26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Penghancuran Lingkungan Mengatasnamakan Pembangunan

Boleh jadi setiap orang sepakat bila pembangunan butuh pengorbanan. Namun mengatasnamakan pembangunan dengan mengorbankan lingkungan jelas bukan langkah yang tepat. Merusak bumi Deli Serdang sebagai pintu masuk pembangunan juga bukan kebijakan cermat. Belakangan aktivitas pengrusakan lingkungan ini mulai tak kenal tempat. Dari dataran tinggi, rendah, hingga pesisir pantai semua habis dibabat. Eksploitasi mengerikan ini harus dihentikan bila tak mau tanah nan subur ini terkena bencana lingkungan yang dahsyat.

WILAYAH Deli Serdang dengan 22 kecamatan yang mengitarinya tentulah menyimpan kekayaan alam melimpah. Satu dari sekian banyak potensi alam yang tersimpan adalah cadangan galian tambang golongan C. Ada pasir, batu koral, tanah timbun, dan bebatuan lainnya yang merupakan material utama dalam pelaksanaan proyek-proyek fisik.

Bumi Deli Serdang masih menyimpan potensi bahan tambang lain di luar galian golongan C di atas. Sebut misalnya  karolin, batu granit, dan marmer. Wajar bila tanah ini menjadi sasaran pengusaha galian C. Di daerah satelit Medan, Binjai. Langkat, Deli Serdang, boleh dibilang kawasan inilah yang menyimpan cukup banyak cadangan galian golongan C.

Lokasi strategis yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan properti di Medan dan pengembangan Bandara Kualanamu membuat aktivitas penggalian golongan C tercatat sebagai bisnis menggiurkan. Mungkin tak ada alasan untuk tidak memilih Deli Serdang sebagai objek lokasi bisnis ini. Ada gula ada semut. Sejak pengembangan kota baru dengan aneka properti yang digerakkan para develover yang ‘’baru’’ konon kebutuhan material- seperti batu, koral, dan kerikil- mencapai jutaan meter kubik per bulannya. Angka ini belum terhitung kebutuhan pasokan material bagi pengembangan Bandara Kualanamu yang mencapai sekitar 3 juta meter kubik.

Pasar bisnis ini jelas bikin mata pengusaha manapun terbelalak. Banyak yang mencoba lewat prosedur resmi, tapi tak sedikit yang nekad membuka sendiri tanpa sehelai dokumen pun berada di tangan. Lokasi penambangan juga mulai dirambah sesuka hati. Bisa Anda lihat mulai hulu hingga hilir Sungai Ular, pesisir Pantai Labu, areal eks hak guna usaha (HGU) PTPN 2 juga ikut dirambah. Modus lain yang tak kalah ironis adalah mengacak-acak areal pertanian dengan alasan membuat sawah. Padahal yang terjadi alat-alat berat seperti beko dan eskavator justru memindahkan material dari areal itu ke atas truk-truk bertonase berat.

Dari data yang dihimpun Sumut Pos dari Dinas Cipta Karya dan Pertambangan hingga kini Pemkab Deli Serdang hanya mengizinkan enam lokasi sebagai objek penambangan golongan C. Faktanya sudah ada 46 titik lokasi yang dijadikan objek lokasi penambangan. Sayangnya Pemkab Deli Serdang seolah tak berdaya menertibkan 40 titik yang dianggap kawasan penambangan ilegal. Dari 46 lokasi itu diperkirakan ribuan truk bertonase berat silih berganti mengangkut material galian C. Eksploitasi tanpa izin ini jelas menjadi awal kehancuran lingkungan sekitar. Pantauan Sumut Pos pekan ini, sisa penggalian batu koral dari dasar Sungai Ular mulai mengancam ekosistem sungai. Tak hanya merusak tanggul dan daerah aliran sungai (DAS), aktivitas alat-alat berat di tempat itu juga dikeluhkan para nelayan dan pemancing. ‘’Ah, tak ada lagi ikan di sini, Bang! Biasanya kami dapat 5-6 ekor sehari,’’ kata seorang pemancing yang dihampiri Sumut Pos.

Akan halnya penambangan batu koral justru menimbulkan persoalan lingkungan yang tak kalah pelik. Batu koral yang dieksploitasi dari areal perbukitan tentunya memerlukan pencucian lebih dulu untuk memisahkannya dari tanah lumpur. Biasanya air yang dipakai sebagai pencuci disedot dari sungai. Limpasan air yang terbuang kembali ke sungai membawa lumpur tebal yang terlepas dari batu Koral. Lumpur dalam jumlah besar yang masuk ke dasar sungai secara perlahan membuat sungai akan mengalami pendangkalan.

