Ramadhan Batubara
Sabtu siang di Rumah Sakit Haji, Medan. Ada tatapan syahdu. Ada gerak yang kaku. Ada rintihan. Ada tangis. Saya malah duduk di kantin sambil berbincang dan asyik tertawa.
Bukan maksud untuk mengejek mereka yang sakit. Perbincangan kami memang asyik. Apalagi, suasana di kantin ini sama sekali tak mencerminkan rumah sakit. Ada keriuhan. Ada celoteh panjang. Dan, ada tawa yang tak harus ditahan.
Selain itu, di beberapa meja dari kami ada beberapa dokter koas yang asyik merokok. Mereka sibuk menggosip. Entahlah, tak begitu terdengar kalimat mereka. Sesekali tawa mereka membahana. Itu saja. Namun, dari bahasa tubuh mereka tampak kalau perbincangan tidak jauh dari urusan wanita. Setidaknya, pandangan empat lelaki itu sesekali melirik kumpulan wanita di meja yang lain.
Tiba-tiba seorang lelaki setengah baya muncul. Dia tidak sendiri, dia mendorong lelaki lebih tua di kursi roda, mungkin bapaknya. Mereka memilih meja yang berada tepat di samping gerombolan dokter koas tadi. Kehadiran mereka di posisi itu jelas saja menghalangi pandangan saya pada dokter-dokter koas tadi.
Lalu, sang bapak sudah berada di depan meja. Kursi yang sebelumnya telah ada di sana dipinggirkan. Sang lelaki setengah baya belum duduk juga. Dia berbalik dan menjumpai salah satu penjual; di kantin ini memang cukup banyak penjual; beraneka makanan hingga jajanan ditawarkan; ada juga yang jual majalah dan koran. Dia memesan sesuatu, jelas tidak bisa saya dengar pesanannya itu.
Tak lama kemudian, setelah lelaki itu duduk, datang pelayan. Dia membawa segelas teh manis panas dan sebuah piring yang terbuat dari anyaman rotan. Dia meletakan pesanan itu begitu saja di meja. Lelaki separuh baya tadi memindahkan gelas teh manis ke depan si bapak. Lelaki itu meletakkan piring anyaman rotan tadi di depannya. Terlihat ada daun pisang di permukaan piring itu. Lalu, setumpuk nasi dan ayam goreng tergeletak di sana. Tentu, sambal dan lalapan tidak ketinggalan: pecel ayam. Lelaki tiu pun mulai menyobek ayam tadi; makan.
Tapi, saya lihat, dari balik mereka, asap yang dihasilkan para dokter koas tadi juga belum hilang. Susana riuh pun masih meraja. Sementara, sang bapak di kursi roda sibuk tersenyum. Melihat kiri-kanan, mungkin dia rindu sehat. Mungkin karena itulah, dia memaksa untuk ke kantin. Mungkin, kantin dianggapnya bisa menjadi penyemangat; sesuatu yang hidup memang bisa menjadi sugesti bukan?
Sayangnya, cuaca saya rasa cukup panas. Seandainya saat ini hujan rintik, mungkin akan tambah menyenangkan. Ya, di kantin ini, suasana rumah sakit memang tak ada. Kalaupun ada, hanya terletak pada pakaian dokter koas atau perawat saja. Beruntung jika mendapat beberapa pasien yang lewat. Suasana mirip kantin di Kampus Sastra Universitas Sumatera Utara.
Tapi sudahlah, soal kantin, saya juga teringat dengan kantin di rumah sakit, saya ingat sekita tiga tahun lalu. Ya, saya menikmati kopi di kantin Rumah Sakit dr Pirngadi. Tiga tahun lalu, kantin di rumah sakit itu berada di lantai tiga. Tempatnya tertutup dan tenang. Setengah dindingnya dilapisi kaca, jadi mereka yang berada di dalam kantin bak ada dalam akuarium.
Lain lagi Rumah Sakit Adam Malik Medan. Di rumah sakit itu, kantin cenderung terbuka: beratap langit. Kantin itu hanya dilindungi beberapa pohon rindang. Suasana malah mirip kafe. Bangkunya melingkari meja. Jarak satu meja denga meja pun cukup jauh.
Intinya, ketiga kantin di atas sama sekali tak mencerminkan rumah sakit yang ‘seram’ dan bau obat. Terus terang, saya menikmati hal itu. Saya merasa lenyap sesaat dari saya sedih karena saudara yang dirawat. Ya, persis jam istirahat dalam pertandingan bola.
Mungkin, karena itulah, para dokter koas tadi asyik berbincang sambil merokok dan beberapa kali terbahak. Meski belum menjadi dokter penuh, beban mereka kan berat juga. Setidaknyan kostum yang mereka gunakan sudah mirip dokter.
Sayangnya, ketika saya melihat bapak yang mengenakan kursi roda itu, saya miris lagi. Pasalnya, beberapa kali dia mengibaskan tangannya. Asap rokok dokter koas itu mengganggu hidungnya. Nah, kemirisan saya malah terletak pada ketidakpekaan para dokter koas. Mereka terus saja merokok. Ah, bukankah harusnya mereka mematikan rokok itu? Dan, bukankah mereka adalah bagian dari kaum yang terus melakukan kampanye keburukan dari akibat merokok. Bahkan, mereka bangga mengatakan kalau perokok pasiflah yang paling berbahaya. Lalu, bapak berkursi itu bagaimana?
Tapi sudahlah, seorang penegak hukum juga belum tentu sadar hukum bukan? Seorang pegawai pajak pun bisa mengemplang pajak. Jadi, hal semacam itu sudah biasa di negeri ini.
Pun, soal sakit. Ada kalanya, dokter menyerah. Persis yang dialami saudara saya. Bayangkan saja, dokter yang merawatnya malah membiarkan dia berobat secara alternatif. Saya terkejut. Tapi, kata keluarganya saudara saya, pilihan memakai jasa ‘orang pintar’ sudah diketahui dan disetujui dokter. Bah, jika begitu, kenapa harus ke rumah sakit. Kenapa harus dirawat di ruang Jabal Rahmah. Praktis, rumah sakit hanya menyediakan tempat menginap saja kan? Ya, paling ditambah makanan dan obat kan? Apalagi, sewa kamar per malamnya mencapai Rp300 ribu. Bah, angka itu sudah sama dengan kamar standar hotel berkelas di kota ini kan?
Tapi, sekali lagi, sudahlah. Setidaknya saat ini saya berada di kantin. Dan, saat duduk di sini, tak elok rasanya memikirkan penyakit. Bukankah kantin di rumah sakit diciptakan untuk itu? Ah, entahlah. (*)