29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tak Dapat Apa-apa dari Jerih Payah si Unyil

Pak Raden, Ngamen untuk Perjuangkan Hak Cipta Karya

Boneka si Unyil pernah ngetop pada era 1980-1990-an. Meski kini versi aslinya sudah tidak tayang lagi, sosok Unyil masih laku di layar kaca dengan beberapa modifikasi. Ironisnya, Suyadi, si pencipta tokoh  idola anak-anak itu, kini hidupnya merana.

THOMAS KUKUH, Jakarta

SOL do iwak  kebo, re mi fa sol iwak tongkol//mi re, mi re, gule kare enak dewee. Pria paro baya yang kumisnya tebal hampir memenuhi pipi menyanyikan lagu khas Jawa Timuran itu dengan suara yang menggelegar. Dia bernyanyi riang, hingga alisnya yang lebat turut bergerak-gerak mengikuti ekspresinya yang ceria.

Siapa pun pasti mengenal pemilik suara lantang tersebut. Ya dia adalah Pak Raden, tokoh antagonis dalam serial film boneka si Unyil. Mengenakan kostum kebesaran – baju surjan, kumis tebal, dan blangkon di kepala – seniman yang punya nama asli Suyadi itu turun ke jalan. Dia ‘ngamen’ di teras rumahnya.

Para tetangga dan penggemarnya memadati bangunan mungil di Jalan Petamburan III  No 27, Tanah Abang Jakarta Pusat. Mereka rela berdesak-desakan menyaksikan Pak Raden bernyanyi dan mendongeng. Masih seperti saat membintangi film anak-anak yang disiarkan TVRI itu.

“Terima kasih sudah datang dan mendukung aksi saya,” kata Pak Raden menyapa semua orang yang memenuhi rumahnya yang  berukuran 6 x12 meter itu.

Sebelum nyanyi, Pak Raden sempat curhat. Pria kelahiran Jember, 80 tahun silam  itu menerangkan, acara tersebut digalang atas prakarsa beberapa seniman yang memperhatikan kehidupannya yang memprihatinkan. Salah satu sorotan para seniman muda yang digawangi Prasodjo Chusnato adalah kondisi Pak Raden yang tidak memiliki apa-apa dari karya boneka Unyil yang diciptakannya. Sebab, hak cipta Unyil kini dipegang oleh Perum Produksi Film Negara (PPFN) yang sekarang berubah menjadi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN).

Padahal, sosok boneka Unyil kian lama kian laku dan kerap menghiasi layar kaca dengan acara-acara baru. Bahkan, Pak Raden mendengar, sekarang serial Unyil sedang diproduksi secara 3D di salah satu rumah produksi di Batam.

“Unyil mau digarap seperti Upin-Ipin. Tapi saya tidak dapat apa-apa,” imbuhnya.

Sebenarnya Pak Raden akan dilibatkan dalam produksi Unyil versi 3D tersebut. Namun, sang pemilik proyek hanya melibatkannya sebagai pengisi suara tokoh Pak Raden. Lantaran hanya sebatas pengisi suara, Pak Raden menolaknya.

Pria yang berulang tahun setiap 28 November ini mengatakan, dulu dirinya tidak mempermasalahkan hak cipta Unyil beserta royalty-nya. Namun, seiring umurnya yang kian menua dan tidak lincah lagi, pria sepuh yang hidup sendirian itu merasa perlu menuntut hak-haknya sebagai pencipta Unyil.
“Matahari saya sudah semakin ke barat dan mau tenggelam. Tapi saya sama sekali tidak dapat apa-apa dari jerih payah menciptakan tokoh Unyil,” curhatnya.

Sejarah serial Unyil bermula sekitar 1970-an. Ketika itu Direktur Produksi Film Negara Drs Gufron Dwipayana mengeluhkan tontonan televisi yang hampir semuanya diisi tontonan luar negeri. Apalagi film anak-anak. Semua film kartun didominasi produksi asing.

“Saya pengen ada film kartun anak-anak produksi dalam negeri. Harus kartun soalnya untuk anak-anak,” kata Pak Raden menirukan Dwipa – panggilan Dwipayana – kala itu.

Pak Raden sebenarnya sepakat dengan ajakan Dwipa. Namun, dia menegaskan bahwa sumber daya manusia lokal kala itu masih belum mampu untuk memproduksi film kartun. Maka, dia lalu mengusulkan untuk membuat film dengan tokoh-tokoh boneka lucu.

“Ah, itu dia, saya setuju,” ujar Dwipa seperti ditirukan Pak Raden.

Pak Raden yang saat itu menjadi dosen Fakultas Seni Rupa ITB memang dekat dengan Dwipa. Setelah berpikir keras, dia akhirnya  menemukan sosok ideal pemeran film boneka itu.  Dipilihlah sosok Unyil yang merupakan anak desa yang sederhana lengkap dengan sarung dan pecinya. Pak Raden lantas menciptakan karakter-karakter lainnya. Cerita pun  dibuat  tidak jauh-jauh dari persoalan sosial masyarakat pedesaan.