Dari penelusuran Sumut Pos, ribuan kubik batu Koral yang ditambang setiap hari itu diangkut ke kilang-kilang pemecah batu, juga kilang pembuat aspal hotmix yang (lagi-lagi) banyak berdiri secara ilegal di Deli Serdang. Akan halnya lokasi penggalian pasir biasanya berada di DAS dan pinggir pantai. Tentulah bekas lokasi galian itu meninggalkan bekas  berupa lubang besar sisa lokasi galian tanah timbun. Kegiatan penambangan pasir dari sungai memperlebar DAS, sedangkan penggalian batu Koral di perbukitan perlahan mengikisnya sehingga rata dengan tanah. Kerusakan lingkungan semakin tidak terelakkan. Akan tetapi ‘’penjarahan’’ terhadap alam ini kok seolah menjadi tontonan biasa saja? Dalam tiga bulan terakhir saja, kawasan Desa Durian, Pantailabu, tercatat sebagai lokasi penggalian material yang diperuntukkan di mega proyek bakal Bandara Kualanamu. Ribuan kubik sudah diangkut. Kendati tak mengantongi izin toh aktivitas ilegal tersebut beroperasi layaknya perusahaan legal.

Sebetulnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan sejumlah elemen lembaga sosial masyarakat pernah memperkarakan secara hukum pengerukan pantai untuk penimbunan Bandara Kualanamu pada tahun 2008 silam. LSM peduli lingkungan hidup ini menilai pengerukan pantai tidak dilakukan sesuai aturan pemerintah yang benar.

“Bupati Deli Serdang jelas mengangkangi aturan yang lebih tinggi dengan mengeluarkan izin pengerukan ke PT Citra Trahindo Pratama,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Syahrul, kepada wartawan, akhir Oktober 2010 lalu. Syarul berpendapat Pemkab Deli Serdang tidak memedulikan ketentuan yang benar. Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 1991 tentang Pedoman Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

Dalam ketentuan itu diatur surat izin penambangan daerah (SIPD) yang dikeluarkan Pemkab Deli Serdang mestinya tidak lebih dari 1.000 hektar. Namun penambangan pasir pantai di Pantailabu, Deli Serdang dilakukan di lahan seluas 1.511 hektar.

“Tidak ada aturannya SIPD keluar di lahan lebih dari 1.000 hektar. Mengapa Pemkab mengizinkan ini?” kata Syahrul.
Dia juga menilai Pemkab Deli Serdang melawan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 217 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C. Dalam pasal 1 ketentuan itu disebutkan, usaha pertambangan lepas pantai harus mendapatkan izin dari menteri pertambangan dan energi.

Seluruh aktivitas yang berdampak pada kehidupan warga dan ekosistem itu membuat Pemkab Deli Serdang tak lagi punya alasan untuk ‘’main-main’’ dalam penindakan di lapangan. Razia gabungan yang digelar Satpol PP, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman juga masih sebatas ‘’pencitraan’’ belaka. Kegiatan penambangan ilegal itu akan kembali dilakukan bila razia berlalu. Ada pula rumor tak sedap yang menuding tim gabungan tak berani merazia lantaran penambangan ilegal itu disebut sebut diback-up oknum pejabat dan aparat keamanan. Razia juga terkesan tebang pilih. Soal penyitaan alat-alat berat juga dikesankan sekadar kejar target belaka.

Komisi C DPRD Deli Serdang, misalnya, dalam sebulan terakhir gencar mengelar sidak ke lokasi-lokasi yang dinilai belum memiliki izin penambangan galian.

”Keberadaan lokasi galian C sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Apa harus makan korban jiwa dulu baru serius ditertibkan?” ungkap Ketua Komisi C DPRD Deli Serdang, Mikail.

Aksi penertiban yang dilakukan oleh Pemkab Deli Serdang hanya terkesan ‘’gertak sambal”. Hingga kini belum ada dari hasil razia penertiban itu berujung ke ranah hukum. Proses hukum perlu dilakukan sebagai shock therapy agar penambangan tidak lagi menjamur. Faktanya sampai kini belum ada seorang pengusaha galian C ilegal pun yang terjerat, bahkan dijatuhi vonis. Nah, memang ada alat-alat berat yang disita dan ditahan, tapi toh ada oknum pengusaha atau pemilik truk yang ditahan. Sejatinya untuk membuat efek jera oknum pengusaha galian C ilegal harus dijerat dengan Undang-undang pertambangan.

“Bila dijerat dengan UU Pertambangan kemungkinan meluas dengan menjeratnya dengan UU Perlindungan Lingkungan Hidup,” kata Mikail.
Tak cuma di pesisir Pantailabu, temuan Walhi mengungkapkan banyak pula desa di Kecamatan Namorambe yang dirambah oleh pengusaha galian C. Pengusaha galian C di wilayah Namorambe ini juga diduga tak punya izin pengerukan. Namun kembali Pemkab Deli Serdang terkesan “tutup mata”. Kalau dibiarkan terus menerus, musibah besar seperti banjir hebat tinggal menunggu waktu saja. Jaya mengatakan perusak lingkungan seperti penambang liar galian C di Namorambe- yang diduga tak punya izin- sama dengan teroris.

