Oleh: Iwan Junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos
SEPINTAS lalu, bahu bukanlah sesuatu yang istimewa. Terlihat hanya menjadi salah satu bagian dari tubuh kita yang berada di antara leher dan pangkal lengan.
Namun jika lebih diperhatikan lagi, nyatanya bagi sebagian orang, bahu merupakan bagian tubuh yang sangat vital. Setidaknya bagian tubuh yang satu ini bisa dipergunakan sebagai alat untuk menghidupi keluarga. Gak percaya? Coba lihat apa yang dilakukan kawan-kawan kita di pusat pasar sana.
Dengan bahunya mereka mengangkat segoni beras. Dengan bahunya juga mereka mengangkat sayuran ke lapak pedagang, hingga akhirnya berlabuh di meja hidangan kita. Ingat, semuanya itu tak terlepas dari jasa organ tubuh yang disebut bahu.
Pertanyaannya, apakah bahu hanya dipergunakan untuk mengangkat yang berat-berat semata. Ternyata tidak. Bagi sebagian orang yang lainnya, bahu justru berfungsi untuk menempatkan sebuah benda, yang meski ringan namun sangat berharga dan menjadi lambang superioritas pemakainya.
Setidaknya kita bisa melihat ini pada uniform bapak-bapak yang bertugas sebagai abdi negara.
Ironisnya, jika kita berjalan-jalan di sekitar Jalan Bulan pada pukul 02.00 WIB dini hari hingga subuh, dua tokoh seperti yang disebutkan di atas tadi justru sering terlibat pertengkaran bahkan tak jarang diakhiri dengan pertikaian di antara mereka.
Penyebabnya apalagi kalau bukan karena bahu. Ya… di satu sisi teman yang mempergunakan bahunya untuk mengangkat sayur dan buah sebagai sumber penghidupan merasa diperlakukan tidak adil oleh para aparat negara yang justru menganggap mereka-mereka yang bekerja dengan bahunya tadi sebagai sumber kemacetan di wilayah itu. Wah…..
Itu cerita tentang aparat pemerintah yang menjadikan bahunya sebagai tempat untuk menyematkan simbol-simbol kebesaran akan dirinya.
Namun ternyata simbol-simbol kebesaran yang ditempatkan dibahu juga dimiliki oleh rekan-rekan di kepolisian dan militer. Ya… semakin tinggi jabatan seseorang, maka akan semakin indah pula hiasan yang ditempatkan di atas bahu mereka. Dari mulai balok, melati hingga bintang. Wow… betapa cantik lambang-lambang itu.
Sontak terbersit harap di kepala, agar orang-orang yang mendapatkan simbol-simbol kebesaran yang cantik-cantik tadi tadi dapat menjadi pengayom sebagai bukti atas tanggung jawabnya terhadap simbol-simbol kebesaran yang telah mereka dapatkan.
Bisa jadi… harapan itu pula yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang pada beberapa hari terakhir melakukan demo akibat dari dikeluarkan sebuah keputusan oleh pemegang hiasan terindah atas bahu di negeri ini. Akibatnya, beragam tindakan frontal yang riskan melahirkan bentrokan pun kerap terjadi.
Arghhhh….kejadian itu membuktikan jika ternyata bahu tidak sesederhana yang kita lihat. Suka-suka atau tidak… bagian tubuh yang relatif kecil itu pun pelan-pelan telah berubah menjadi simbol dari sebuah tanggung jawab, meski bagi bagi kebanyakan perempuan, bahu milik laki-laki ternyata hanya merupakan tempat yang paling nyaman untuk meneteskan air matanya.
Pertanyaannya, sudikah mereka-mereka yang memiliki simbol-simbol indah di atas bahunya membiarkan air mata kaum awam membasahi simbol-simbol kebesaran yang mereka miliki? Entahlah. (*)