Rencana pemerintah membatasi pemakaian subsidi BBM justru menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kontroversi itu terutama menyangkut soal gagasan membatasi pemakaian BBM bersubsidi untuk seluruh moda tranportasi. Gagasan ini dinilai melanggar prinsip keadilan karena dibandingkan dengan pemilik mobil, pemilik sepeda motor masuk dalam kategori ekonomi menengah ke bawah. Bagi masyarakat kelas ini sepeda motor bukan sebagai barang konsumsi melainkan modal produksi.
‘’Ketergantungan masyarakat pada kendaraan bermotor pribadi, terutama sepeda motor, sebetulnya dipicu oleh buruknya angkutan umum, selain biayanya memang lebih hemat,’’ ungkap Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Darmaningtyas.
Kemudahan proses pengajuan kredit pemilikan sepeda motor yang dilakukan industri otomotif nasional yang didukung pemerintah daerah guna menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), juga ikut menyumbang tingginya jumlah pengguna sepeda motor dari tahun ke tahun.
‘’Sudah bukan rahasia lagi bahwa Unit Pelaksana Teknis (UPT) PKB juga merupakan “ladang favorit” bagi sejumlah aparat di beberapa daerah, karena dengan menjadi petugas di UPT PKB mereka pasti akan terkena cipratan rejeki kegiatan penambahan kendaraan bermotor yang didaftarkan warga,’’ katanya. Darmaningtyas memaparkan fakta-fakta ini dengan maksud agar pemerintah objektif melihat lonjakan tingkat konsumsi BBM subsidi dari tahun ke tahun.
Tentu saja booming kendaraan bermotor ini suatu saat justru menjadi boomerang. Dalam catatan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sumut jumlah kendaraan yang menjadi objek pajak ada sebanyak 1.942.180 unit hingga akhir Desember 2010. Kepala Dispenda Sumut Syafaruddin dalam hearing di Komisi C DPRD Sumut di Medan, Senin (14/11) lalu mengatakan, jumlah kendaraan itu terdiri dari mobil sedan (48.504 unit), dan jip (62.243 unit). Disusul, taksi (7.023 unit), bus (5.427 unit), minibus (219.349 unit), truk (143.673 unit), becak bermotor (16.646 unit), sepeda motor 1.438.808 unit), dan alat berat (507 unit). ‘’Sedangkan jumlah kendaraan hingga tahun 2011 belum terdata,’’ katanya.
Menyimak data Dispenda Sumut tersebut, hingga akhir 2010 saja sudah tercatat 486.219 unit kendaraan roda empat, 16.646 unit roda tiga, dan 1.438.808 unit sepeda motor yang beroperasi di Sumut. Angka ini dikalkulasi naik rata-rata 10-12 persen per tahunnya selama kurun waktu lima tahun belakangan. Asumsi kenaikan ini diperkuat oleh data Direktorat Lantas Polda Sumut yang mencatat jumlah kendaraan bermotor di Sumut mengalami kenaikan 11,28 persen atau 455.855 unit, yakni dari 4.039.127 pada Desember 2010 menjadi 4.494. 982 unit hingga November 2011. Dari jumlah itu sepeda motor adalah penyumbang angka terbesar. Dalam setahun jumlahnya naik 455.855 unit, yakni dari 4.039. 127 unit menjadi 4.494.982 unit.
Selain itu, mobil penumpang naik 18.941 unit, yakni dari 324.984 unit menjadi 353.925 unit. Kemudian kendaraan khusus naik 58 unit, yakni dari 952 unit menjadi 1.010 unit. Sementara mobil barang dan mobil bus, dilaporkan tetap, yakni masing-masing 204.983 unit dan 29.978 unit.
Akibat dari peningkatan jumlah penggunaan sepeda motor dan mobil pribadi, lonjakan konsumsi BBM pun tak terelakkan. Khusus untuk kendaraan roda empat, di mana semakin banyak masyarakat yang menggunakan mobil dengan kapasitas mesin di atas 2.000 cc yang boros BBM telah berkontribusi besar terhadap konsumsi BBM bersubsidi. Saat ini diperkirakan konsumsi BBM oleh sepeda motor tidak lebih dari 5,76 juta kiloliter per tahun, atau hanya 27%, dan selebihnya, dikonsumsi oleh kendaraan roda empat atau lebih. Sehingga sekali lagi, rencana pembatasan BBM bersubsidi bagi para pengendara sepeda motor adalah suatu paradoks.