“Saya mengumpamakan pengusaha galian C yang tak punya izin seperti teroris, karena  mereka merusak lingkungan, sehingga ribuan manusia terkena dampak dari pengrusakan lingkungan tersebut. Ini harus ditindak tegas oleh Pemkab setempat, sehingga kerusakan lingkungan bisa teratasi,” terangnya.
Menurut Jaya, Bupati Deli Serdang harus melihat UU No 32 Tahun 2009, karena UU tersebut mempunyai tujuan dampak erosi harus dihindari, agar musibah yang melanda masyarakat bisa dihindari.

“Bupati Deli Serdang harus tegas terhadap peng usaha Galian C liar, kalau tidak mau bencana yang lebih besar akan datang,” tegas Jaya saat dihubungi wartawan via selular.Jaya juga menjelaskan, perusak lingkungan melalui Galian C ini, dapat diancam dengan UU No 39 Tahun 1945 tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pengusaha Galian C tanpa izin dengan sadar telah melanggar HAM, pasalnya mereka telah merusak ekosistem alam yang seharusnya bisa dinikmati oleh manusia.

Walhi Sumut mendesak Bupati Deli Serdang Amri Tambunan segera menertibkan Galian C liar di Namorambe, maupun wilayah lainnya yang ada di Deli Serdang.

“Bupati harus peka terhadap pengrusakan lingkungan, dan Pemkab Deli Serdang segera mengambil langkah untuk melestarikan lingkungan yang telah rusak akibat Galian C,” pungkas Jaya.

Apa yang ditegaskan Jaya tentu bermaksud mulia. Jika hendak menyelamatkan lingkungan Deli Serdang, tak ada jalan lain: tegakkan hukum, tangkap pengusaha penambangan liar, dan tertibkan oknum-oknum di belakang mereka! (batara/valdesz)

Revitalisasi Kegiatan Penambangan Galian C

Baru-baru ini di media massa sering kita membaca pemberitaan bahwa galian C menyebabkan kerusakan lingkungan. Pemerhati lingkungan seringkali menuding aktivitas penambangan merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Aktivitas penambangan pulalah yang dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan jalan. Lagi-lagi kita akan berkesimpulan yang sama apabila kita berkunjung ke suatu lokasi penambangan. Lengkap sudah tudingan bahwa kegiatan penambangan sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Benarkah penambangan merusak lingkungan?

Segala kegiatan industri, termasuk industri pertambangan, dan aktivitas manusia di dalam menyediakan prasarana dan sarana kehidupannya seperti membangun rumah, jalan, jembatan, pasar, dsb, akan menyebabkan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya.
Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.

Menurut Jordan (dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan menjadi tiga, yakni pertama, ringan, apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak, atau penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati; kedua, menengah, apabila struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, misalnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya; ketiga, berat, apabila struktur hutan rusak berat dan produkfitas tanahnya menurun. Contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan, termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan.

Dampak dan perubahan tersebut merupakan harga yang harus dibayar atas pemanfaatan sumber daya mineral dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pengelola tambang harus mampu mengelola kondisi lingkungan di daerah sekitar tambangnya yang terkena dampak negatif dari kegiatannya. Untuk mengurangi dampak tersebut diperlukan upaya pengembalian fungsi lahan akibat penambangan.

Kegiatan untuk pengembalian fungsi lahan tersebut adalah reklamasi. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan  rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, serta aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang.

Pada saat membuka tambang sudah harus dipahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang. Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).

Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.
Di samping itu, kegiatan penambangan tidak boleh dilakukan pada Daerah Permukiman Penduduk, Lokasi Wisata, Kawasan hutan lindung, Kawasan resapan air, Kawasan Perlindungan Setempat, Kawasan Suaka Alam Dan Cagar Budaya, dan Kawasan Rawan Bencana. Penambang-penambang liar/tidak berizin perlu segera ditertibkan, sebab, bagaimana mungkin mereka melakukan kaidah-kaidah penambangan yang baik apabila aturan hukum saja mereka tidak mentaatinya.

Bagi penambang yang sudah berizin, agar mempunyai pandangan yang sama bahwa kegiatan penambangan tidak saja menggali dan mengangkut serta menjual hasil tambang, tetapi ada kegiatan yang harus dilakukan pasca penambangan. Kegiatan tersebut apabila tidak dilakukan, maka kerusakan lingkunganlah yang akan terjadi. Idealnya, kita dapat memanfaatkan sumber-sumber daya alam secara optimal untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif. In Harmonia Progessio. (*)

Belasan Alat Berat  Sudah Ditahan

Pembangunan bandara Kualanamu dan pengembangan properti  di wilayah Medan pinggiran dan inti Kota Deli Serdang, ibarat pepatah ‘’ada gula ada semut’’.  Sedikitnya butuh jutaan meter kubik material tanah timbun untuk membangun semua itu. Tingginya permintaan material juga menjadi pemicu aktivitas galian C ilegal. Bagaimana Pemkab Deli Serdang mengendalikan aktivitas penggalian golongan C yang kian marak ini? Asisten II Pemkab Deli Serdang Agus Ginting, sepekan lalu, menerima wartawan Sumut Pos Batara Tampubolon untuk mendalami masalah ini. Berikut petikannya.

