26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Moncong Anjing Sayap Malaikat

Erry Indra

Ayahku anjing. Ibuku malaikat. Ketika Ayah melolong di tengah malam nan jahanam, Ibu tengah menitikkan doa lewat air matanya. Sedangkan aku terlahir sebagai: anak yang bermoncong anjing dan bersayap malaikat.

Ayahku menancapkan kemaluannya di sembarang tempat. Di pohon-pohon, di batu-batu, dan di segala jenis anjing, betina, atau jantan sekalipun. Dan ia dikenal sebagai anjing jantan tua yang lacur. Sehingga, kota ini pun hampir-hampir dipenuhi anak-anak serupa aku. Ada yang wajah dan perawakannya sama persis denganku tetapi kulitnya lebih gelap seperti kulit kayu. Ada yang letak tahi lalatnya sama persis seperti di bawah kelopak mataku, sampai-sampai ia operasi laser untuk menghilangkan tahi lalat itu. Ada yang mirip denganku, tetapi ia bisu dan lebih galak dariku. Demikianlah, di kota ini aku punya puluhan, tidak, ratusan kembaran. Hal yang paling membedakan aku dengan mereka adalah sayap malaikat. Sebab, ibu mereka cuma pohon-pohon, batu-batu, dan segala jenis anjing, sedangkan ibuku malaikat.

Sebenarnya, aku mempunyai banyak kerabat. Namun mereka bukan sebangsaku, mereka manusia. Berkali-kali mereka menjanjikan aku operasi dan mantra-mantra, agar bisa menjadi seperti mereka. Berkali-kali aku tagih janji itu, berkali-kali pula aku ditolak. “Ayahmu dulu memang seorang manusia, tetapi sekarang ia anjing. Darah pembangkang ada dalam dirimu. Kami pikir percuma saja kau berusaha menjadi manusia kalau pada akhirnya kau akan berakhir seperti ayahmu.” Dan baru kali itu pula aku merasa benar-benar dilecehkan. Untuk sementara, aku lebih memilih menjadi anak setengah anjing.

*

Orang-orang kota meributkan berbagai peristiwa belakangan ini. Banyak dari mereka mati mendadak tanpa sebab yang jelas. Sebelum kematiannya, perut mereka membuncit lalu meledak seperti pancaran mercon tahun baru yang selalu aku lihat dari atap rumah. Mata mereka memicing atau merah bara setiap kali aku lewat jalan-jalan kota. Kata mereka, “Ayahmu seekor anjing pembunuh!” Sebab mereka tahu ayahku yang cuma seekor anjing menutup matanya pada suatu malam purnama lalu melolong panjang untuk iblis yang ada dalam dirinya. Setelah itu, ia bercinta dengan tong-tong sampah, gundukan tanah keramat, atau pelacur yang kebetulan melintas. Separuh diriku tidak bisa menerima perkataan itu, sebagaimana mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidup sebenarnya akan berakhir dengan kematian.

Pada peristiwa lain, orang-orang kota menjadi linglung. Uang dan perhiasan yang mereka simpan dalam pundi-pundi mereka raib begitu saja. Bukan menghubungi polisi, mereka malahan lari mengadu ke dukun. Lantas dukun itu bilang, “Seekor anjing beristri malaikat yang melakukannya.” Rumahku langsung diburu warga yang geram. Aku terkejut mendapatkan rumahku sudah dikurung ratusan manusia. Ibu yang menghadapi mereka. Sayapnya terlipat lesu. “Maaf, Bapak tidak ada di rumah. Belum pulang”, ujar Ibu. Warga semakin murka dan hampir-hampir membakar rumah kami –lebih tepatnya, rumah kontrakan. Mengetahui hal itu, aku langsung berhambur keluar. Menggonggong dengan beringas sambil mengepakkan sayap kebanggaanku.

“Kalau kalian hendak membakar sesuatu, bakar saja ayahku. Dia yang bersalah, bukan kami!” ujarku penuh geram.

“Tapi dia ayahmu.” Sahut salah satu dari mereka.

“Ah, persetan! Dia hanya pulang kalau dia lapar.”

