34.5 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Jalan Pintas dari Kualanamu

Sejak Bandar Udara Internasional Kualanamu didengungkan akan dibangun saya sama sekali tak pernah menginjakkan kaki ke lahan eks PTPN 2 itu. Pun ketika sehari jelang soft operasinya, saya belum juga ke sana. Padahal, sebagai orang yang menganggap penting arti sebuah bandar udara, saya harusnya sudah mencari tahu bukan?

Maka dengan segala tekad yang membuncah, Kamis 25 Juli lalu, saya berangkat ke sana. Ya, hari itu adalah hari pertama sejarah Kualanamu dimulai. Saya ingin tahu, seperti apa keadaan di sana. Apalagi, kabar positif dan negatif tentang persiapan Kualanamu begitu santer ditulis dan diucapkan.

Tapi tunggu dulu, saya tidak mau menggunakan fasilitas sebagai wartawan. Saya ingin ke sana sebagai calon penumpang.  Pasalnya, saya percaya, kalau saya menjadi wartawan, tentunya saya akan mendapat sekian kemudahan. Dan, atas nama kemudahan, pastinya sesuatu yang positif akan lebih mengemuka. Saya tak ingin itu. Saya ingin mendapati kenyataan seperti apa adanya.

Saya pilih moda transportasi kereta api. Bukan karena alasan emosional atau apapun itu, tapi lebih pada ingin mencoba. Ayolah, jalur kereta api ke bandara di Kualanamu adalah yang pertama di Indonesia.

Maka, saya relakan uang Rp80 ribu untuk sekali berangkat. Ya, tarif yang sejatinya tidak murah. Apalagi, agar tampak benar-benar seperti penumpang, saya membawa anak dan istri. Artinya, untuk menulis lantun ini minimal saya butuh uang Rp320 ribu dengan rincian dua tiket pergi dan dua tiket pulang. Tapi tidak masalah, toh untuk mengetahui sesuatu itu memang tidak gratis bukan?

Setelah memilih moda transportasi, saya harus memikirkan berangkat pukul berapa. Sempat terbersit untuk berangkat dengan kereta api paling pagi, tepatnya sekitar pukul 04.00 WIB. Nmun, saya berpikir, jika saya dengan kereta pertama, tentunya pelayanan yang diberikan PT Ralink lagi bagus-bagusnya. Ayolah, untuk yang pertama pasti mereka akan sangat fokus bukan. Maka, saya pilih kereta kelima yang berangkat dari Stasiun Besar Medan, yakni pukul 11.10 WIB.

Dan berangkatlah saya sekira pukul setengah sebelas dengan persiapan layaknya penumpang lain. Anak dan istri dalam posisi siaga. Tidak tegang. Mereka terlihat begitu riang. Bagi kami bertiga inilah pertama kalinya kami naik kereta api di Sumatera. Ya, anak saya masih berumur sepuluh bulan, jadi ini menjadi sesuatu yang perdana baginya. Saya dan istri memang sering naik kereta api, tapi tidak di Sumatera. Istri saya sebelum di Medan tinggal di Jakarta sedang saya kan di Jogjakarta. Artinya, kereta api bukan barang asing lagi. Bukankah di Pulau Jawa kereta api sudah mirip angkutan antar kota antar provinsi di Sumatera ini?

Kami tiba di stasiun pukul sebelas kurang lima menit. Setelah parkir sepeda motor dan sedikit tersesat — untuk Kualanamu lokasi loketnya di lantai atas dan di sayap yang berbeda dengan loket biasa – kami mengantre tiket tepat jam sebelas. Sial. Tiket tak bisa dibeli lagi. “Sudah tidak bisa Pak, kereta sudah siap berangkat,” begitu kata penjaga tiket.

Saya lihat di papan informasi digital di atas kepala penjaga itu, masih ada sisa 39 kursi lagi. “Tapi kan belum penuh,” balas saya.
“Sudah tidak bisa Pak, penuh atau tidak penuh tetap berangkat. Jadi, calon penumpang harusnya sudah berada di sini tiga jam sebelum jadwal pesawat berangkat,” balasnya pula.

Sumpah saya tak marah. Saya tersenyum “Mantap, serius mereka soal jadwal,” bisik saya pada istri saya. Sang istri juga tersenyum “Kita naik kereta berikutnya aja,” katanya. Saya mengangguk.

Kereta berikutnya berangkat pukul 13.45 WIB. Hehehehe.