Bagaimana Pemkab Deli Serdang melihat aktivitas penggalian golongan C yang terus berlangsung?

Aktivitas ini tentunya berbahaya bagi lingkungan sekitarnya, dari kegiatan itu akan menimbulkan dampak bagi secara langsung maupun dikemudian hari. Tentuk dilakukan upaya menekan agar akasi kegiatan galian C tidak semakin berkembang, caranya dengan mengelar operasi penertiban melalui tim gabungan yang terdiri unsur TNI, Polri, Kejaksaan serta kehakiman tentu didepan Sat Pol-PP. Aktivitas galian golongan C ilegal itu ada permanen ada yang berpindah pindah. Sehingga dibutuhkan penanganan khusus dalam hal penertiban. Sedangkan pengendalian galian C legal dengan memperketaat penerbitan izin galian C. tentu si pemohon galian C terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang ada.

Sudah ada yang ditertibkan?

Untuk menerbitkan izin galian tentu melibatkan kerjasama terpadu. Ini sesuai kebutuhan kajian di lokasi galian. Istansi yang terlibat itu adalah Dinas Cipta Karya dan Pertambangan, Pertanian, PU Irigasi, dan Bapedalda. Ada belasan alat berat yang ditahan oleh Satpol PP dari operasi penertiban.

Apakah benar bahwa pelaksanan pembangunan bandara kualanamu disebut-sebut sebagai pemicu tumbuh suburnya galian C ilegal?

Pembangunan membutuhkan bahan tambang berupa batu, pasir, tanah serta air. Olehkarenanya, tingginya tingkat kebutuhan mendesak kita untuk memenuhinya. Keberada Bandara Kualanamu merupakan satu dari sekian banyak alasan membuka galian C. tetapi khusus dalam pembanguna  bandara kualanamu, telah diberikan izin lokasi galian untuk kebutuhan percepatan pembangunan runway. Selain, bandara kualanamu. Pelaksanan pembangunan yang kini kian mendesak turut menyebabkan terjadi kegiatan galian C baik itu legal dan ilegal.

Jika dipetakan dimana saja wilayah galian golongan C itu?

Untuk penentuan lebih spesifik dimana saja wilayah galian C, tidak ada di Deli Serdang. Tetapi penentuan lokasinya berupa DAS, disana ada galian pasir dan batu koral.   Tentu jaraknya lokasi galian harus jauh dari sarana irigasi teknis, serta tidak dekat dengan jembatan. pasalnya bila dekat dengan sarana irigasi dikhwatirkan dapat mengancam keberadaan sarana itu sendiri. Aktivitas itu juga berpotensial merusak pondasi jembatan. Sedangkan untuk tambang tanah timbun, biasanya diberikan dilokasi diwilayah perbukitan. Sehingga tambang yang didaerah perbukitan bukit, hanya mendatarkan bukitnya, agar mencegah terciptanya danau danau bekas tambang. Selain tambang galian C, di Deli serdang ada tambang Kaolin. Material ini bahan baku membuat keramik serta kebutuhan industri lainnya. untuk kaolin lokasinya di kecamatan STM Hilir. Keberadan tambang galian C legal tentu memberikan kontribusi  PAD, sejauh mana kontribusi yang diberikan terhadap PAD. Aktifitas galian C legal bukan sumber PAD yang dianggap ‘’primadona’’. Tetapi keberadan lokasi galian C merupakan satu dari sekian sumber sumber PAD lainnya. Untuk target PAD dari tahun ke tahun tidak terlampau signifikan. Tetapi tidak boleh dipungkiri bahwa PAD dari galian C tentu bermanfaat bagi pelaksanan pembangunan.

Sejauh ini bagaimana pengawasannya?

Tentu ada pengawasan, bahkan pengawasan dilakukan kepada desa, camat. Setiap ada lokasi galian C tentu perangkat desa, dan kecamatan diberitahukan tentang keberadan tambang itu. nah, disanlah terjadi pengawasan. ya kan nggak mungkin kita tempat seorang petugas menjaga jaga lokasi galian C. kemudian diizin yang diterbitkan ada ketentuan serta peraturan yang harus dipatuhi setiap pemenggang izin. Itu mulai sebelum melakukan kegiatan sampai rencana berakhirnya kegiatan galian. Tentu ada reklamasi dilokasi galian. Bila tidak dipatuhi tentu ada sangsinya bagi si pengusaha. (*)

Boleh jadi setiap orang sepakat bila pembangunan butuh pengorbanan. Namun mengatasnamakan pembangunan dengan mengorbankan lingkungan jelas bukan langkah yang tepat. Merusak bumi Deli Serdang sebagai pintu masuk pembangunan juga bukan kebijakan cermat. Belakangan aktivitas pengrusakan lingkungan ini mulai tak kenal tempat. Dari dataran tinggi, rendah, hingga pesisir pantai semua habis dibabat. Eksploitasi mengerikan ini harus dihentikan bila tak mau tanah nan subur ini terkena bencana lingkungan yang dahsyat.

