26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pelapor Tipikor Dapat Reward, Bisa Dapat Maksimal Rp200 Juta

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – No viral no justice menjadi alat penegakan hukum baru. Fenomena mobilisasi rakyat di ruang digital itu yang membuat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kelimpungan sebulan terakhir. Kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu harus berkali-kali menggelar konferensi pers ketika satu per satu gaya hidup mewah pegawainya ramai jadi sorotan di media sosial.

Andai pemerintah maksimal menerapkan aturan pemberian reward bagi masyarakat yang melaporkan atau mengungkap dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), fenomena no viral no justice kecil kemungkinan menjadi ancaman serius. Sebab, dalam aturan reward itu memungkinkan masyarakat yang menjadi pelapor mendapatkan premi paling banyak Rp200 juta.

Aturan itu tegas disebutkan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 43/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor.

Besaran premi yang diatur adalah 2% (dua permil) dari jumlah kerugian negara yang dapat dikembalikan kepada negara. Di pasal tersebut juga disebutkan premi maksimal adalah Rp200 juta.

PP itu turunan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001. Aturan pemberian reward itu sejatinya sudah berlaku ketika pemerintah mengeluarkan PP Nomor 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor pada 2000 silam.

PP 71/2000 itu kemudian diubah lagi dengan PP 43/2018. Penelusuran Jawa Pos, sampai saat ini, baru satu pelapor kasus korupsi yang pernah mendapatkan premi tersebut. Penghargaan itu diberikan KPK pada 2016 lalu. Setelah itu, belum ada lagi catatan lagi terkait berapa jumlah penerima premi. “Syaratnya rumit,” kata Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha kepada Jawa Pos (Grups Sumut Pos), Minggu (12/3).

Rumitnya syarat untuk bisa mendapatkan dana apresiasi itu juga ditegaskan Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri pada 2020 lalu. Ali menyebut ada sejumlah kendala yang membuat implementasi PP tersebut tidak optimal. Salah satunya adalah minimnya data yang dimiliki pelapor. Selain itu, kebanyakan kasus korupsi, khususnya yang ditangani KPK, tidak hanya bersumber dari satu pelapor.

Kondisi itu menyulitkan lembaga penegak hukum untuk menentukan siapa pelapor yang memenuhi syarat mendapatkan reward dari negara. “Diperlukan validasi data yang harus akurat untuk memutuskan seseorang dapat ditetapkan sebagai pelapor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penghargaan tersebut,” ujar Ali beberapa waktu lalu.

Menyambung Ali, Praswad mengakui bahwa ketentuan reward itu memang tidak masuk akal untuk dipenuhi. Sebab, premi maksimal Rp200 juta itu baru bisa diberikan jika kerugian negara dari kasus yang dilaporkan mencapai Rp100 miliar. “Karena ada ketentuan 2% kerugian negara yang dapat dikembalikan ke negara, itu artinya kasusnya (yang dilaporkan, Red) harus proyek kakap,” terangnya.

Pengalaman Praswad selama menjadi penyidik, kasus dengan kerugian negara besar itu nyaris tidak ada yang bersumber dari laporan masyarakat. Aduan di KPK kebanyakan adalah kasus suap yang kemudian ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan (OTT). “Tipikal kasus korupsi yang merugikan negara itu biasanya juga butuh waktu lama (menanganinya, Red), bisa 5 tahun,” ungkapnya.

Masyarakat sejatinya juga bisa mendapatkan reward ketika melaporkan kasus suap. Premi yang diberikan juga sebesar 2% (dua permil), dihitung dari nilai uang suap atau uang dari hasil barang rampasan (Pasal 17 ayat 3). Maksimal premi yang diberikan adalah Rp 10 juta (Pasal 17 ayat 4). “Tapi, dengan risiko yang tinggi bagi pelapor, premi itu terbilang sangat kecil,” tutur eks penyidik KPK itu.

Prasyarat dan reward yang tidak sebanding itu, kata Praswad, memang harus diubah. Aduan terkait kerugian negara, misalnya, harus dipertegas siapa pelapor yang berhak mendapatkan reward. Penegasan itu untuk memudahkan penegak hukum dalam memberikan penilaian kepada pelapor. Besaran premi juga harus diubah.

