33 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Antara Fathin dan Novita, Siapa yang Tahu?

Mendadak prokontra muncul; kok Fathin sih yang juara?
Sang pro berkata: dia kan beda, yang dicari kan yang beda, namanya juga kontes beda. Dan si kontra merepet: suara kekgitu kok menang, masih mantap adik bungsuku nyanyii di kamar mandi.

POSISI saya untuk lingkar prokontra itu di mana? Sumpah, saya tak di mana-mana. Saya tak mendukung Fathin maupun Novita. Di kontes X Factor itu saya hanya penonton.

Dan, sebagai penonton, saya pasif; persis dengan kontes-kontes lainnya.

Ya, saya tidak ikut memberikan dukungan seperti mengirim SMS pada salah satu calon. Saya hanya menonton. Saya hanya memperhatikan.

Itu saja.

Namun, prokontra kontes X ini jelas mencuri perhatian saya. Lucu juga. Bagaimana tidak, dari kalimatkalimat prokontra yang ada, muncul semacam kesimpulan kalau Indonesia kurang jeli. Artinya, judul even yang mengusung X tidak diperhatikan dengan benar.

Buktinya, Anggun, seorang juri, kecewa berat ketika peserta bernama Dicky Siregar langsung gugur dari 12 besar. Anggun menganggap Indonesia tidak melihat X-nya si Dicky. Woi, Dicky itu aneh lho, jarang lho, unik lho, dan factor Xnya besar! Mungkin semacam itu Anggun berkata.

Itulah sebab, ketika grandfinal Jumat malam lalu, Anggun tetap ngotot Dicky itu hebat. Dia tampil kuartet dengan Dicky dan dua ‘muridnya’ yang lain. Fiuh, Dicky memang beda, unik, dan X. Saking bedanya, Dicky malah jadi lain sendiri. Namanya lain, cenderung dianggap tak pas kan? Anggun berkata, kalau saja Dicky mendapat kesempatan lama dikarantina, dia pasti akan memukau.

Hm, terseralah.

Seperti saya katakan tadi — mengutip kata Anggun — Indonesia memang belum siap dengan X. Buktinya ketika Fathin juara, suara kontra langsung bermunculan. Padahal, Fathin kan beda, suaranya khas, bahkan dia dipuji jurnalis luar negeri sebagai artis yang keren: selain suara dan masih muda, jilbabnya itu jadi X tertentu.

Lucunya, Anggun bukan milih Fathin. Dia malah memilih Novita yang kata Ahmad Dani memiliki suara yang biasa. Ada apa ini? Entahlah.

Yang jelas, sebagai penonton saya berusaha menenangkan diri. Saya keluarkan kalimat pada rekan yang tak bisa menerima kekalahan Novita.

Saya katakan: ini X Facktor jadi Fathin yang juara, tapi kalau kontes vokal, Novita unggul jauh dari Fathin. Lalu saya tambahkan: kualitas Novita tak ada yang meragukan, apalagi dia sudah tertempa sejak lama; dia kan anak Jack Marpaung yang melegenda itu; dia kan sudah pengalaman nyanyi di kafe.

Begitulah, bukan mengidolakan Fathin, tapi saya mencoba melihat ‘tema’ acara itu. Bak lomba penulisan, tema lomba kan harus diperhatikan dengan betul. Dengan kata lain, kalau tulisan kita superhebat tentang perkebunan, pasti kalah ketika ikut lomba soal olahraga bukan? Saya jadi teringat ketika seorang penulis lepas yang mewancarai saya untuk dijadikan profile di sebuah media. Dia bertanya: kenapa Anda sering menang lomba penulisan cerpen dan drama, kasih tahu triknya dong. Hm, saya jawab: lihat temanya dan perhatikan siapa jurinya.

Kenapa? Karena tema sebuah lomba adalah sangat penting, dia bisa jadi sandungan.