“Saya yang mendesain tokoh-tokoh itu. Produksi (boneka) saya juga yang ngawasi,” kata dia sambil sesekali menempelkan kumis tebalnya yang sedikit-sedikit mau jatuh.
Wajah boneka itu pertama-tama dipola dengan tanah liat. Setelah cocok lantas ditempeli kertas dan dikeraskan hingga membentuk tokoh Unyil, Ucrit, Melani, Pak Ogah, Pak Raden, Bu Bariah, dan lainnya.

Ternyata proyek film boneka Unyil  sukses besar. Hampir setiap anak kecil pada era 1970-an hingga 1990-an mengenal dan menggemari sosok Unyil dan tokoh lainnya. Sejak saat itu, sosok Pak Raden melekat dengan Suyadi.

Pada pertengahan 1990-an, produksi film Unyil dihentikan dengan berbagai alasan.  Namun, Pak Raden tetap Pak Raden. Pria yang rela meninggalkan profesi sebagai dosen untuk terjun total mengurusi si Unyil itu pun terus menggeluti dunia dongeng dan kesenian lainnya terutama yang berhubungan dengan anak-anak.

“Ada kepuasan tersendiri terjun di dunia anak-anak. Kalau jadi dosen saya hanya berhubungan dengan mahasiswa. Tapi kalau sama Unyil, saya bisa merangkul seluruh anak-anak Indonesia,” paparnya dengan intonasi tegas khas Pak Raden yang sedang mendongeng.

Pada 1995 Pak Raden menandatangani perjanjian dengan  Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PPFN) Amoroso Katamsi. Dalam surat perjanjian bernomor 139/P.PFN/XII/1995 itu Pak Raden selaku pencipta tulisan Si Unyil dan model boneka tokoh-tokoh dalam film Unyil menyerahkan pengurusan hak ciptanya kepada PPFN selama lima tahun.

Anehnya, PPFN juga menerbitkan surat perjanjian yang sama dengan nomor yang sama, tetapi bedanya surat yang kedua sama sekali tidak disebutkan berapa tahun perjanjian itu berlaku. “Biasanya surat perjanjian kan disebutkan kapan jangka waktunya. Kalau selamanya ya ditulis selamanya. Tapi ini tidak ada,” kata Pak Raden.

Persoalan inilah yang sedang diperjuangkan Pak Raden bersama beberapa seniman muda Jakarta. Acara Pak Raden kemarin digelar sambil menyisipkan agar masyarakat dan pihak-pihak lain berkenan membantu Pak Raden.

“Seluruh hasil dari aksi Pak Raden Ngamen ini akan kami gunakan sebagai biaya pengurusan hak cipta Pak Raden,” kata Suryo Brahmantyo, panitia Pak Raden Ngamen.

Jawa Pos sempat blusukan ke dalam rumah Pak Raden yang sudah tampak kusam dan  kurang terawat. Selain debu tebal yang menempel di meja, lemari, dan sudut-sudut bangunan lain, tembok dan plafonnya mulai berlumut. Udaranya cukup pengap. Di rumah itu, Pak Raden ditemani pembantu dan dua kucing kesayangannya, Pussy dan Kacung.

Sementara itu, di ruang tengah rumahnya terpampang 12 lukisan bertema wayang. “Selain pendongeng, sebenarnya saya juga pelukis dan penyanyi. Kalau ada yang mau beli, saya jual lukisan-lukisan ini,” katanya sambil menunjuk lukisan karyanya.

Sedangkan di ruangan sebelahnya yang lebih kecil, Pak Raden menjadikannya sebagai studio untuk melukis. Di ruangan itu dipenuhi kanvas dan lukisan-lukisan yang sudah jadi maupun setengah jadi. Semua bertema anak-anak. Ada yang bergambar anak-anak menari, mendalang, bermain layangan, dan lainnya.

“Setiap hari saya menghabiskan waktu di dalam sana. Saya mau mengadakan pameran tunggal pada peringatan Hari Anak Nasional, Juli nanti,” kata dia.
Sekilas, kondisi fisik Pak Raden memang masih tampak sehat. “Tapi lulut bapak sudah tidak ada pelumasnya. Jadi nggak bisa jalan jauh. Harus pakai kursi roda,” bisik Nana Ruslana, salah seorang staf Pak Raden. (*)

Pak Raden, Ngamen untuk Perjuangkan Hak Cipta Karya

Boneka si Unyil pernah ngetop pada era 1980-1990-an. Meski kini versi aslinya sudah tidak tayang lagi, sosok Unyil masih laku di layar kaca dengan beberapa modifikasi. Ironisnya, Suyadi, si pencipta tokoh  idola anak-anak itu, kini hidupnya merana.

