PRT Diperbudak Selama 25 Tahun
Sri Purwati alias Purowati alias Butet (30), warga Jalan Brigjen Katamso Gang Datuk, yang berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) mengalami perbudakan selama lebih kurang 25 tahun oleh majikannya.
Karena tidak tahan lagi mengalami siksaan sejak usia 9 tahun, akhirnya Sri mengadu ke Mapolsekta Medan Kota. Pengaduan itu dilakukannya usai dirinya berhasil menyelamatkan diri dari kediaman majikannya yang berinisial PRS, sekira pukul 19.00 WIB dengan didampingi kepling setempat 8 Februari 2012 lalu.
Menurut Sri, selama dirinya bekerja dengan majikannya itu tidak pernah sekalipun mendapatkan upah kerja. Selain itu, Sri juga sering mendapat perlakuan kasar dan penganiayaan. Untuk makan saja, Sri diberi jatah, serta dilarang bergaul.
Tidak hanya sampai di situ saja, perilaku yang juga tidak terpuji dilakukan oleh majikannya, dengan cara mengubah identitas Sri secara keseluruhan. Ini dibuktikan dari Kartu Keluarga (KK) yang dibuat oleh keluarga majikannya.
Ketika ditemui temui wartawan di Penang Corner, Jalan Dr Mansyur Medan, Selasa (13/3), Sri mengaku rindu pada keluarganya.
“Saya mau ketemu keluarga ayah dan adik. Saya mau dia (majikan) dihukum ringan tapi saya minta ganti rugi,” ungkap Sri.
Koordinator Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sumut, Rina Sitompul SH yang mendampingi Sri mengemukakan, kasus Sri Purwati alias Purowati alias Butet merupakan kasus perbudakan pertama kalinya yang terjadi di Sumut yang ditanganinya.
“Tidak menutup kemungkinan masih ada dan banyak Sri-Sri lainnya di luar sana. Kita minta, agar aparat penegak hukum segera memproses kasus dengan tegas dan tuntas,” ucap Rina.
Ia menjelaskan, Sri menjadi dampingan P2TP2A sejak 10 Februari 2012 lalu, diantar oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPID) Sumut. Sekarang, untuk sementara waktu Sri tinggal di rumah Aman milik lembaga di bawah naungan Biro Pemberdayaan Perempuan Sumut.
Dalam konteks UU Perlindungan Anak bisa berlaku surut, maka majikan Sri sudah melakukan pelanggaran UU tersebut.
“Kita berharap, agar aparat penagak hukum untuk tidak kecolongan dalam menentukan dan mengenakan pasal berlapis bagi pelaku. Selain KUHP, pelaku juga dikenakan UU KDRT karena kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan ekonomi yang dialami korban selama ini,” terangnya.
Apa yang dialami Sri tersebut, kata Rina Sitompul, merupakan kekerasan dalam rumah tangga dan melanggar undang-undang tenaga kerja yang mengarah ke perbudakan.
“Ini pelanggaran HAM dan tidak berprikemanusiaan. Hak-hak Sri telah dirampas,” tegas Rina.(ari)