Lalu soal juri, kenapa? Karena juri yang menentukan itu manusia. Namanya manusia, sisi subjektifitasnya sulit hilang. Artinya, jika ada juri suka cerpen konvesional realis, jangan coba-coba mengikutkan karya yang absurd surealis, begitu kan? Gampang kan? Saya contohkan dengan lebih sederhana lagi. Begini, tersebutlah sebuah perusahaan yang mencari pegawai.

Mereka membutuhkan seorang cleaning service. Latar pendidikan cukup SMP saja. Namun, gajinya mencapai Rp5 juta per bulan.

Maka, membanjirlah lamaran. Ada ribuan yang melamar, padahal yang dibutuhkan hanya satu orang saja.

Singkat cerita tinggal dua orang pelamar yang lolos ke tahap akhir. Si A tamatan SMP dan seorang lagi si B, seorang sarjana dengan fokus ilmu desain interior. Sebelum wawancara, keduanya diajak berkeliling kantor, memperhatikan gedung dengan seksama.

“Anda telah melihat gedung ini, jika Anda diterima, apa yang akan Anda lakukan untuk perusahaan ini?” tanya sang pewancara.

“Tata letak harus dibenahi. Misalnya, meja-meja komputer itu tidak perlu berbentuk seperti meja anak sekolahan, berbaris. Selain merusak estetika, barisan meja banyak menghabiskan ruang. Kantor ini terlihat sumpek. Bagusnya dibuat variasi seperti liter U atau malah melingkar unik dan menarik. Warna dinding juga tak harus kaku dengan putih, kita bisa mainkan psikologi warna,” jawab si sarjana yang mendapat jatah menjawab pertama.

Pewancara tertarik. “Bagus, bagaimana dengan taman?” “Itu lagi. Bentuk taman kita sangat konvensional. Bunga-bunga hanya diletakkan sembarang tanpa konsep.

Kita kan bisa membuatnya lebih modern. Kita konsep saja taman itu seperti hutan di gedung ini. Tidak perlulah kolam kecil dengan air pancur dari malaikat yang kencing. Air yang yang mengalir kita buat mengalir dari bebatuan, jadi mirip air terjun,” jawab si sarjana dengan semangat.

Si pewancara tambah semangat. Namun, dua pertanyaan sudah cukup. Sarjana itu makin percaya diri.

Dia keluar dari ruang wawancara dengan wajah yang sumringah.

“Saya tidak akan membiarkan kamar mandi kotor. Gelas-gelas di meja itu tidak perlu tampak lagi. Semuanya harus ditata baik. Kita kan punya dapur, jadi karyawan harus memanfaatkan itu. Lalu, berkas-berkas yang menumpuk akan saya rapikan.

Intinya bersih bukan lagi sebuah kesan, tapi keharusan bagi perusahaan ini,” ini jawaban si SMP ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama dengan sang sarjana.

Untuk pertanyaan kedua, si SMP menjawab: dirapikan. Daun-daun yang kering dibersihkan. Kolam akan saya rawat rutin. Air yang keruh dikuras. Dan, malaikat yang kencing itu dibersihkan, saya lihat warnanya sudah cokelat, harusnya malaikat kan warna putih.

Begitulah, ketika diumumkan, yang diterima adalah si SMP. Tentu saja sang sarjana protes.

“Anda memang hebat. Pendidikan Anda tinggi. Ide Anda cemerlang.

Kami suka dengan Anda, tapi perusahaan ini hanya mencari cleaning service. Dan, Anda terlalu pintar untuk posisi itu,” jawab perusahaan itu pada si sarjana.

Hm, mirip X Factor kan? Itulah sebab, saya bisa menerima Fathin sebagai juara. Fathin lumayan bagus dan memiliki X yang besar. Novita sangat bagus, tapi X-nya kalah dengan Fathin. Pertanyaannya, kenapa Anggun malah milih Novita? Apakah ada ‘X’ yang lain yang tak terlihat oleh saya? Menurut Anda bagaimana? (*)

Mendadak prokontra muncul; kok Fathin sih yang juara?
Sang pro berkata: dia kan beda, yang dicari kan yang beda, namanya juga kontes beda. Dan si kontra merepet: suara kekgitu kok menang, masih mantap adik bungsuku nyanyii di kamar mandi.