“Misalnya, pelapor dengan kerugian Rp1 miliar, paling minim dapat Rp20 juta, pasti banyak masyarakat di daerah yang melapor karena proyek di daerah itu kebanyakan nilainya Rp 4-5 miliar, jarang yang mencapai Rp 100 miliar,” ujarnya.

Begitu pula dengan premi suap, Praswad menyarankan agar hadiah yang diberikan lebih besar. “Pelapor kasus suap mestinya mendapat reward paling sedikit Rp 10 juta, bukan paling banyak Rp 10 juta,” ujarnya.

Praswad meyakini munculnya fenomena no viral no justice itu merupakan kegagalan negara dalam mengelola manajemen laporan masyarakat. Hal itu diperparah dengan kanal pelaporan yang kurang optimal. “Jangankan masyarakat biasa, laporan dari penegak hukum juga kadang-kadang tidak ditindaklanjuti sebelum viral,” tutur pria yang akrab disapa Abung tersebut.

Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar menambahkan, penegakan hukum yang masih tebang pilih dan kurang terbuka membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum mengalami krisis. Hal itu mendorong terjadinya mobilisasi rakyat di ruang digital untuk menghakimi seseorang yang diduga melakukan pelanggaran.

“Meskipun kasus yang viral itu juga belum tentu ditindaklanjuti oleh penegak hukum, tapi saya melihat masyarakat puas dengan itu (penghakiman di media sosial, Red),” kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tersebut.

Lembaga penegak hukum dan instansi terkait mestinya melakukan evaluasi menyeluruh terkait fenomena no viral no justice tersebut. Haris menyebut, perbaikan tidak cukup dilakukan dengan konferensi pers. Tapi juga memperbaiki sistem pelaporan dan reward bagi pelapor. “Perlindungan untuk pelapor juga harus diperhatikan,” terangnya.

Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan, penanganan kasus korupsi yang tidak diketahui perkara pokoknya sebenarnya mudah. Bisa ditangani Kejaksaan, KPK atau Polri. “Kalau saya yang paling pas di Polri,” terangnya.

Karena pernah ada kasus TPPU yang diputus tanpa perkara pokoknya. Kasus terjadi di Tegal, Jawa Tengah. “Saya pernah tangani kasus TPPU tanpa perkara pokoknya “ jelasnya.

Menurutnya, KPK pun bisa menangani kasus Rafael dengan Pasal 11 UU Tipikor soal gratifikasi. Bila ASN menerima pemberian selama 30 hari tidak melaporkan. “Tidak semata-mata Pasal 5 tentang suap,” paparnya kemarin.

Apalagi Rafael patut diduga memperdagangkan pengaruhnya sebagai pegawai pajak. Yang kemudian dalam istilah hukum melakukan omisi, melakukan yang tidak boleh atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. “Jadi bisa ditangani kasus Rafael ini,” urainya.

Menurutnya, untuk Kemenkeu sebenarnya perlu mengkondisikan dengan menerapkan UU 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Perpajakan. Sebelum mengurus wajib pajak, UU tersebut diterapkam ke seluruh pegawai pajak. “Buka semua dokumen keuangannya,” jelasnya.

Kalau ada yang mencurigakan diklarifikasi dan dihentikan dulu untuk bisa melayani pajak. “Kalau sudah pasti pelanggaran hukum, ya dipidana,” paparnya.

Terkait insentif pajak, sebagai pihak yang sering melaporkan kasus korupsi dan TPPU, Boyamin mengaku tidak pernah mengurus insentif tersebut. “Biar menyumbang ke negara saja,” terangnya. Namun, dia mengetahui bahwa insentif pajak ini malah dikurangi oleh pemerintahan Jokowi.

Menurutnya, sebelumnya hitungan insentif itu 2 per mil dalam setiap kasus. Namun, kemudian diberikan batasan Rp200 juta. “Untuk kasus yang insentifnya dibawah Rp200 juta pakai dua per mil, kalau insentifnya di atas Rp200 juta, ya maksimal Rp200 juta itu,” tuturnya.