Pemerintah akan tetap menerapkan pengendalian konsumsi BBM subsidi kendati tidak lagi tercantum dalam APBN-P 2012. Salah satunya mengurangi pasokan premium di SPBU perumahan elit.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, Evita Legowo menjelaskan, salah satu program pengendalian konsumsi BBM bersubsidi adalah menekan pasokan premium bagi SPBU-SPBU yang terletak di perumahan-perumahan elite.
“Kita akan kurangi pasokan premium dan menambah pertamax di SPBU-SPBU yang ada di perumahan elit,” ujarnya di Jakarta, awal Maret lalu.
Selain itu, lanjutnya, pejabat-pejabat pemerintah, BUMN dan BUMD juga dilarang keras untuk menggunakan premium. Namun untuk SPBU daerah-daerah yang masih belum menjual pertamax, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi premium.
Rencananya pemerintah melalui BPH Migas akan meningkatkan pengawasan distribusi BBM subsidi, agar tidak ada penyimpangan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa meminta BPH Migas untuk menggandeng pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan.
“Karena tangannya BPH migas tidak cukup untuk melakukan pengawasan. Walaupun itu tugasnya, karena aparatnya sedikit sekali. Jadi kerja sama dengan pemda. Pemda yang memiliki kuota itu harus juga menjaga,” jelasnya.
Dalam pelaksanaan di lapangan, BPH Migas sudah komitmen segera memperketat distribusi BBM hingga tingkat kabupaten/kota. Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng mengatakan, BPH Migas akan memberlakukan pengaturan kuota BBM subsidi per kabupaten/kota.
“Pembagian kuota per kabupaten ini akan memprioritaskan konsumen di wilayah Indonesia bagian timur,” ujarnya saat rapat dengan Komisi VII DPR, Senin (12/3).
Selama ini, distribusi BBM subsidi memang cenderung memprioritaskan wilayah Indonesia bagian barat. Akibatnya, kasus kelangkaan BBM subsidi kerap terjadi di Indonesia bagian timur seperti NTT, Maluku, maupun Papua.
“Karena itu, nanti akan dipiroritaskan di wilayah timur dengan maksud untuk mendorong perekonomian di sana,” katanya.
Beberapa strategi lain yang akan diterapkan BPH Migas untuk meredam lonjakan konsumsi BBM adalah menetapkan alokasi BBM subsidi per sektor pengguna, misalnya rumah tangga, transportasi umum, nelayan, pertanian, perikanan, serta usaha mikro.
“Jadi, konsumen di luar kelompok itu, misalnya taksi kelas premium (mewah, Red), kapal kargo, angkutan darat untuk industri dan perkebunan, tidak diprioritaskan mendapat BBM subsidi,” sebutnya. Langkah pengetatan distribusi BBM memang harus dilakukan karena pemerintah tidak berencana menambah kuota BBM subsidi.
“Jadi, dalam RAPBNP 2012 ini kuotanya tetap 40,5 juta kiloliter,” ujarnya.
Hanya saja, PT Pertamina Sumatera bagian utara mengaku hingga kini belum menerima penetapan kuota bahan bakar minyak atau BBM untuk tahun 2012, sehingga penyaluran tetap mengacu pada angka di tahun 2011.
“Meski belum ada penetapan kuota BBM bersubsidi yang harus disalurkan Pertamina, manajemen tetap berupaya memperlancar pasokan dengan mengacu pada angka di tahun 2011,” kata Assistant Customer Relation Fuel Retail Marketing Region I Marketing and Trading Directorate PT. Pertamina (Persero), Sonny Mirath, di Medan, belum lama ini.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, Pertamina menyalurkan BBM Bersubsidi kepada rumah tangga, transportasi, usaha kecil, perikanan dan layanan umum.
Sonny mengungkapkan tahun lalu kuota premium dan solar untuk di wilayah Sumatera bagian utara (Sumbagut) yang meliputi wilayah Sumut, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat dan Aceh masing-masing sebanyak 3.575.868 kiloliter (kl) dan 2.490.015 kl. Jumlah kuota premium dan solar itu naik dari 2010 yang masih 3.307.778 kl dan 2.341.922 kl.
Dari kuota premium sebanyak 3.575.868 kl itu, realisasi sebanyak 3.664.168 kl atau lebih tiga persen, sedangkan solar dari 2.490.015 kl realisasi 2.568.490 kl atau naik tiga persen. “Mengacu naiknya penyaluran pada Januari hingga Maret, permintaan BBM pada tahun ini diperkirakan lebih tinggi lagi dari 2011,” katanya.