POSISI saya untuk lingkar prokontra itu di mana? Sumpah, saya tak di mana-mana. Saya tak mendukung Fathin maupun Novita. Di kontes X Factor itu saya hanya penonton.

Dan, sebagai penonton, saya pasif; persis dengan kontes-kontes lainnya.

Ya, saya tidak ikut memberikan dukungan seperti mengirim SMS pada salah satu calon. Saya hanya menonton. Saya hanya memperhatikan.

Itu saja.

Namun, prokontra kontes X ini jelas mencuri perhatian saya. Lucu juga. Bagaimana tidak, dari kalimatkalimat prokontra yang ada, muncul semacam kesimpulan kalau Indonesia kurang jeli. Artinya, judul even yang mengusung X tidak diperhatikan dengan benar.

Buktinya, Anggun, seorang juri, kecewa berat ketika peserta bernama Dicky Siregar langsung gugur dari 12 besar. Anggun menganggap Indonesia tidak melihat X-nya si Dicky. Woi, Dicky itu aneh lho, jarang lho, unik lho, dan factor Xnya besar! Mungkin semacam itu Anggun berkata.

Itulah sebab, ketika grandfinal Jumat malam lalu, Anggun tetap ngotot Dicky itu hebat. Dia tampil kuartet dengan Dicky dan dua ‘muridnya’ yang lain. Fiuh, Dicky memang beda, unik, dan X. Saking bedanya, Dicky malah jadi lain sendiri. Namanya lain, cenderung dianggap tak pas kan? Anggun berkata, kalau saja Dicky mendapat kesempatan lama dikarantina, dia pasti akan memukau.

Hm, terseralah.

Seperti saya katakan tadi — mengutip kata Anggun — Indonesia memang belum siap dengan X. Buktinya ketika Fathin juara, suara kontra langsung bermunculan. Padahal, Fathin kan beda, suaranya khas, bahkan dia dipuji jurnalis luar negeri sebagai artis yang keren: selain suara dan masih muda, jilbabnya itu jadi X tertentu.

Lucunya, Anggun bukan milih Fathin. Dia malah memilih Novita yang kata Ahmad Dani memiliki suara yang biasa. Ada apa ini? Entahlah.

Yang jelas, sebagai penonton saya berusaha menenangkan diri. Saya keluarkan kalimat pada rekan yang tak bisa menerima kekalahan Novita.

Saya katakan: ini X Facktor jadi Fathin yang juara, tapi kalau kontes vokal, Novita unggul jauh dari Fathin. Lalu saya tambahkan: kualitas Novita tak ada yang meragukan, apalagi dia sudah tertempa sejak lama; dia kan anak Jack Marpaung yang melegenda itu; dia kan sudah pengalaman nyanyi di kafe.

Begitulah, bukan mengidolakan Fathin, tapi saya mencoba melihat ‘tema’ acara itu. Bak lomba penulisan, tema lomba kan harus diperhatikan dengan betul. Dengan kata lain, kalau tulisan kita superhebat tentang perkebunan, pasti kalah ketika ikut lomba soal olahraga bukan? Saya jadi teringat ketika seorang penulis lepas yang mewancarai saya untuk dijadikan profile di sebuah media. Dia bertanya: kenapa Anda sering menang lomba penulisan cerpen dan drama, kasih tahu triknya dong. Hm, saya jawab: lihat temanya dan perhatikan siapa jurinya.

Kenapa? Karena tema sebuah lomba adalah sangat penting, dia bisa jadi sandungan.