Ya, sembari menunggu, kami jalan-jalan sambil melihat fasilitas yang ada. Hm, cukup menjanjikan. Singkat waktu, setelah tiket terbeli, pukul 13.30 WIB kami sudah di dalam kereta. Kami kebagian gerbong satu dengan nomor kursi 13A dan 13B. Posisinya membelakangan masinis; saat kereta melaju, kami serasa mundur.

Sumpah, ketika masuk kereta dan ketika dia melaju saya seraja kembali ke Jawa. Ya, suasana dan fasilitas kereta sangat mirip dengan Prambanan Ekspres: kereta api yang melayani jalur Solo-Jogja. Nyaman. Tenang. Dan, aman.

Namun, Prambanan Ekspres langsung hilang dalam otak saya begitu kereta memasuki gerbang Bandara Kualanamu. Di sinilah kekhasan kereta api bandara. Bayangkan saja, kereta api itu membelah jalan, dia berada di tengah, kiri kanannya lalu lalang mobil dan sepeda motor. Belum lagi, di sebelah depan sana terpampang kemegahan bandara tersebut. Bak masuk dalam perut bandara, kereta api itu menjadi perhatian siapa saja yang melihat. Pintu terbuka. Mata-mata memandang penumpang kereta api. Saya bangga. Enak juga jadi objek perhatian. Hehehehe.

Begitu keluar stasiun, terminal kedatangan bandara sudah di depan mata. Tinggal menyeberang jalan saja terminal itu sudah teraih. Kemegahan bandara baru itu begitu terasah. Luar biasa. Sumpah. Saya memang harus memujinya. Ya, meski masih tampak belum teratus, saya masih maklum. Ini kan masih soft operasi, hari pertama pula. Begitu pun ketika saya lihat ada yang menjual sate jengkol dan kerang. Ada juga yang menjual telor rebus. Sumpah, saya maklum. Pun, ketika di eskalator saya lihat tante-tante necis dengan koper mewahnya risih karena harus berbagi ruang dengan dua pekerja berkeringat yang membawa besi untuk bangunan yang belum selesai. Saya maklum!

Masih banyak yang harus saya catat, tapi sudahlah saya maklumi saja semua. Pukul 16.25 kami kembali ke Medan dengan kereta api setelah hampir satu jam tak juga mendapatkan taksi. Perjalanan pulang tak jauh berbeda seperti pergi. Nyaman dan aman. Yang berbeda ketika tiba di Medan. Begitu turun kereta api, petugas keamanan mengarahkan kami pulang melalui Jalan Jawa dan bukan pintu stasiun yang berada di Lapangan Merdeka. Bah! Sepeda motor diparkir di Lapangan Merdeka! Artinya, kami harus jalan berputar melewati Titi Gantung untuk mendapati sepeda motor kami. Tentu saja itu menjadi sesuatu yang berat.

Tidak kami saja yang panik, sebagian besar penumpang menampakkan mimik bingung. Mereka bingung bersikap, para penjemput mereka berada di Lapangan Merdeka. Dan, bagi yang tak dijemput, moda lanjutan seperti taksi dan becak malah tak ada di Jalan Jawa.

Saat itulah istri saya menyadari ada tiga warga negara India dan seorang pemandu yang mencari jalan pintas menuju Lapangan Merdeka. Bukan melewati rel, tapi menerobos barisan keamanan yang menyarankan kami keluar dari Jalan Jawa tadi. Ups, tidak bisa dibiarkan. Kami ikuti langkah mereka. Tapi, kami malah ditahan. Kami ngotot. Penjaga tambah ngotot. Kami lebih ngotot lagi. Penjaga nyerah dan memanggil pengawasnya. Begitu datang yang ‘berwenang’ itu, kami protes. Ya, kenapa si India boleh lewat semantara kami tidak?

“Mereka transit mau ke Rantauprapat, Pak,” begitu kata si pengawas.

“Bapak, tadi kami berangkat bareng mereka. Kami pun tahu mereka parkir mobil di depan stasiun. Pulang pergi ke Kualanamu kami satu kereta. Jadi, tak mungkin mereka ke Rantauprapat,” balas istri saya dan keterangan sang istri memang benar, saya juga menyadari itu.

Si pengawas tak terima. Dia tetap ngotot tak memberi kami jalan pintas itu. Bak orang berkelahi, kami dan dia saling tak mau mengalah.
“Ya, sudah, kami beli tiket ke Rantauprapat, yang penting kami bisa lewat jalan ini!” tegas istri saya.

