihak mana pun. Lalu, kami diarahkan ke pihak DJKN. Kamipun bertemu dengan pihak DJKN, yang diwakili Salman dengan menunjukkan berkas yang ada nama korban. Kamipun meminta transparansi terkait perjanjian kredit dari pihak Anton Simanungkalit.

Kami berhak tahu duduk persoalannya, apakah ada tanda tangan dari pihak klien kami. Kami pun diminta membuat surat, tetapi tidak ada jawaban. Lalu kami membuat surat kedua, dan pihak DJKN memberikan jawaban, mereka tidak bersedia mengeluarkan surat perjanjian kredit dengan alasan merupakan data negara yang dapat berdampak kepada perekonomian negara,” sebutnya.

Riky menduga hal tersebut mangada-ada, padahal pihaknya hanya meminta perjanjian kredit. “Kami merasa dirugikan, klien kami adalah korban. Kami hanya meminta DJKN transparan, tetapi malah terkesan ditutup-tutupi,” tegasnya.

Dia menilai, DJKN sudah melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan Komisi Informasi Publik (KIP), dalam waktu dekat akan melayangkan surat gugatan ke DJKN dan secepatnya juga audiensi ke DPRD Sumut. “Kami sudah layangkan surat resminya. Kami berharap semua berjalan sesuai yang diharapkan, yakni agar DJKN lebih transparan terkait pinjaman kredit, ini persoalan keadilan dan hak klien kami. Jika klien kami salah, maka tunjukkan, tetapi jika hak kami maka tunjukkan. Jangan ada ditutup-tutupi dan dimanipulasi. Klien kami merasa dirugikan selama puluhan tahun tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan tanah tersebut sudah ada yang melirik dan menawar harganya,” pungkasnya. (dwi/ram)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rafiadi, ahli waris Almarhum Sareng, warga Jalan Yogya Dusun VI, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut) dan Ismail warga Jalan Bumi Ayu, Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Langkat diduga menjadi korban penipuan, yakni terkait surat tanah miliknya yang dilarikan rekannya Suratmin sejak 35 tahun silam.

Melalui Kuasa Hukum korban, Riky Politika Sirait SH didampingi rekannya, Wisker Pakpahan SH dan Fadli Affandi Rambe SH, korban berharap surat tanah yang merupakan haknya tersebut dapat kembali lagi.

Riky menceritakan kronologi surat tanah tersebut, di mana saat ini keberadaannya ada di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Regional Sumatera, Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN) Sumut. Dijelaskannya, bahwa kliennya selama 35 tahun mengalami ganjalan hukum, yakni sertifikat tanah milik kliennya tidak diketahui keberadaannya. Namun di saat ditelusuri validnya berada di DJKN Cq BLBI.

“Kenapa bisa disana?, yakni sekira tahun 1980 an, dua klien kami Ismail dan Rafiadi. Rafiadi adalah ahli waris Almarhum Sareng, yang memiliki sertifikat tanah tersebut, pada saat itu, mereka berencana membentuk kelompok tani dengan inisiasi usaha yang bergerak di perkebunan tebu untuk menyejahterakan anggota. Kelompok tani belum terbentuk, salah seorang anggota, Suratmin menginisiasi agar terbentuk kelompok tani, maka harus mengumpulkan sertifikat tanah sebagai kelengkapan data. Karena sifatnya kekeluargaan, klien kami percaya kepada Suratmin itu,” ujar Riky kepada sejumlah wartawan, saat ditemui di warkop, Jalan Gaharu Medan, Selasa (20/12).