Mereka pun membubarkan diri lalu menyebar ke segala penjuru kota mencari Ayah sambil membawa golok, parang, jerigen bensin, dan korek api.

Ibu menangis tersedu-sedu seraya memelukku.

“Ayahmu cuma seekor anjing, Nak…” Katanya lirih.

“…sedangkan Ibu, malaikat yang selamanya tunduk kepada anjing.”

Aku hanya terdiam lalu menyalak lirih. Entah harus berkata apa. Ibu seakan-akan sudah ditakdirkan menjadi malaikat, bukan manusia yang memiliki amarah. Dan dalam pandanganku, Ibu adalah malaikat tanpa cela.

**

Beberapa hari setelah peristiwa pengepungan warga, kota pun menjadi sepi. Orang-orang termenung, memikirkan bagaimana caranya memusnahkan ayahku. Sebab, kata mereka, dia tidak bisa dibunuh dengan parang dan api. Keadaan ini bertahan sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ayahku tetap anjing. Ibuku tetap malaikat. Ayahku tetap pergi pagi dan pulang malam cuma untuk minta makan pada Ibu lalu menatap purnama dan melolong panjang melakukan ritualnya.

Keadaan tetap demikian. Hingga suatu ketika, datang seorang manusia ksatria yang mencari Ayah. Ia hendak mengajaknya bertarung. Pertarungan itu disaksikan oleh orang-orang kota di tengah alun-alun. Mereka menyiapkan panggung yang besar dengan tata lampu yang wah. Bahkan ada doorprize dan sistem polling sms! Pertarungan berlangsung berhari-hari sampai penonton merasa bosan dan mual-mual. Hingga pada hari terakhir, manusia ksatria itu menggunakan ilmu pamungkasnya, ilmu mantra putih. Dari setiap jengkal tubuhnya keluar cahaya putih yang berubah menjadi keemasan dan terangnya mengalahkan lampu-lampu panggung yang mulai redup. Ayahku yang cuma seekor anjing terkesima, lalu mati seketika. Penonton yang tersisa bersorak kegirangan dan merayakannya dengan mabuk-mabukan dan kebut-kebutan di jalan-jalan. Bersamaan dengan itu, moncong anjingku hilang. Ah, aku jadi manusia, pikirku. Manusia bersayap malaikat….

Aku pun bersorak kegirangan lalu setengah berlari pulang ke rumah.

“Ibu… Ibu… moncongku hilang… Ayah mati… Ayah mati….!”

Kegiranganku terhenti. Aku lihat Ibu sedang berkemas.

“Ada apa, Bu? Mengapa Ibu berkemas?” tanyaku.

“Sudahlah, Nak. Ini kesempatan kita. Saat inilah yang selalu Ibu khawatirkan dan Ibu bayangkan selama bertahun-tahun. Kita pergi dari sini.”

Aku semakin tidak mengerti.

“Manusia ksatria itu adalah anak ayahmu yang kesekian. Dia sudah bertapa belasan tahun untuk menghilangkan moncong anjingnya dan datang ke sini untuk menuntut balas pada Ayah. Ia menyesal telah menjadi darah daging ayahmu yang anjing itu.”

“Dari mana Ibu tahu?”

“Sudahlah, lekaslah kau berkemas. Sebentar lagi orang-orang akan ke sini dengan pahlawan baru mereka untuk menghancurkan rumah.”

“Tetapi, Bu? Kenapa? Apa alasannya?”

Ibu tidak menjawab. Tanganku kemudian digamitnya dan aku dibawanya pergi, terbang dengan sayap kami.

“Rumah ini pernah menjadi tempat tinggal anjing pembunuh, anjing celaka. Mereka pasti berpikir begitu.”

Kami terus saja terbang dan terbang.

“Kita akan pergi ke kota malaikat.”

Sebenarnya aku merasa berat untuk meninggalkan kota ini. Ingatanku kembali pada masa ketika aku benar-benar percaya kepada Ayah. Ia selalu bilang, “Jangan pernah menjadi anjing, jadilah manusia, atau malaikat, seperti Ibumu.”

“Iya, Ayah.”

Ah, Ayah cuma seekor anjing, anjing yang tidak akan melolong lagi.