WILAYAH Deli Serdang dengan 22 kecamatan yang mengitarinya tentulah menyimpan kekayaan alam melimpah. Satu dari sekian banyak potensi alam yang tersimpan adalah cadangan galian tambang golongan C. Ada pasir, batu koral, tanah timbun, dan bebatuan lainnya yang merupakan material utama dalam pelaksanaan proyek-proyek fisik.

Bumi Deli Serdang masih menyimpan potensi bahan tambang lain di luar galian golongan C di atas. Sebut misalnya  karolin, batu granit, dan marmer. Wajar bila tanah ini menjadi sasaran pengusaha galian C. Di daerah satelit Medan, Binjai. Langkat, Deli Serdang, boleh dibilang kawasan inilah yang menyimpan cukup banyak cadangan galian golongan C.

Lokasi strategis yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan properti di Medan dan pengembangan Bandara Kualanamu membuat aktivitas penggalian golongan C tercatat sebagai bisnis menggiurkan. Mungkin tak ada alasan untuk tidak memilih Deli Serdang sebagai objek lokasi bisnis ini. Ada gula ada semut. Sejak pengembangan kota baru dengan aneka properti yang digerakkan para develover yang ‘’baru’’ konon kebutuhan material- seperti batu, koral, dan kerikil- mencapai jutaan meter kubik per bulannya. Angka ini belum terhitung kebutuhan pasokan material bagi pengembangan Bandara Kualanamu yang mencapai sekitar 3 juta meter kubik.

Pasar bisnis ini jelas bikin mata pengusaha manapun terbelalak. Banyak yang mencoba lewat prosedur resmi, tapi tak sedikit yang nekad membuka sendiri tanpa sehelai dokumen pun berada di tangan. Lokasi penambangan juga mulai dirambah sesuka hati. Bisa Anda lihat mulai hulu hingga hilir Sungai Ular, pesisir Pantai Labu, areal eks hak guna usaha (HGU) PTPN 2 juga ikut dirambah. Modus lain yang tak kalah ironis adalah mengacak-acak areal pertanian dengan alasan membuat sawah. Padahal yang terjadi alat-alat berat seperti beko dan eskavator justru memindahkan material dari areal itu ke atas truk-truk bertonase berat.

Dari data yang dihimpun Sumut Pos dari Dinas Cipta Karya dan Pertambangan hingga kini Pemkab Deli Serdang hanya mengizinkan enam lokasi sebagai objek penambangan golongan C. Faktanya sudah ada 46 titik lokasi yang dijadikan objek lokasi penambangan. Sayangnya Pemkab Deli Serdang seolah tak berdaya menertibkan 40 titik yang dianggap kawasan penambangan ilegal. Dari 46 lokasi itu diperkirakan ribuan truk bertonase berat silih berganti mengangkut material galian C. Eksploitasi tanpa izin ini jelas menjadi awal kehancuran lingkungan sekitar. Pantauan Sumut Pos pekan ini, sisa penggalian batu koral dari dasar Sungai Ular mulai mengancam ekosistem sungai. Tak hanya merusak tanggul dan daerah aliran sungai (DAS), aktivitas alat-alat berat di tempat itu juga dikeluhkan para nelayan dan pemancing. ‘’Ah, tak ada lagi ikan di sini, Bang! Biasanya kami dapat 5-6 ekor sehari,’’ kata seorang pemancing yang dihampiri Sumut Pos.

Akan halnya penambangan batu koral justru menimbulkan persoalan lingkungan yang tak kalah pelik. Batu koral yang dieksploitasi dari areal perbukitan tentunya memerlukan pencucian lebih dulu untuk memisahkannya dari tanah lumpur. Biasanya air yang dipakai sebagai pencuci disedot dari sungai. Limpasan air yang terbuang kembali ke sungai membawa lumpur tebal yang terlepas dari batu Koral. Lumpur dalam jumlah besar yang masuk ke dasar sungai secara perlahan membuat sungai akan mengalami pendangkalan.