Tetapi setelah sertifikat tanah dikumpulkan, lanjut Riky, Suratmin malah menghilang. Hingga tahun 1992, Bank Surya Nusantara mengirimkan surat kepada kliennya dengan isinya tercantum bernama Anton Simanungkalit, yang beralamat di Medan mengambil uang kredit dengan jaminan sertifikat tanah kliennya itu. “Klien kami bingung sebab mereka hanya berurusan dengan Suratmin. Korban diminta datang ke Bank Surya Nusantara, yang saat itu beralamat di Jalan Brigjend Katamso Medan. Pihak bank memperjelas bahwa Anton meminjam dana dengan jaminan serrifikat tanah, sementara korban merasa tidak ada berurusan pinjam meminjam dengan pihak bank,” bebernya.

Lalu, sambungnya, datang lagi surat dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), bertugas mengelola aset-aset pihak ketiga yang bermasalah dan kemudian menjadi aset negara. Ada pemberitahuan di dalam surat itu, bahwa kliennya harus mengosongkan tempat, merekapun semakin bingung. Kemudian, pada tahun 1997-1998, kliennya diberitahu pihak PT PPA, bahwa Bank Surya dilikuidasi dan diambilalih pemerintah, yakni ke BLBI.

“Klien kami merasa tertipu. Kami menemukan ada dokumen surat ke Polres Langkat pada tahun 1993, bahwa ada LP penggelapan dan penipuan terhadap terlapor, yang awalnya dilaporkan ke Polda Sumut, lalu dilimpahkan ke Polres Langkat. Ini akan kami cek kembali,” imbuhnya.

Selanjutnya, tambah Riky, pada tahun 2007, pihaknya menemukan surat dari DJKN, bahwa tanah tersebut harus dikosongkan. “Terkesan korban dibola-bola (dipermainkan). Sampailah sekarang surat tanah itu berada di DJKN. Hingga kami ditunjuk sebagai kuasa hukum korban, kemudian kami menelusuri informasi yang kami dapat. Berawal mendatangi Kantor BPN Langkat, kami sempat akan membuat informasi kehilangan,” ungkapnya.

Tetapi, terangnya, pihak BPN menyatakan tidak bisa dibuat surat kehilangan, karena sudah ada surat pemberitahuan dari DJKN, bahwa tanah itu sudah menjadi aset negara, sehingga siapapun pihak-pihak, termasuk kliennya tidak bisa melakukan aktivitas hukum terkait surat tersebut.

“Kami pun protes, karena tidak ada terkait dengan pihak mana pun. Lalu, kami diarahkan ke pihak DJKN. Kamipun bertemu dengan pihak DJKN, yang diwakili Salman dengan menunjukkan berkas yang ada nama korban. Kamipun meminta transparansi terkait perjanjian kredit dari pihak Anton Simanungkalit.

Kami berhak tahu duduk persoalannya, apakah ada tanda tangan dari pihak klien kami. Kami pun diminta membuat surat, tetapi tidak ada jawaban. Lalu kami membuat surat kedua, dan pihak DJKN memberikan jawaban, mereka tidak bersedia mengeluarkan surat perjanjian kredit dengan alasan merupakan data negara yang dapat berdampak kepada perekonomian negara,” sebutnya.

Riky menduga hal tersebut mangada-ada, padahal pihaknya hanya meminta perjanjian kredit. “Kami merasa dirugikan, klien kami adalah korban. Kami hanya meminta DJKN transparan, tetapi malah terkesan ditutup-tutupi,” tegasnya.

Dia menilai, DJKN sudah melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan Komisi Informasi Publik (KIP), dalam waktu dekat akan melayangkan surat gugatan ke DJKN dan secepatnya juga audiensi ke DPRD Sumut. “Kami sudah layangkan surat resminya. Kami berharap semua berjalan sesuai yang diharapkan, yakni agar DJKN lebih transparan terkait pinjaman kredit, ini persoalan keadilan dan hak klien kami. Jika klien kami salah, maka tunjukkan, tetapi jika hak kami maka tunjukkan. Jangan ada ditutup-tutupi dan dimanipulasi. Klien kami merasa dirugikan selama puluhan tahun tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan tanah tersebut sudah ada yang melirik dan menawar harganya,” pungkasnya. (dwi/ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/