Selama Januari-Maret, penyaluran premium dan solar naik 12 persen hingga 15 persen dari realisasi di bulan yang sama 2011. Pada Januari 2012, misalnya, penyaluran premium dan solar Sumut naik 13 persen dan 12 persen dibandingkan Januari 2011. Penyaluran premium misalnya menjadi 133.689 kl dari Januari 2011 yang masih 117,872 kl dan solar dari 75,035 kl pada 2011 menjadi 84,347 kl Januari 2012.
‘’Kenaikan permintaan BBM diakibatkan pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya kendaraan,’’ kata Sonny. (valdesz/jpnn)
Komplikasi Pembatasan BBM Bersubsidi
Perhatian publik di awal 2012 ini kembali tersedot pada wacana pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi mobil pribadi. Kali ini, rencana penghematan konsumsi BBM bersubsidi ini masuk dalam APBN 2012. Pemerintah sudah berani memastikan konsumsi BBM bersubsidi akan dibatasi mulai 1 April 2012. Wilayah Jawa-Bali akan menjadi proyek percontohan, diikuti Sumatra, Kalimantan, Maluku dan Papua secara bertahap sepanjang 2012-2014.
Inti dari kebijakan itu adalah, hanya angkutan umum, pelayanan umum dan sepeda motor (roda dua dan tiga), serta kapal/perahu nelayan yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi. Di luar itu harus menggunakan BBM nonsubsidi atau menggunakan konversi bahan bakar gas (BBG). Tidak ada pilihan lainnya. Jelas, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini jika diimplementasikan akan membawa implikasi yang tidak kecil bagi para pemakai di lapangan.
Sekilas, apa yang direncanakan pemerintah tampak mudah diimplementasikan, namun di lapangan, dipastikan banyak sekali kendala yang muncul. Kesiapan SBPU dalam rangka konversi ke BBG jelas jauh dari memadai, sementara alat converter masih harus diimpor. Apalagi kalau konsumen dipaksa untuk membeli converter sendiri yang harganya mencapai Rp12 juta-Rp15 juta, dipastikan akan banyak yang keberatan. Sementara di saat yang sama, SPBU untuk BBG jumlahnya juga belum memadai dan belum merata keberadaannya di seluruh Jawa Bali.
Belum lagi bicara mengenai kesiapan infrastruktur pendukung Pertamina di seluruh wilayah Indonesia untuk SPBU pertamax atau BBM nonsubsidi. Pertamina harus memperluas jaringan pemasaran/ distribusi agar pertamax atau BBM nonsubsidi tersedia hingga ke daerah terpencil. Kelihatannya untuk deadline 12 April 2012 belum terlalu siap, mengingat habit dan karakter manusia Indonesia yang cenderung kurang disiplin terhadap tenggat waktu pelaksanaan sebuah proyek.
Tak hanya itu, implementasi kebijakan ini di lapangan juga akan membawa komplikasi permasalahan yang tidak kecil. Sampai sejauh mana misalnya, ketegasan petugas SPBU di lapangan dalam memberikan layanan kepada pihak yang membeli dengan menggunakan jeriken dengan alasan untuk dijual kembali. Bisa saja mereka sebenarnya adalah calo/oknum yang mencarikan BBM subsidi untuk pihak tertentu. Jelasnya, akan muncul kompleksitas persoalan yang tidak kecil di lapangan. Lemahnya pengawasan dan ketiadaan sistem yang jelas, serta rendahnya integritas personal akan menjadikan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini rawan penyelewengan.
Kerumitan (kompleksitas) persoalan tidak hanya sebatas itu. Menurut hitung-hitungan Biro Pusat Statistik (BPS), pembatasan konsumsi BBM bersubsidi akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,3%. Hitung-hitungan ini berasal dari bobot penggunaan BBM terhadap rumah tangga sebesar 3%. Ini dikalikan dengan kenaikan sebesar 44% harga yang ditanggung pengguna baru BBM nonsubsidi. Selanjutnya dikalikan jumlah baru potensi pengguna BBM nonsubsisdi hingga 23%. Sekitar 14 juta pengguna mobil (pelat hitam) harus beralih menggunakan BBM nonsubsidi.