Dari penelusuran Sumut Pos, ribuan kubik batu Koral yang ditambang setiap hari itu diangkut ke kilang-kilang pemecah batu, juga kilang pembuat aspal hotmix yang (lagi-lagi) banyak berdiri secara ilegal di Deli Serdang. Akan halnya lokasi penggalian pasir biasanya berada di DAS dan pinggir pantai. Tentulah bekas lokasi galian itu meninggalkan bekas  berupa lubang besar sisa lokasi galian tanah timbun. Kegiatan penambangan pasir dari sungai memperlebar DAS, sedangkan penggalian batu Koral di perbukitan perlahan mengikisnya sehingga rata dengan tanah. Kerusakan lingkungan semakin tidak terelakkan. Akan tetapi ‘’penjarahan’’ terhadap alam ini kok seolah menjadi tontonan biasa saja? Dalam tiga bulan terakhir saja, kawasan Desa Durian, Pantailabu, tercatat sebagai lokasi penggalian material yang diperuntukkan di mega proyek bakal Bandara Kualanamu. Ribuan kubik sudah diangkut. Kendati tak mengantongi izin toh aktivitas ilegal tersebut beroperasi layaknya perusahaan legal.

Sebetulnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan sejumlah elemen lembaga sosial masyarakat pernah memperkarakan secara hukum pengerukan pantai untuk penimbunan Bandara Kualanamu pada tahun 2008 silam. LSM peduli lingkungan hidup ini menilai pengerukan pantai tidak dilakukan sesuai aturan pemerintah yang benar.

“Bupati Deli Serdang jelas mengangkangi aturan yang lebih tinggi dengan mengeluarkan izin pengerukan ke PT Citra Trahindo Pratama,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Syahrul, kepada wartawan, akhir Oktober 2010 lalu. Syarul berpendapat Pemkab Deli Serdang tidak memedulikan ketentuan yang benar. Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 1991 tentang Pedoman Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

Dalam ketentuan itu diatur surat izin penambangan daerah (SIPD) yang dikeluarkan Pemkab Deli Serdang mestinya tidak lebih dari 1.000 hektar. Namun penambangan pasir pantai di Pantailabu, Deli Serdang dilakukan di lahan seluas 1.511 hektar.

“Tidak ada aturannya SIPD keluar di lahan lebih dari 1.000 hektar. Mengapa Pemkab mengizinkan ini?” kata Syahrul.
Dia juga menilai Pemkab Deli Serdang melawan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 217 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C. Dalam pasal 1 ketentuan itu disebutkan, usaha pertambangan lepas pantai harus mendapatkan izin dari menteri pertambangan dan energi.

Seluruh aktivitas yang berdampak pada kehidupan warga dan ekosistem itu membuat Pemkab Deli Serdang tak lagi punya alasan untuk ‘’main-main’’ dalam penindakan di lapangan. Razia gabungan yang digelar Satpol PP, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman juga masih sebatas ‘’pencitraan’’ belaka. Kegiatan penambangan ilegal itu akan kembali dilakukan bila razia berlalu. Ada pula rumor tak sedap yang menuding tim gabungan tak berani merazia lantaran penambangan ilegal itu disebut sebut diback-up oknum pejabat dan aparat keamanan. Razia juga terkesan tebang pilih. Soal penyitaan alat-alat berat juga dikesankan sekadar kejar target belaka.

Komisi C DPRD Deli Serdang, misalnya, dalam sebulan terakhir gencar mengelar sidak ke lokasi-lokasi yang dinilai belum memiliki izin penambangan galian.

”Keberadaan lokasi galian C sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Apa harus makan korban jiwa dulu baru serius ditertibkan?” ungkap Ketua Komisi C DPRD Deli Serdang, Mikail.

Aksi penertiban yang dilakukan oleh Pemkab Deli Serdang hanya terkesan ‘’gertak sambal”. Hingga kini belum ada dari hasil razia penertiban itu berujung ke ranah hukum. Proses hukum perlu dilakukan sebagai shock therapy agar penambangan tidak lagi menjamur. Faktanya sampai kini belum ada seorang pengusaha galian C ilegal pun yang terjerat, bahkan dijatuhi vonis. Nah, memang ada alat-alat berat yang disita dan ditahan, tapi toh ada oknum pengusaha atau pemilik truk yang ditahan. Sejatinya untuk membuat efek jera oknum pengusaha galian C ilegal harus dijerat dengan Undang-undang pertambangan.

“Bila dijerat dengan UU Pertambangan kemungkinan meluas dengan menjeratnya dengan UU Perlindungan Lingkungan Hidup,” kata Mikail.
Tak cuma di pesisir Pantailabu, temuan Walhi mengungkapkan banyak pula desa di Kecamatan Namorambe yang dirambah oleh pengusaha galian C. Pengusaha galian C di wilayah Namorambe ini juga diduga tak punya izin pengerukan. Namun kembali Pemkab Deli Serdang terkesan “tutup mata”. Kalau dibiarkan terus menerus, musibah besar seperti banjir hebat tinggal menunggu waktu saja. Jaya mengatakan perusak lingkungan seperti penambang liar galian C di Namorambe- yang diduga tak punya izin- sama dengan teroris.

