JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pernyataan mengejutkan disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja. Mendadak, Bagja menggulirkan usulan penundaan pelaksanaan Pilkada 2024.
HAL itu disampaikan dalam Rapat Koordinasi Kementrian dan Lembaga Negara yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden (KSP), Rabu (13/7). Pernyataan itu, lantas dirilis dalam keterangan tertulisnya, kemarin (14/7).
Jika merujuk ketentuan Undang-undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan kesepakatan bersama, pemungutan suara Pilkada 2024 akan digelar 27 November. Atau sekitar sebulan setelah pelantikan Presiden hasil Pemilu 2024.
Bagja mengatakan, pelaksanaan Pilkada yang beririsan dengan Pemilu 2024 memunculkan banyak kerawanan. Sebab, tahapan pilkada berbarengan dengan tahapan pemilu. Bahkan pemungutan suara hanya sebulan pasca pelantikan presiden. “Pemungutan suara pada November 2024 yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti,” ujarnya.
Dari aspek keamanan, rentetan waktu tersebut sangat rawan. “Karena itu, kami mengusulkan sebaiknya membahas opsi penundaan pemilihan (pilkada),” imbuhnya.
Di sisi lain, Pilkada serentak juga punya tantangan keamanan. Sebelumnya, lanjut Bagja, pengamanan Pilkada dilakukan secara kolektif. Dia mencontohkan, saat ada gangguan keamanan pada Pilkada Makassar misalnya, maka ada pengerahan dari aparat di daerah sekitarnya. “Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa,” ungkap sarjana hukum dari Universitas Indonesia itu.
Menyikapi usulan Ketua Bawaslu ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari malah menginginkan agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 lebih cepat dari jadwal yang telah ditentukan daripada ditunda. “Aku belum tahu dasarnya dia (Ketua Bawaslu RI) apa. Kalau kami inginnya lebih cepat lebih baik, coblos itu di September,” kata Hasyim usai bertemu Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa di Kantor KPU RI, Jakarta, kemarin sore.
Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai, usulan penundaan Pilkada 2024 ini berbahaya. Mardani punya dua alasan, mengapa usulan tersebut berbahaya. Pertama, menunda Pilkada Serentak 2024 akan memperpanjang masa jabatan penjabat (pj) gubernur, bupati, dan wali kota. Akibatnya, masyarakat akan semakin lama dipimpin oleh orang yang tidak punya otoritas penuh membuat kebijakan.
“Makin lama kita menunda pilkada, semakin lama masyarakat tidak mendapatkan pemimpin definitif. Semuanya pj. Pj itu punya problem, yakni dia tidak punya otoritas penuh karena dia diangkat, bukan dipilih,” kata Mardani.
Selain itu, seorang Pj bekerja di bawah kendali presiden dan menteri dalam negeri. “Lebih cepat (Pilkada), lebih baik. Serahkan kepada rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya,” ujar mitra kerja Bawaslu RI itu.
Alasan Kedua, usulan tersebut mengutak-atik kesepakatan yang telah dibuat sejak jauh-jauh hari oleh DPR bersama pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu. Dalam rapat kerja Komisi II DPR RI pada Januari 2022 telah disepakati bahwa Pilkada Serentak digelar pada 27 November 2024.
Terlebih lagi, kata dia, pelaksanaan Pilkada Serentak pada bulan November 2024 merupakan perintah undang-undang. UU 10/2016 tentang Pilkada memang mengamanatkan agar pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan tersebut.
Dalam kesempatan itu, Mardani menjelaskan pula mengapa argumen Bawaslu untuk menunda pilkada tidak tepat. Mardani mengatakan, Bawaslu tidak perlu khawatir berlebihan soal pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak beririsan dengan tahapan Pemilu 2024, yakni pelantikan presiden pada Oktober 2024 yang akan diikuti pergantian menteri. “Kata (Bawaslu), Oktober baru dilantik para menteri. Menteri itu kan jabatan politis, sedangkan timnya kan bukan orang baru. Direktur jenderalnya sama, direkturnya sama, birokrasinya sama. Jadi tidak usah khawatir,” ujarnya.
Dia juga meminta Bawaslu tak perlu khawatir berlebihan soal potensi gangguan keamanan lantaran pilkada dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Mardani, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 telah membuktikan bahwa hajatan besar memilih 270 kepala daerah itu bisa terlaksana dengan lancar tanpa gangguan, meski ketika itu sedang berlangsung pandemi Covid-19. “Selama ini, pilkada semuanya berjalan dengan baik, menurut pandangan saya. Jadi tidak perlu memandang dengan horor. Semua berjalan dengan baik,” ujarnya.
Mardani menambahkan, Bawaslu tidak perlu terlalu risau dengan kesulitan pelaksanaan maupun kerawanan Pilkada Serentak 2024 karena masyarakat sudah semakin cerdas dalam berdemokrasi. Selain itu, partai politik, termasuk PKS, juga sudah siap untuk menjadi peserta pesta demokrasi itu. “Jangan dibayangkan pilkada itu sebagai momok yang menakutkan. Itu pesta bersama kok,” katanya.
Pengamat politik Yusfitriadi mengatakan, usulan Ketua Bawaslu RI sangat aneh. Sebab, rencana itu sudah diketahui sejak lama. “Kenapa baru ngomong hari ini? Jadi semua beririsan semua sudah diketahui dari awal,” ujarnya dalam diskusi di Kantor Formappi Jakarta.
Baginya, alasan yang disampaikan cukup aneh. Sebab semua sudah bisa diprediksi sejak jauh-jauh hari. Lagi pula, jika ada yang keberatan semestinya KPU yang memegang aspek teknis.
Yus justru khawatir, jika usulan tersebut berasal dari kelompok tertentu. Dari perspektif politik, terlalu dekatnya pilkada dengan pelantikan tidak menguntungkan bagi presiden terpilih karena berjarak satu bulan. “Presiden belum bisa mengkondisikan pilkada,” tuturnya.
Koordinator Komite Pemilih (TePi) Jeirry Sumampow menambahkan, persoalan tersebut tidak sederhana. Sebab, bulan pelaksanaan Pilkada 2024 diatur dalam UU Pilkada. Imbasnya, perubahan harus dilakukan melalui revisi UU Pilkada. “Atau harus lewat Perppu,” terangnya. Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum belum memberikan komentar soal wacana tersebut. (far/jpg)