Sementara Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah mengaku belum bisa berkomentar terkait kesulitan penanganan kasus korupsi. “Untuk sementara belum ada yang bisa saya sampaikan,” paparnya kemarin. (tyo/idr/jpc/ila)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – No viral no justice menjadi alat penegakan hukum baru. Fenomena mobilisasi rakyat di ruang digital itu yang membuat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kelimpungan sebulan terakhir. Kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu harus berkali-kali menggelar konferensi pers ketika satu per satu gaya hidup mewah pegawainya ramai jadi sorotan di media sosial.

Andai pemerintah maksimal menerapkan aturan pemberian reward bagi masyarakat yang melaporkan atau mengungkap dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), fenomena no viral no justice kecil kemungkinan menjadi ancaman serius. Sebab, dalam aturan reward itu memungkinkan masyarakat yang menjadi pelapor mendapatkan premi paling banyak Rp200 juta.

Aturan itu tegas disebutkan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 43/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor.

Besaran premi yang diatur adalah 2% (dua permil) dari jumlah kerugian negara yang dapat dikembalikan kepada negara. Di pasal tersebut juga disebutkan premi maksimal adalah Rp200 juta.

PP itu turunan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001. Aturan pemberian reward itu sejatinya sudah berlaku ketika pemerintah mengeluarkan PP Nomor 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor pada 2000 silam.

PP 71/2000 itu kemudian diubah lagi dengan PP 43/2018. Penelusuran Jawa Pos, sampai saat ini, baru satu pelapor kasus korupsi yang pernah mendapatkan premi tersebut. Penghargaan itu diberikan KPK pada 2016 lalu. Setelah itu, belum ada lagi catatan lagi terkait berapa jumlah penerima premi. “Syaratnya rumit,” kata Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha kepada Jawa Pos (Grups Sumut Pos), Minggu (12/3).

Rumitnya syarat untuk bisa mendapatkan dana apresiasi itu juga ditegaskan Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri pada 2020 lalu. Ali menyebut ada sejumlah kendala yang membuat implementasi PP tersebut tidak optimal. Salah satunya adalah minimnya data yang dimiliki pelapor. Selain itu, kebanyakan kasus korupsi, khususnya yang ditangani KPK, tidak hanya bersumber dari satu pelapor.

Kondisi itu menyulitkan lembaga penegak hukum untuk menentukan siapa pelapor yang memenuhi syarat mendapatkan reward dari negara. “Diperlukan validasi data yang harus akurat untuk memutuskan seseorang dapat ditetapkan sebagai pelapor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penghargaan tersebut,” ujar Ali beberapa waktu lalu.

Menyambung Ali, Praswad mengakui bahwa ketentuan reward itu memang tidak masuk akal untuk dipenuhi. Sebab, premi maksimal Rp200 juta itu baru bisa diberikan jika kerugian negara dari kasus yang dilaporkan mencapai Rp100 miliar. “Karena ada ketentuan 2% kerugian negara yang dapat dikembalikan ke negara, itu artinya kasusnya (yang dilaporkan, Red) harus proyek kakap,” terangnya.

Pengalaman Praswad selama menjadi penyidik, kasus dengan kerugian negara besar itu nyaris tidak ada yang bersumber dari laporan masyarakat. Aduan di KPK kebanyakan adalah kasus suap yang kemudian ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan (OTT). “Tipikal kasus korupsi yang merugikan negara itu biasanya juga butuh waktu lama (menanganinya, Red), bisa 5 tahun,” ungkapnya.

Masyarakat sejatinya juga bisa mendapatkan reward ketika melaporkan kasus suap. Premi yang diberikan juga sebesar 2% (dua permil), dihitung dari nilai uang suap atau uang dari hasil barang rampasan (Pasal 17 ayat 3). Maksimal premi yang diberikan adalah Rp 10 juta (Pasal 17 ayat 4). “Tapi, dengan risiko yang tinggi bagi pelapor, premi itu terbilang sangat kecil,” tutur eks penyidik KPK itu.

Prasyarat dan reward yang tidak sebanding itu, kata Praswad, memang harus diubah. Aduan terkait kerugian negara, misalnya, harus dipertegas siapa pelapor yang berhak mendapatkan reward. Penegasan itu untuk memudahkan penegak hukum dalam memberikan penilaian kepada pelapor. Besaran premi juga harus diubah.