“Saya mengumpamakan pengusaha galian C yang tak punya izin seperti teroris, karena  mereka merusak lingkungan, sehingga ribuan manusia terkena dampak dari pengrusakan lingkungan tersebut. Ini harus ditindak tegas oleh Pemkab setempat, sehingga kerusakan lingkungan bisa teratasi,” terangnya.
Menurut Jaya, Bupati Deli Serdang harus melihat UU No 32 Tahun 2009, karena UU tersebut mempunyai tujuan dampak erosi harus dihindari, agar musibah yang melanda masyarakat bisa dihindari.

“Bupati Deli Serdang harus tegas terhadap peng usaha Galian C liar, kalau tidak mau bencana yang lebih besar akan datang,” tegas Jaya saat dihubungi wartawan via selular.Jaya juga menjelaskan, perusak lingkungan melalui Galian C ini, dapat diancam dengan UU No 39 Tahun 1945 tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pengusaha Galian C tanpa izin dengan sadar telah melanggar HAM, pasalnya mereka telah merusak ekosistem alam yang seharusnya bisa dinikmati oleh manusia.

Walhi Sumut mendesak Bupati Deli Serdang Amri Tambunan segera menertibkan Galian C liar di Namorambe, maupun wilayah lainnya yang ada di Deli Serdang.

“Bupati harus peka terhadap pengrusakan lingkungan, dan Pemkab Deli Serdang segera mengambil langkah untuk melestarikan lingkungan yang telah rusak akibat Galian C,” pungkas Jaya.

Apa yang ditegaskan Jaya tentu bermaksud mulia. Jika hendak menyelamatkan lingkungan Deli Serdang, tak ada jalan lain: tegakkan hukum, tangkap pengusaha penambangan liar, dan tertibkan oknum-oknum di belakang mereka! (batara/valdesz)

Revitalisasi Kegiatan Penambangan Galian C

Baru-baru ini di media massa sering kita membaca pemberitaan bahwa galian C menyebabkan kerusakan lingkungan. Pemerhati lingkungan seringkali menuding aktivitas penambangan merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Aktivitas penambangan pulalah yang dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan jalan. Lagi-lagi kita akan berkesimpulan yang sama apabila kita berkunjung ke suatu lokasi penambangan. Lengkap sudah tudingan bahwa kegiatan penambangan sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Benarkah penambangan merusak lingkungan?

Segala kegiatan industri, termasuk industri pertambangan, dan aktivitas manusia di dalam menyediakan prasarana dan sarana kehidupannya seperti membangun rumah, jalan, jembatan, pasar, dsb, akan menyebabkan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan hidup di sekitarnya.
Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.

Menurut Jordan (dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan menjadi tiga, yakni pertama, ringan, apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak, atau penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati; kedua, menengah, apabila struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, misalnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya; ketiga, berat, apabila struktur hutan rusak berat dan produkfitas tanahnya menurun. Contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan, termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan.

Dampak dan perubahan tersebut merupakan harga yang harus dibayar atas pemanfaatan sumber daya mineral dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pengelola tambang harus mampu mengelola kondisi lingkungan di daerah sekitar tambangnya yang terkena dampak negatif dari kegiatannya. Untuk mengurangi dampak tersebut diperlukan upaya pengembalian fungsi lahan akibat penambangan.

Kegiatan untuk pengembalian fungsi lahan tersebut adalah reklamasi. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang baik dan diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih tertinggal.
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan  rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, serta aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang.

Pada saat membuka tambang sudah harus dipahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang. Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).

Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.
Di samping itu, kegiatan penambangan tidak boleh dilakukan pada Daerah Permukiman Penduduk, Lokasi Wisata, Kawasan hutan lindung, Kawasan resapan air, Kawasan Perlindungan Setempat, Kawasan Suaka Alam Dan Cagar Budaya, dan Kawasan Rawan Bencana. Penambang-penambang liar/tidak berizin perlu segera ditertibkan, sebab, bagaimana mungkin mereka melakukan kaidah-kaidah penambangan yang baik apabila aturan hukum saja mereka tidak mentaatinya.

Bagi penambang yang sudah berizin, agar mempunyai pandangan yang sama bahwa kegiatan penambangan tidak saja menggali dan mengangkut serta menjual hasil tambang, tetapi ada kegiatan yang harus dilakukan pasca penambangan. Kegiatan tersebut apabila tidak dilakukan, maka kerusakan lingkunganlah yang akan terjadi. Idealnya, kita dapat memanfaatkan sumber-sumber daya alam secara optimal untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif. In Harmonia Progessio. (*)

Belasan Alat Berat  Sudah Ditahan

Pembangunan bandara Kualanamu dan pengembangan properti  di wilayah Medan pinggiran dan inti Kota Deli Serdang, ibarat pepatah ‘’ada gula ada semut’’.  Sedikitnya butuh jutaan meter kubik material tanah timbun untuk membangun semua itu. Tingginya permintaan material juga menjadi pemicu aktivitas galian C ilegal. Bagaimana Pemkab Deli Serdang mengendalikan aktivitas penggalian golongan C yang kian marak ini? Asisten II Pemkab Deli Serdang Agus Ginting, sepekan lalu, menerima wartawan Sumut Pos Batara Tampubolon untuk mendalami masalah ini. Berikut petikannya.

