Oleh: Dame Ambarita
Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Dahulu saat belum ada pembagian waktu bumi di bujur 0 derajat Greenwich (GMT= Greenwich Mean Time), orang Mesir menandai waktu dengan Obelisk (batu panjang lonjong seperti monumen) yang dibangun pada awal 3500 SM. Bayangannya ketika diterpa sinar matahari dijadikan patokan seperti jarum jam sebagai penanda waktu. Dengan Obelisk, orang Mesir juga bisa tahu kapan tahun terpanjang dan terpendek.
Selain bangsa Mesir, bangsa-bangsa yang tersebar di seluruh dunia memiliki sistem pengaturan waktu sendiri. Orang Batak kuno menyebut waktu sesuai pergerakan matahari. Pukul 4 pagi disebut Buha-buha ijuk (remang pagi), pukul 5 pagi Torang ari (hari mulai terang), pukul 6 Bincar mataniari (matahari terbit), pukul 7 Manogot (pagi), dst…. Kemudian pukul 12 siang disebut Hos (panas terik), pukul 6 sore Bot, bonom mataniari (matahari terbenam), pukul 10 malam Sampe modom (waktunya tidur), pukul 12 Tonga borngin (tengah malam), pukul 1 pagi disebut haroro ni panangko (kedatangan pencuri), pukul 2 pagi martahuak mirik (berkokok kecil), satu jam berikutnya Martahuak manuk pasadaon (kokok ayam pertama), dan seterusnya…
Selain Batak kuno, masing-masing bangsa membuat pengaturan waktunya sendiri sesuai kebutuhan daerah masing-masing. Tidak ada pengaturan standar waktu dunia yang disepakati bersama.
Adalah Sandford Fleming, Insinyur Kanada, orang pertama yang terpikir untuk membuat pengaturan waktu bersama antar negara. Pemikiran itu berawal tahun 1876, saat dirinya melakukan perjalanan naik kereta api dari Irlandia, pukul 5.35 malam waktu setempat. Tapi saat dirinya tiba di stasiun, ternyata KA telah berangkat 12 jam sebelumnya, pada pukul 5.35 pagi. Fleming pun bingung. Kisah itu diungkap dalam buku Time Lord: Sir Sandford Fleming and the Creation of Standard Time.
Pengalaman buruk itu lalu membuat Fleming berpikir: bumi satu, mestinya pembagian waktu bisa diatur bersama. Sejarah mencatat, berdasarkan usul dari Fleming, penanggalan dan standar waktu secara umum ditentukan dalam Konferensi Meridian Internasional tahun 1884.
Berdasarkan usulan Fleming, waktu dibagi berdasarkan rotasi bumi 24 jam. Bumi bulat dihitung 360 derajat, dan lalu dibagi dalam 24 zona waktu. Kala itu disetujui, pembagian waktu bumi diawali tengah malam di bujur 0 derajat Greenwich (GMT). Setiap 15 derajat ke arah kanan atau kiri berarti selisih satu jam (+1 GMT atau -1 GMT). Begitu terus hingga berputar dan kembali ke GMT. Begitulah, hingga ada 24 daerah waktu di dunia – berdasarkan perhitungan kecepatan rotasi bumi, lingkaran bola bumi, dan lama rotasi bumi.
Wilayah Indonesia, yang dulunya terdiri dari kerajaan-kerajaan terpisah, tak serta merta mengikuti pengaturan zona waktu GMT itu. Masing-masing daerah memiliki sistem penyebutan waktu. Suku-suku memiliki penanda waktu sendiri-sendiri. Seperti Batak kuno yang disebutkan di atas misalnya.
Barulah pada 6 Januari 1908, seperti ditulis oleh historia.com, Belanda mulai mengatur zona waktu. Saat itu, diputuskan zona waktu Jawa Tengah dan Batavia dengan perbedaan waktu 12 menit, berlaku untuk Jawa dan Madura. Pengaturan ini sesuai waktu Amsterdam. Di luar wilayah itu, Belanda sama sekali tak mengaturnya.
Berikutnya, pengaturan zona waktu berkembang untuk wilayah di luar Jawa seperti Sumatera Barat dan Timur serta Balikpapan. Memasuki 1930-an, penerbangan internasional dari Hindia Belanda ke Singapura dan Australia dibuka. Hindia Belanda, untuk pertama kalinya, membagi enam zona waktu sejak 11 November 1932. Ada selisih waktu, tiap zona 30 menit.
Pengaturan ini berubah saat Jepang berkuasa di nusantara pada 1942. Saat itu, Jepang menyatukan standar waktu Indonesia mengikuti Tokyo yaitu GMT+9. Alasannya sederhana. Jepang ingin membuat efektif operasi militer mereka.
Namun setelah Jepang kalah di Perang Dunia Kedua, dan Belanda menduduki kembali sebagian daerah di Indonesia pada 1947, sistem waktu di Indonesia diringkas menjadi tiga zona. Tiap zona berselisih GMT +6, +7, dan +8, kecuali Papua yang berselisih GMT + 9.
Namun, pembagian ini tak berlangsung lama. Pada 1950, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, dan Indonesia kembali ke pembagian enam zona waktu dengan selisih 30 menit tiap zona. Hanya Irian yang masih menggunakan peraturan Belanda tahun 1947 karena masih diduduki Belanda. Aturan itu bertahan selama 13 tahun.
Tahun 1963, Indonesia mengubah kembali zona waktu menjadi tiga zona waktu: barat, tengah, dan timur. Irian Jaya yang telah kembali ke wilayah Indonesia masuk zona timur bersama daerah tingkat I Maluku, karena terletak pada 135 derajat bujur timur. Selisih waktunya dengan GMT adalah + 9. Pembagian itu resmi dimulai sejak 1 Januari 1964.
Begitulah keputusan pemerintah, dan rakyat Indonesia pun menyusun irama hidupnya setiap hari berdasarkan zona waktu itu.
Peraturan itu bertahan sampai 1987, ketika pemerintah membuat kebijakan memutuskan Bali masuk ke zona tengah karena pertimbangan pariwisata, sedangkan Kalimantan Barat dan Tengah ditarik ke zona barat dari zona tengah. Indonesia tetap dengan zona tiga waktu sampai hari ini. (bersambung)