***

Erry Indra

Ayahku anjing. Ibuku malaikat. Ketika Ayah melolong di tengah malam nan jahanam, Ibu tengah menitikkan doa lewat air matanya. Sedangkan aku terlahir sebagai: anak yang bermoncong anjing dan bersayap malaikat.

Ayahku menancapkan kemaluannya di sembarang tempat. Di pohon-pohon, di batu-batu, dan di segala jenis anjing, betina, atau jantan sekalipun. Dan ia dikenal sebagai anjing jantan tua yang lacur. Sehingga, kota ini pun hampir-hampir dipenuhi anak-anak serupa aku. Ada yang wajah dan perawakannya sama persis denganku tetapi kulitnya lebih gelap seperti kulit kayu. Ada yang letak tahi lalatnya sama persis seperti di bawah kelopak mataku, sampai-sampai ia operasi laser untuk menghilangkan tahi lalat itu. Ada yang mirip denganku, tetapi ia bisu dan lebih galak dariku. Demikianlah, di kota ini aku punya puluhan, tidak, ratusan kembaran. Hal yang paling membedakan aku dengan mereka adalah sayap malaikat. Sebab, ibu mereka cuma pohon-pohon, batu-batu, dan segala jenis anjing, sedangkan ibuku malaikat.

Sebenarnya, aku mempunyai banyak kerabat. Namun mereka bukan sebangsaku, mereka manusia. Berkali-kali mereka menjanjikan aku operasi dan mantra-mantra, agar bisa menjadi seperti mereka. Berkali-kali aku tagih janji itu, berkali-kali pula aku ditolak. “Ayahmu dulu memang seorang manusia, tetapi sekarang ia anjing. Darah pembangkang ada dalam dirimu. Kami pikir percuma saja kau berusaha menjadi manusia kalau pada akhirnya kau akan berakhir seperti ayahmu.” Dan baru kali itu pula aku merasa benar-benar dilecehkan. Untuk sementara, aku lebih memilih menjadi anak setengah anjing.

*

Orang-orang kota meributkan berbagai peristiwa belakangan ini. Banyak dari mereka mati mendadak tanpa sebab yang jelas. Sebelum kematiannya, perut mereka membuncit lalu meledak seperti pancaran mercon tahun baru yang selalu aku lihat dari atap rumah. Mata mereka memicing atau merah bara setiap kali aku lewat jalan-jalan kota. Kata mereka, “Ayahmu seekor anjing pembunuh!” Sebab mereka tahu ayahku yang cuma seekor anjing menutup matanya pada suatu malam purnama lalu melolong panjang untuk iblis yang ada dalam dirinya. Setelah itu, ia bercinta dengan tong-tong sampah, gundukan tanah keramat, atau pelacur yang kebetulan melintas. Separuh diriku tidak bisa menerima perkataan itu, sebagaimana mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidup sebenarnya akan berakhir dengan kematian.

Pada peristiwa lain, orang-orang kota menjadi linglung. Uang dan perhiasan yang mereka simpan dalam pundi-pundi mereka raib begitu saja. Bukan menghubungi polisi, mereka malahan lari mengadu ke dukun. Lantas dukun itu bilang, “Seekor anjing beristri malaikat yang melakukannya.” Rumahku langsung diburu warga yang geram. Aku terkejut mendapatkan rumahku sudah dikurung ratusan manusia. Ibu yang menghadapi mereka. Sayapnya terlipat lesu. “Maaf, Bapak tidak ada di rumah. Belum pulang”, ujar Ibu. Warga semakin murka dan hampir-hampir membakar rumah kami –lebih tepatnya, rumah kontrakan. Mengetahui hal itu, aku langsung berhambur keluar. Menggonggong dengan beringas sambil mengepakkan sayap kebanggaanku.

“Kalau kalian hendak membakar sesuatu, bakar saja ayahku. Dia yang bersalah, bukan kami!” ujarku penuh geram.

“Tapi dia ayahmu.” Sahut salah satu dari mereka.

“Ah, persetan! Dia hanya pulang kalau dia lapar.”