Menurut prediksi Bank Indonesia (BI), kebijakan pembatasan BBM subsidi ini akan mendongkrak inflasi. Kalau inflasi di 2012 diperkirakan mencapai 4,5% (sudah memperhitungkan aspek kenaikan tarif dasar listrik/TDL), maka kebijakan di atas akan menyumbang angka inflasi kurang lebih 0,7% hingga 0,8%. Dengan demikian, angka inflasi tahunan diprediksi akan mencapai 5,2%-5,3%. Tak aneh, di awal tahun ini, bank sentral Indonesia tetap mempertahankan suku bunga induk (BI-Rate) di angka 6% karena tingginya angka inflasi.
Dengan kenaikan angka inflasi tersebut, jelas akan menyengsarakan rakyat banyak. Dengan demikian, kebijakan pembatasan BBM subsidi ini bukan semata-mata untuk efisiensi anggaran pemerintah, melainkan lebih merupakan pelaksanaan agenda liberalisasi di seluruh sektor ekonomi. Di sektor energi, pemerintah tidak berhasil menjaga ketahanan energi. Akibatnya, ya rakyat yang dirugikan.
Dengan demikian, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, hanya akan menguras kantong rakyat kelas menengah ke bawah. Jadi, itu sama saja dengan pemangkasan daya beli masyarakat. (net/jpnn)
Negara Setengah Hati?
Sempat mengemuka tahun 2011 lalu, pembatasan subsidi BBM (jenis premium) muncul lagi. Pembatasan subsidi BBM rencananya dimulai April 2012 di Pulau Jawa, akan menyusul kemudian di pulau-pulau lainnya. Opsinya yang muncul adalah subsidi BBM dibatasi atau BBM dinaikkan?Dibatasinya subsidi BBM berarti BBM bersubsidi hanya diperuntukkan secara terbatas.
Rencananya hanya kendaraan jenis angkutan umum, mobil operasional UMKM dan kendaraan roda dua yang berhak menggunakannya. Selain kendaraan jenis tersebut, penggunaan BBM dialihkan dari premium ke pertamax. Dengan kata lain, mereka akan membayar biaya yang lebih mahal karena membeli BBM non subsidi. Beberapa pihak menganalisa, bahwa pembatasan subsidi BBM seperti ini akan melahirkan pasar gelap BBM bersubsidi.
Opsi kedua, harga BBM dinaikkan. Ini berarti harga BBM bersubsidi (premium) yang ada sekarang akan naik. Penggunanya relatif tidak terbatas seperti opsi pertama.
Dengan demikian setidaknya menurut hemat pemerintah, APBN tidak terbebani oleh subsidi. Baik opsi pertama maupun kedua, tujuan pemerintah adalah untuk mengurangi beban subsidi dari APBN. Sementara itu, baik opsi pertama dan kedua nantinya pengguna kendaraan bermotor akan mengeluarkan biaya lebih dari biaya BBM yang ada sekarang.
Lantas mengapa untuk meringankan beban APBN, Negara selalu melihat ke arah subsidi (BBM)? Padahal subsidi relatif masih ringan dibanding pos APBN lainnya. Dana subsidi BBM dalam APBN adalah sekitar Rp.123 triliun. Melalui pembatasan subsidi seperti yang dikatakan Rofiyanto (Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Kementerian Keuangan), apabila pemerintah bisa menekan konsumsi sesuai kuota volume BBM bersubsidi yang telah ditetapkan sebanyak 40 juta kiloliter maka anggaran yang dapat dihemat sebesar Rp 7,8 triliun hingga Rp 8 triliun.
Bandingkan saja dengan anggaran untuk membayar cicilan hutang luar negeri dengan bunganya sebesar Rp.230,3 triliun (2010) dan Rp.240,1 triliun (2011). Bila yang dikatakan oleh pemerintah, pembatasan subsidi BBM bisa menghemat Rp.40 triliun, mengapa tidak menghemat anggaran lain saja.
Misalnya anggaran untuk biaya pelesiran pejabat ke luar negeri, yang besarnya Rp.12,7 trilyun (2009), Rp.19,5 triliun (2010) dan Rp.24,5 triliun (2011). Atau proyek perawatan gedung tersebut mencapai 500 miliar rupiah; Renovasi Ruang Rapat Anggota Banggar DPR 20 miliar; Papan Selamat Datang DPR Rp 4,8 miliar rupiah; Renovasi Tempat Parkir Motor 3 miliar rupiah; Renovasi Toilet sebesar 2 miliar rupiah; Pembuatan Kalender 2012 dengan biaya 1,3 miliar rupiah; Pemberian Makan Rusa di DPR 598 juta rupiah. Juga biaya renovasi Istana Kepresidenan yang dari Rp 8.832.251.011 pada tahun 2011 meningkat drastis menjadi Rp80.482.165.012 di tahun 2012.