“Silakan Bu. Ayo temani ibu ini ke loket,” kata sang pengawas sambil menyuruh anak buahnya.
Mendapat jawaban menantang itu, kami tambah naik. Tapi sekali lagi, kami tidak mau menggunakan fasilitas kewartawanan kami. Kami betul-betul ingin menjadi penumpang yang panik.
“Okay, kami beli,” balas istri saya.

Saat kami melintasi ‘portal’ si pengawas malah merepet. “Kapan program ini sukses kalau kayak gini,” katanya.
Ups, saya tambah naik. Kami balik badan dan menatapnya. “Bagaimana dengan tiga turis tadi? Anda yang meloloskannya, berarti Anda sendiri yang tidak menyukseskan programkan? Okay, kami lewat Jalan Jawa, tapi mana tiga orang tadi!” tegas saya.
“Dia kan mau ke Rantauprapat Pak?”

“Saya beli tiket Rantauprapat, tapi apa Anda tahu penumpang yang bertumpuk di Jalan Jawa itu semuanya mau ke Medan saja, siapa bilang di antara mereka tak ada yang ke Kisaran? Sudahlah, siapa namamu, saya Ramadhan Batubara,” kata saya.
“Saya Adelina Savitri Lubis,” timpal istri saya.

Pengawas itu wajahnya berubah. “Sudahlah Pak, saya puasa,” balasnya. “Silakan bapak dan ibu lewat, tidak usah beli tiket Rantauprapat,” tambahnya.
“Nama Anda?”
“Sudahlah Pak….”

“Kalau petugas saja bersikap seperti Anda, bagaimana program ini berjalan. Nah, mana papan nama Anda? Ralink kok tidak profesional?”
“Sudahlah Pak,” geram si pengawas. “Silakan Pak, silakan lewat,” katanya lagi.
Fiuh…

Begitulah pengalaman hari pertama Ralink beroperasi. Jika pembaca jadi saya, apakah bisa menerima perlakuan pengawas yang sore Kamis (25/7) itu bertugas? Bagaimana? (*)

Sejak Bandar Udara Internasional Kualanamu didengungkan akan dibangun saya sama sekali tak pernah menginjakkan kaki ke lahan eks PTPN 2 itu. Pun ketika sehari jelang soft operasinya, saya belum juga ke sana. Padahal, sebagai orang yang menganggap penting arti sebuah bandar udara, saya harusnya sudah mencari tahu bukan?

Maka dengan segala tekad yang membuncah, Kamis 25 Juli lalu, saya berangkat ke sana. Ya, hari itu adalah hari pertama sejarah Kualanamu dimulai. Saya ingin tahu, seperti apa keadaan di sana. Apalagi, kabar positif dan negatif tentang persiapan Kualanamu begitu santer ditulis dan diucapkan.

Tapi tunggu dulu, saya tidak mau menggunakan fasilitas sebagai wartawan. Saya ingin ke sana sebagai calon penumpang.  Pasalnya, saya percaya, kalau saya menjadi wartawan, tentunya saya akan mendapat sekian kemudahan. Dan, atas nama kemudahan, pastinya sesuatu yang positif akan lebih mengemuka. Saya tak ingin itu. Saya ingin mendapati kenyataan seperti apa adanya.

Saya pilih moda transportasi kereta api. Bukan karena alasan emosional atau apapun itu, tapi lebih pada ingin mencoba. Ayolah, jalur kereta api ke bandara di Kualanamu adalah yang pertama di Indonesia.

Maka, saya relakan uang Rp80 ribu untuk sekali berangkat. Ya, tarif yang sejatinya tidak murah. Apalagi, agar tampak benar-benar seperti penumpang, saya membawa anak dan istri. Artinya, untuk menulis lantun ini minimal saya butuh uang Rp320 ribu dengan rincian dua tiket pergi dan dua tiket pulang. Tapi tidak masalah, toh untuk mengetahui sesuatu itu memang tidak gratis bukan?

Setelah memilih moda transportasi, saya harus memikirkan berangkat pukul berapa. Sempat terbersit untuk berangkat dengan kereta api paling pagi, tepatnya sekitar pukul 04.00 WIB. Nmun, saya berpikir, jika saya dengan kereta pertama, tentunya pelayanan yang diberikan PT Ralink lagi bagus-bagusnya. Ayolah, untuk yang pertama pasti mereka akan sangat fokus bukan. Maka, saya pilih kereta kelima yang berangkat dari Stasiun Besar Medan, yakni pukul 11.10 WIB.