Mereka pun membubarkan diri lalu menyebar ke segala penjuru kota mencari Ayah sambil membawa golok, parang, jerigen bensin, dan korek api.

Ibu menangis tersedu-sedu seraya memelukku.

“Ayahmu cuma seekor anjing, Nak…” Katanya lirih.

“…sedangkan Ibu, malaikat yang selamanya tunduk kepada anjing.”

Aku hanya terdiam lalu menyalak lirih. Entah harus berkata apa. Ibu seakan-akan sudah ditakdirkan menjadi malaikat, bukan manusia yang memiliki amarah. Dan dalam pandanganku, Ibu adalah malaikat tanpa cela.

**

Beberapa hari setelah peristiwa pengepungan warga, kota pun menjadi sepi. Orang-orang termenung, memikirkan bagaimana caranya memusnahkan ayahku. Sebab, kata mereka, dia tidak bisa dibunuh dengan parang dan api. Keadaan ini bertahan sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Ayahku tetap anjing. Ibuku tetap malaikat. Ayahku tetap pergi pagi dan pulang malam cuma untuk minta makan pada Ibu lalu menatap purnama dan melolong panjang melakukan ritualnya.

Keadaan tetap demikian. Hingga suatu ketika, datang seorang manusia ksatria yang mencari Ayah. Ia hendak mengajaknya bertarung. Pertarungan itu disaksikan oleh orang-orang kota di tengah alun-alun. Mereka menyiapkan panggung yang besar dengan tata lampu yang wah. Bahkan ada doorprize dan sistem polling sms! Pertarungan berlangsung berhari-hari sampai penonton merasa bosan dan mual-mual. Hingga pada hari terakhir, manusia ksatria itu menggunakan ilmu pamungkasnya, ilmu mantra putih. Dari setiap jengkal tubuhnya keluar cahaya putih yang berubah menjadi keemasan dan terangnya mengalahkan lampu-lampu panggung yang mulai redup. Ayahku yang cuma seekor anjing terkesima, lalu mati seketika. Penonton yang tersisa bersorak kegirangan dan merayakannya dengan mabuk-mabukan dan kebut-kebutan di jalan-jalan. Bersamaan dengan itu, moncong anjingku hilang. Ah, aku jadi manusia, pikirku. Manusia bersayap malaikat….

Aku pun bersorak kegirangan lalu setengah berlari pulang ke rumah.

“Ibu… Ibu… moncongku hilang… Ayah mati… Ayah mati….!”

Kegiranganku terhenti. Aku lihat Ibu sedang berkemas.

“Ada apa, Bu? Mengapa Ibu berkemas?” tanyaku.

“Sudahlah, Nak. Ini kesempatan kita. Saat inilah yang selalu Ibu khawatirkan dan Ibu bayangkan selama bertahun-tahun. Kita pergi dari sini.”

Aku semakin tidak mengerti.

“Manusia ksatria itu adalah anak ayahmu yang kesekian. Dia sudah bertapa belasan tahun untuk menghilangkan moncong anjingnya dan datang ke sini untuk menuntut balas pada Ayah. Ia menyesal telah menjadi darah daging ayahmu yang anjing itu.”

“Dari mana Ibu tahu?”

“Sudahlah, lekaslah kau berkemas. Sebentar lagi orang-orang akan ke sini dengan pahlawan baru mereka untuk menghancurkan rumah.”

“Tetapi, Bu? Kenapa? Apa alasannya?”

Ibu tidak menjawab. Tanganku kemudian digamitnya dan aku dibawanya pergi, terbang dengan sayap kami.

“Rumah ini pernah menjadi tempat tinggal anjing pembunuh, anjing celaka. Mereka pasti berpikir begitu.”

Kami terus saja terbang dan terbang.

“Kita akan pergi ke kota malaikat.”

Sebenarnya aku merasa berat untuk meninggalkan kota ini. Ingatanku kembali pada masa ketika aku benar-benar percaya kepada Ayah. Ia selalu bilang, “Jangan pernah menjadi anjing, jadilah manusia, atau malaikat, seperti Ibumu.”

“Iya, Ayah.”

Ah, Ayah cuma seekor anjing, anjing yang tidak akan melolong lagi.

***

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/