Bagaimana Pemkab Deli Serdang melihat aktivitas penggalian golongan C yang terus berlangsung?

Aktivitas ini tentunya berbahaya bagi lingkungan sekitarnya, dari kegiatan itu akan menimbulkan dampak bagi secara langsung maupun dikemudian hari. Tentuk dilakukan upaya menekan agar akasi kegiatan galian C tidak semakin berkembang, caranya dengan mengelar operasi penertiban melalui tim gabungan yang terdiri unsur TNI, Polri, Kejaksaan serta kehakiman tentu didepan Sat Pol-PP. Aktivitas galian golongan C ilegal itu ada permanen ada yang berpindah pindah. Sehingga dibutuhkan penanganan khusus dalam hal penertiban. Sedangkan pengendalian galian C legal dengan memperketaat penerbitan izin galian C. tentu si pemohon galian C terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang ada.

Sudah ada yang ditertibkan?

Untuk menerbitkan izin galian tentu melibatkan kerjasama terpadu. Ini sesuai kebutuhan kajian di lokasi galian. Istansi yang terlibat itu adalah Dinas Cipta Karya dan Pertambangan, Pertanian, PU Irigasi, dan Bapedalda. Ada belasan alat berat yang ditahan oleh Satpol PP dari operasi penertiban.

Apakah benar bahwa pelaksanan pembangunan bandara kualanamu disebut-sebut sebagai pemicu tumbuh suburnya galian C ilegal?

Pembangunan membutuhkan bahan tambang berupa batu, pasir, tanah serta air. Olehkarenanya, tingginya tingkat kebutuhan mendesak kita untuk memenuhinya. Keberada Bandara Kualanamu merupakan satu dari sekian banyak alasan membuka galian C. tetapi khusus dalam pembanguna  bandara kualanamu, telah diberikan izin lokasi galian untuk kebutuhan percepatan pembangunan runway. Selain, bandara kualanamu. Pelaksanan pembangunan yang kini kian mendesak turut menyebabkan terjadi kegiatan galian C baik itu legal dan ilegal.

Jika dipetakan dimana saja wilayah galian golongan C itu?

Untuk penentuan lebih spesifik dimana saja wilayah galian C, tidak ada di Deli Serdang. Tetapi penentuan lokasinya berupa DAS, disana ada galian pasir dan batu koral.   Tentu jaraknya lokasi galian harus jauh dari sarana irigasi teknis, serta tidak dekat dengan jembatan. pasalnya bila dekat dengan sarana irigasi dikhwatirkan dapat mengancam keberadaan sarana itu sendiri. Aktivitas itu juga berpotensial merusak pondasi jembatan. Sedangkan untuk tambang tanah timbun, biasanya diberikan dilokasi diwilayah perbukitan. Sehingga tambang yang didaerah perbukitan bukit, hanya mendatarkan bukitnya, agar mencegah terciptanya danau danau bekas tambang. Selain tambang galian C, di Deli serdang ada tambang Kaolin. Material ini bahan baku membuat keramik serta kebutuhan industri lainnya. untuk kaolin lokasinya di kecamatan STM Hilir. Keberadan tambang galian C legal tentu memberikan kontribusi  PAD, sejauh mana kontribusi yang diberikan terhadap PAD. Aktifitas galian C legal bukan sumber PAD yang dianggap ‘’primadona’’. Tetapi keberadan lokasi galian C merupakan satu dari sekian sumber sumber PAD lainnya. Untuk target PAD dari tahun ke tahun tidak terlampau signifikan. Tetapi tidak boleh dipungkiri bahwa PAD dari galian C tentu bermanfaat bagi pelaksanan pembangunan.

Sejauh ini bagaimana pengawasannya?

Tentu ada pengawasan, bahkan pengawasan dilakukan kepada desa, camat. Setiap ada lokasi galian C tentu perangkat desa, dan kecamatan diberitahukan tentang keberadan tambang itu. nah, disanlah terjadi pengawasan. ya kan nggak mungkin kita tempat seorang petugas menjaga jaga lokasi galian C. kemudian diizin yang diterbitkan ada ketentuan serta peraturan yang harus dipatuhi setiap pemenggang izin. Itu mulai sebelum melakukan kegiatan sampai rencana berakhirnya kegiatan galian. Tentu ada reklamasi dilokasi galian. Bila tidak dipatuhi tentu ada sangsinya bagi si pengusaha. (*)

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/