Negara semestinya mengayomi rakyat banyak. Kebutuhan pihak yang dilayani seharusnya lebih diprioritaskan. Lantas mengapa beban APBN bukan gaji dan tunjangan pejabat? Mengapa bukan bunga hutang luar negeri? Mengapa harus hak rakyat yang dikurangi? Bukankah keberadaan Negara untuk mengayomi dan melayani hajat hidup rakyatnya.
Banyak yang sudah mengingatkan, bahwa pembatasan subsidi BBM atau naiknya harga BBM bersusidi akan berdampak pada naiknya harga barang-barang kebutuhan lainnya. Harga barang naik, namun daya beli lemah. Di samping itu, angka kemiskinan dan pengangguran berpotensi bertambah seperti kenaikan harga BBM tahun 2005. Tindak kriminal juga mengintip di sela-sela tuntutan bertahan hidup. Belum lagi tingkat depresi sosial yang rentan.
Negeri kita memang kaya dengan sumber daya migas. Namun hampir 90% sumbernya dikuasai oleh asing. Sebuah keadaan yang tidak menyenangkan dan tidak menguntungkan sekali. Selama ini negara mengimpor minyak mentah dan yang siap pakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tak salah jika disebut negara tersandera kepentingan asing (neoimperialism).
Kita tentu sudah mengalami beberapa kali kenaikan harga BBM. Selama pemerintahan yang ada tersandera oleh kepentingan asing, maka selama itu juga harga BBM akan selalu naik. Selama tersandera kepentingan asing, pemerintah juga akan perlahan-lahan memangkas subsidi-subsidi yang ada, hingga lenyap. Rakyat pun semakin babak belur! (*)
Provinsi | Over Kuota |
---|---|
1. Banten | 7,2 % |
2. DKI Jakarta | 6,5 % |
3. Jawa Barat | 5,2 % |
4. Jawa Tengah | 4,2 % |
5. Jawa Timur | 3,8 % |
6. Sumatera Utara | 3,3 % |
Sumber: Pertamina
Kenapa penggunaan BBM bersubsidi ini selalu melewati kuota yang ditetapkan pemerintah di APBN? Berikut sejumlah fraktor pemicunya:
- Bertambahnya sepeda motor yang mencapai 7 juta unit dan mobil sebesar 800.000 unit.
- 1 unit sepeda motor rata-rata menghabiskan BBM 0,75 liter/hari (1 tahun = 1,9 juta kiloliter).
- 1 unit mobil menghabiskan BBM 3 liter per hari (1 tahun= 900.000 kiloliter).
- Membaiknya perekonomian membuat konsumsi energi khususnya BBM semakin besar.
Realisasi BBM bersubsidi tahun 2011 mencapai total 41,8 juta kiloliter
atau 103,2% dari kuota APBN-P 2011 sebesar 40,49 juta kiloliter.
Sumber: Survei Lemigas 2011, Kementerian ESDM
- 2012
Pembatasan BBM hanya diterapkan di wilayah Jawa-Bali. Pembatasan diberlakukan untuk BBM jenis premium. - Awal 2013
Pemerintah berencana memperluas areal pembatasan BBM subsidi ke Sumatera. Pada tahap ini pembatasan tak hanya dilakukan terhadap BBM jenis premium, namun mulai diberlakukan pada solar. Pembatasan premium rencananya dilakukan sejak awal tahun dan solar baru digelar pada pertengahan tahun. - Medio 2013
Pembatasan BBM bersubsidi mulai diterapkan pemerintah untuk wilayah Kalimantan. Namun, kebijakan ini rencananya mulai dilaksanakan pada pertengahan tahun dengan jenis BBM berupa premium dan solar. - Awal 2014
Pembatasan BBM bersubsidi semakin meluas hingga ke wilayah Sulawesi yang diterapkan sejak awal tahun untuk jenis premium dan solar. - Medio 2014
Implementasi pembatasan di wilayah Maluku dan Papua dimulai pada pertengahan 2014 untuk jenis premium dan solar.
Sumber: Keterangan pers ‘Arah Kebijakan Fiskal 2012’, Kemenkeu RI