Dan berangkatlah saya sekira pukul setengah sebelas dengan persiapan layaknya penumpang lain. Anak dan istri dalam posisi siaga. Tidak tegang. Mereka terlihat begitu riang. Bagi kami bertiga inilah pertama kalinya kami naik kereta api di Sumatera. Ya, anak saya masih berumur sepuluh bulan, jadi ini menjadi sesuatu yang perdana baginya. Saya dan istri memang sering naik kereta api, tapi tidak di Sumatera. Istri saya sebelum di Medan tinggal di Jakarta sedang saya kan di Jogjakarta. Artinya, kereta api bukan barang asing lagi. Bukankah di Pulau Jawa kereta api sudah mirip angkutan antar kota antar provinsi di Sumatera ini?

Kami tiba di stasiun pukul sebelas kurang lima menit. Setelah parkir sepeda motor dan sedikit tersesat — untuk Kualanamu lokasi loketnya di lantai atas dan di sayap yang berbeda dengan loket biasa – kami mengantre tiket tepat jam sebelas. Sial. Tiket tak bisa dibeli lagi. “Sudah tidak bisa Pak, kereta sudah siap berangkat,” begitu kata penjaga tiket.

Saya lihat di papan informasi digital di atas kepala penjaga itu, masih ada sisa 39 kursi lagi. “Tapi kan belum penuh,” balas saya.
“Sudah tidak bisa Pak, penuh atau tidak penuh tetap berangkat. Jadi, calon penumpang harusnya sudah berada di sini tiga jam sebelum jadwal pesawat berangkat,” balasnya pula.

Sumpah saya tak marah. Saya tersenyum “Mantap, serius mereka soal jadwal,” bisik saya pada istri saya. Sang istri juga tersenyum “Kita naik kereta berikutnya aja,” katanya. Saya mengangguk.

Kereta berikutnya berangkat pukul 13.45 WIB. Hehehehe.

Ya, sembari menunggu, kami jalan-jalan sambil melihat fasilitas yang ada. Hm, cukup menjanjikan. Singkat waktu, setelah tiket terbeli, pukul 13.30 WIB kami sudah di dalam kereta. Kami kebagian gerbong satu dengan nomor kursi 13A dan 13B. Posisinya membelakangan masinis; saat kereta melaju, kami serasa mundur.

Sumpah, ketika masuk kereta dan ketika dia melaju saya seraja kembali ke Jawa. Ya, suasana dan fasilitas kereta sangat mirip dengan Prambanan Ekspres: kereta api yang melayani jalur Solo-Jogja. Nyaman. Tenang. Dan, aman.

Namun, Prambanan Ekspres langsung hilang dalam otak saya begitu kereta memasuki gerbang Bandara Kualanamu. Di sinilah kekhasan kereta api bandara. Bayangkan saja, kereta api itu membelah jalan, dia berada di tengah, kiri kanannya lalu lalang mobil dan sepeda motor. Belum lagi, di sebelah depan sana terpampang kemegahan bandara tersebut. Bak masuk dalam perut bandara, kereta api itu menjadi perhatian siapa saja yang melihat. Pintu terbuka. Mata-mata memandang penumpang kereta api. Saya bangga. Enak juga jadi objek perhatian. Hehehehe.

Begitu keluar stasiun, terminal kedatangan bandara sudah di depan mata. Tinggal menyeberang jalan saja terminal itu sudah teraih. Kemegahan bandara baru itu begitu terasah. Luar biasa. Sumpah. Saya memang harus memujinya. Ya, meski masih tampak belum teratus, saya masih maklum. Ini kan masih soft operasi, hari pertama pula. Begitu pun ketika saya lihat ada yang menjual sate jengkol dan kerang. Ada juga yang menjual telor rebus. Sumpah, saya maklum. Pun, ketika di eskalator saya lihat tante-tante necis dengan koper mewahnya risih karena harus berbagi ruang dengan dua pekerja berkeringat yang membawa besi untuk bangunan yang belum selesai. Saya maklum!