Lalu soal juri, kenapa? Karena juri yang menentukan itu manusia. Namanya manusia, sisi subjektifitasnya sulit hilang. Artinya, jika ada juri suka cerpen konvesional realis, jangan coba-coba mengikutkan karya yang absurd surealis, begitu kan? Gampang kan? Saya contohkan dengan lebih sederhana lagi. Begini, tersebutlah sebuah perusahaan yang mencari pegawai.

Mereka membutuhkan seorang cleaning service. Latar pendidikan cukup SMP saja. Namun, gajinya mencapai Rp5 juta per bulan.

Maka, membanjirlah lamaran. Ada ribuan yang melamar, padahal yang dibutuhkan hanya satu orang saja.

Singkat cerita tinggal dua orang pelamar yang lolos ke tahap akhir. Si A tamatan SMP dan seorang lagi si B, seorang sarjana dengan fokus ilmu desain interior. Sebelum wawancara, keduanya diajak berkeliling kantor, memperhatikan gedung dengan seksama.

“Anda telah melihat gedung ini, jika Anda diterima, apa yang akan Anda lakukan untuk perusahaan ini?” tanya sang pewancara.

“Tata letak harus dibenahi. Misalnya, meja-meja komputer itu tidak perlu berbentuk seperti meja anak sekolahan, berbaris. Selain merusak estetika, barisan meja banyak menghabiskan ruang. Kantor ini terlihat sumpek. Bagusnya dibuat variasi seperti liter U atau malah melingkar unik dan menarik. Warna dinding juga tak harus kaku dengan putih, kita bisa mainkan psikologi warna,” jawab si sarjana yang mendapat jatah menjawab pertama.

Pewancara tertarik. “Bagus, bagaimana dengan taman?” “Itu lagi. Bentuk taman kita sangat konvensional. Bunga-bunga hanya diletakkan sembarang tanpa konsep.

Kita kan bisa membuatnya lebih modern. Kita konsep saja taman itu seperti hutan di gedung ini. Tidak perlulah kolam kecil dengan air pancur dari malaikat yang kencing. Air yang yang mengalir kita buat mengalir dari bebatuan, jadi mirip air terjun,” jawab si sarjana dengan semangat.

Si pewancara tambah semangat. Namun, dua pertanyaan sudah cukup. Sarjana itu makin percaya diri.

Dia keluar dari ruang wawancara dengan wajah yang sumringah.

“Saya tidak akan membiarkan kamar mandi kotor. Gelas-gelas di meja itu tidak perlu tampak lagi. Semuanya harus ditata baik. Kita kan punya dapur, jadi karyawan harus memanfaatkan itu. Lalu, berkas-berkas yang menumpuk akan saya rapikan.

Intinya bersih bukan lagi sebuah kesan, tapi keharusan bagi perusahaan ini,” ini jawaban si SMP ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama dengan sang sarjana.

Untuk pertanyaan kedua, si SMP menjawab: dirapikan. Daun-daun yang kering dibersihkan. Kolam akan saya rawat rutin. Air yang keruh dikuras. Dan, malaikat yang kencing itu dibersihkan, saya lihat warnanya sudah cokelat, harusnya malaikat kan warna putih.

Begitulah, ketika diumumkan, yang diterima adalah si SMP. Tentu saja sang sarjana protes.

“Anda memang hebat. Pendidikan Anda tinggi. Ide Anda cemerlang.

Kami suka dengan Anda, tapi perusahaan ini hanya mencari cleaning service. Dan, Anda terlalu pintar untuk posisi itu,” jawab perusahaan itu pada si sarjana.

Hm, mirip X Factor kan? Itulah sebab, saya bisa menerima Fathin sebagai juara. Fathin lumayan bagus dan memiliki X yang besar. Novita sangat bagus, tapi X-nya kalah dengan Fathin. Pertanyaannya, kenapa Anggun malah milih Novita? Apakah ada ‘X’ yang lain yang tak terlihat oleh saya? Menurut Anda bagaimana? (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Keluarga Baru Keluarga Seru

Terpopuler

Artikel Terbaru

/