“Misalnya, pelapor dengan kerugian Rp1 miliar, paling minim dapat Rp20 juta, pasti banyak masyarakat di daerah yang melapor karena proyek di daerah itu kebanyakan nilainya Rp 4-5 miliar, jarang yang mencapai Rp 100 miliar,” ujarnya.

Begitu pula dengan premi suap, Praswad menyarankan agar hadiah yang diberikan lebih besar. “Pelapor kasus suap mestinya mendapat reward paling sedikit Rp 10 juta, bukan paling banyak Rp 10 juta,” ujarnya.

Praswad meyakini munculnya fenomena no viral no justice itu merupakan kegagalan negara dalam mengelola manajemen laporan masyarakat. Hal itu diperparah dengan kanal pelaporan yang kurang optimal. “Jangankan masyarakat biasa, laporan dari penegak hukum juga kadang-kadang tidak ditindaklanjuti sebelum viral,” tutur pria yang akrab disapa Abung tersebut.

Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar menambahkan, penegakan hukum yang masih tebang pilih dan kurang terbuka membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum mengalami krisis. Hal itu mendorong terjadinya mobilisasi rakyat di ruang digital untuk menghakimi seseorang yang diduga melakukan pelanggaran.

“Meskipun kasus yang viral itu juga belum tentu ditindaklanjuti oleh penegak hukum, tapi saya melihat masyarakat puas dengan itu (penghakiman di media sosial, Red),” kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tersebut.

Lembaga penegak hukum dan instansi terkait mestinya melakukan evaluasi menyeluruh terkait fenomena no viral no justice tersebut. Haris menyebut, perbaikan tidak cukup dilakukan dengan konferensi pers. Tapi juga memperbaiki sistem pelaporan dan reward bagi pelapor. “Perlindungan untuk pelapor juga harus diperhatikan,” terangnya.

Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan, penanganan kasus korupsi yang tidak diketahui perkara pokoknya sebenarnya mudah. Bisa ditangani Kejaksaan, KPK atau Polri. “Kalau saya yang paling pas di Polri,” terangnya.

Karena pernah ada kasus TPPU yang diputus tanpa perkara pokoknya. Kasus terjadi di Tegal, Jawa Tengah. “Saya pernah tangani kasus TPPU tanpa perkara pokoknya “ jelasnya.

Menurutnya, KPK pun bisa menangani kasus Rafael dengan Pasal 11 UU Tipikor soal gratifikasi. Bila ASN menerima pemberian selama 30 hari tidak melaporkan. “Tidak semata-mata Pasal 5 tentang suap,” paparnya kemarin.

Apalagi Rafael patut diduga memperdagangkan pengaruhnya sebagai pegawai pajak. Yang kemudian dalam istilah hukum melakukan omisi, melakukan yang tidak boleh atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. “Jadi bisa ditangani kasus Rafael ini,” urainya.

Menurutnya, untuk Kemenkeu sebenarnya perlu mengkondisikan dengan menerapkan UU 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Perpajakan. Sebelum mengurus wajib pajak, UU tersebut diterapkam ke seluruh pegawai pajak. “Buka semua dokumen keuangannya,” jelasnya.

Kalau ada yang mencurigakan diklarifikasi dan dihentikan dulu untuk bisa melayani pajak. “Kalau sudah pasti pelanggaran hukum, ya dipidana,” paparnya.

Terkait insentif pajak, sebagai pihak yang sering melaporkan kasus korupsi dan TPPU, Boyamin mengaku tidak pernah mengurus insentif tersebut. “Biar menyumbang ke negara saja,” terangnya. Namun, dia mengetahui bahwa insentif pajak ini malah dikurangi oleh pemerintahan Jokowi.

Menurutnya, sebelumnya hitungan insentif itu 2 per mil dalam setiap kasus. Namun, kemudian diberikan batasan Rp200 juta. “Untuk kasus yang insentifnya dibawah Rp200 juta pakai dua per mil, kalau insentifnya di atas Rp200 juta, ya maksimal Rp200 juta itu,” tuturnya.

Sementara Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah mengaku belum bisa berkomentar terkait kesulitan penanganan kasus korupsi. “Untuk sementara belum ada yang bisa saya sampaikan,” paparnya kemarin. (tyo/idr/jpc/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/