Masih banyak yang harus saya catat, tapi sudahlah saya maklumi saja semua. Pukul 16.25 kami kembali ke Medan dengan kereta api setelah hampir satu jam tak juga mendapatkan taksi. Perjalanan pulang tak jauh berbeda seperti pergi. Nyaman dan aman. Yang berbeda ketika tiba di Medan. Begitu turun kereta api, petugas keamanan mengarahkan kami pulang melalui Jalan Jawa dan bukan pintu stasiun yang berada di Lapangan Merdeka. Bah! Sepeda motor diparkir di Lapangan Merdeka! Artinya, kami harus jalan berputar melewati Titi Gantung untuk mendapati sepeda motor kami. Tentu saja itu menjadi sesuatu yang berat.

Tidak kami saja yang panik, sebagian besar penumpang menampakkan mimik bingung. Mereka bingung bersikap, para penjemput mereka berada di Lapangan Merdeka. Dan, bagi yang tak dijemput, moda lanjutan seperti taksi dan becak malah tak ada di Jalan Jawa.

Saat itulah istri saya menyadari ada tiga warga negara India dan seorang pemandu yang mencari jalan pintas menuju Lapangan Merdeka. Bukan melewati rel, tapi menerobos barisan keamanan yang menyarankan kami keluar dari Jalan Jawa tadi. Ups, tidak bisa dibiarkan. Kami ikuti langkah mereka. Tapi, kami malah ditahan. Kami ngotot. Penjaga tambah ngotot. Kami lebih ngotot lagi. Penjaga nyerah dan memanggil pengawasnya. Begitu datang yang ‘berwenang’ itu, kami protes. Ya, kenapa si India boleh lewat semantara kami tidak?

“Mereka transit mau ke Rantauprapat, Pak,” begitu kata si pengawas.

“Bapak, tadi kami berangkat bareng mereka. Kami pun tahu mereka parkir mobil di depan stasiun. Pulang pergi ke Kualanamu kami satu kereta. Jadi, tak mungkin mereka ke Rantauprapat,” balas istri saya dan keterangan sang istri memang benar, saya juga menyadari itu.

Si pengawas tak terima. Dia tetap ngotot tak memberi kami jalan pintas itu. Bak orang berkelahi, kami dan dia saling tak mau mengalah.
“Ya, sudah, kami beli tiket ke Rantauprapat, yang penting kami bisa lewat jalan ini!” tegas istri saya.

“Silakan Bu. Ayo temani ibu ini ke loket,” kata sang pengawas sambil menyuruh anak buahnya.
Mendapat jawaban menantang itu, kami tambah naik. Tapi sekali lagi, kami tidak mau menggunakan fasilitas kewartawanan kami. Kami betul-betul ingin menjadi penumpang yang panik.
“Okay, kami beli,” balas istri saya.

Saat kami melintasi ‘portal’ si pengawas malah merepet. “Kapan program ini sukses kalau kayak gini,” katanya.
Ups, saya tambah naik. Kami balik badan dan menatapnya. “Bagaimana dengan tiga turis tadi? Anda yang meloloskannya, berarti Anda sendiri yang tidak menyukseskan programkan? Okay, kami lewat Jalan Jawa, tapi mana tiga orang tadi!” tegas saya.
“Dia kan mau ke Rantauprapat Pak?”

“Saya beli tiket Rantauprapat, tapi apa Anda tahu penumpang yang bertumpuk di Jalan Jawa itu semuanya mau ke Medan saja, siapa bilang di antara mereka tak ada yang ke Kisaran? Sudahlah, siapa namamu, saya Ramadhan Batubara,” kata saya.
“Saya Adelina Savitri Lubis,” timpal istri saya.

Pengawas itu wajahnya berubah. “Sudahlah Pak, saya puasa,” balasnya. “Silakan bapak dan ibu lewat, tidak usah beli tiket Rantauprapat,” tambahnya.
“Nama Anda?”
“Sudahlah Pak….”

“Kalau petugas saja bersikap seperti Anda, bagaimana program ini berjalan. Nah, mana papan nama Anda? Ralink kok tidak profesional?”
“Sudahlah Pak,” geram si pengawas. “Silakan Pak, silakan lewat,” katanya lagi.
Fiuh…

Begitulah pengalaman hari pertama Ralink beroperasi. Jika pembaca jadi saya, apakah bisa menerima perlakuan pengawas yang sore Kamis (25/7) itu bertugas? Bagaimana? (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Keluarga Baru Keluarga Seru

Terpopuler

Artikel Terbaru

/