THOMAS KUKUH, Jakarta

SOL do iwak  kebo, re mi fa sol iwak tongkol//mi re, mi re, gule kare enak dewee. Pria paro baya yang kumisnya tebal hampir memenuhi pipi menyanyikan lagu khas Jawa Timuran itu dengan suara yang menggelegar. Dia bernyanyi riang, hingga alisnya yang lebat turut bergerak-gerak mengikuti ekspresinya yang ceria.

Siapa pun pasti mengenal pemilik suara lantang tersebut. Ya dia adalah Pak Raden, tokoh antagonis dalam serial film boneka si Unyil. Mengenakan kostum kebesaran – baju surjan, kumis tebal, dan blangkon di kepala – seniman yang punya nama asli Suyadi itu turun ke jalan. Dia ‘ngamen’ di teras rumahnya.

Para tetangga dan penggemarnya memadati bangunan mungil di Jalan Petamburan III  No 27, Tanah Abang Jakarta Pusat. Mereka rela berdesak-desakan menyaksikan Pak Raden bernyanyi dan mendongeng. Masih seperti saat membintangi film anak-anak yang disiarkan TVRI itu.

“Terima kasih sudah datang dan mendukung aksi saya,” kata Pak Raden menyapa semua orang yang memenuhi rumahnya yang  berukuran 6 x12 meter itu.

Sebelum nyanyi, Pak Raden sempat curhat. Pria kelahiran Jember, 80 tahun silam  itu menerangkan, acara tersebut digalang atas prakarsa beberapa seniman yang memperhatikan kehidupannya yang memprihatinkan. Salah satu sorotan para seniman muda yang digawangi Prasodjo Chusnato adalah kondisi Pak Raden yang tidak memiliki apa-apa dari karya boneka Unyil yang diciptakannya. Sebab, hak cipta Unyil kini dipegang oleh Perum Produksi Film Negara (PPFN) yang sekarang berubah menjadi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN).

Padahal, sosok boneka Unyil kian lama kian laku dan kerap menghiasi layar kaca dengan acara-acara baru. Bahkan, Pak Raden mendengar, sekarang serial Unyil sedang diproduksi secara 3D di salah satu rumah produksi di Batam.

“Unyil mau digarap seperti Upin-Ipin. Tapi saya tidak dapat apa-apa,” imbuhnya.

Sebenarnya Pak Raden akan dilibatkan dalam produksi Unyil versi 3D tersebut. Namun, sang pemilik proyek hanya melibatkannya sebagai pengisi suara tokoh Pak Raden. Lantaran hanya sebatas pengisi suara, Pak Raden menolaknya.

Pria yang berulang tahun setiap 28 November ini mengatakan, dulu dirinya tidak mempermasalahkan hak cipta Unyil beserta royalty-nya. Namun, seiring umurnya yang kian menua dan tidak lincah lagi, pria sepuh yang hidup sendirian itu merasa perlu menuntut hak-haknya sebagai pencipta Unyil.
“Matahari saya sudah semakin ke barat dan mau tenggelam. Tapi saya sama sekali tidak dapat apa-apa dari jerih payah menciptakan tokoh Unyil,” curhatnya.

Sejarah serial Unyil bermula sekitar 1970-an. Ketika itu Direktur Produksi Film Negara Drs Gufron Dwipayana mengeluhkan tontonan televisi yang hampir semuanya diisi tontonan luar negeri. Apalagi film anak-anak. Semua film kartun didominasi produksi asing.

“Saya pengen ada film kartun anak-anak produksi dalam negeri. Harus kartun soalnya untuk anak-anak,” kata Pak Raden menirukan Dwipa – panggilan Dwipayana – kala itu.

Pak Raden sebenarnya sepakat dengan ajakan Dwipa. Namun, dia menegaskan bahwa sumber daya manusia lokal kala itu masih belum mampu untuk memproduksi film kartun. Maka, dia lalu mengusulkan untuk membuat film dengan tokoh-tokoh boneka lucu.

“Ah, itu dia, saya setuju,” ujar Dwipa seperti ditirukan Pak Raden.

Pak Raden yang saat itu menjadi dosen Fakultas Seni Rupa ITB memang dekat dengan Dwipa. Setelah berpikir keras, dia akhirnya  menemukan sosok ideal pemeran film boneka itu.  Dipilihlah sosok Unyil yang merupakan anak desa yang sederhana lengkap dengan sarung dan pecinya. Pak Raden lantas menciptakan karakter-karakter lainnya. Cerita pun  dibuat  tidak jauh-jauh dari persoalan sosial masyarakat pedesaan.

“Saya yang mendesain tokoh-tokoh itu. Produksi (boneka) saya juga yang ngawasi,” kata dia sambil sesekali menempelkan kumis tebalnya yang sedikit-sedikit mau jatuh.
Wajah boneka itu pertama-tama dipola dengan tanah liat. Setelah cocok lantas ditempeli kertas dan dikeraskan hingga membentuk tokoh Unyil, Ucrit, Melani, Pak Ogah, Pak Raden, Bu Bariah, dan lainnya.

Ternyata proyek film boneka Unyil  sukses besar. Hampir setiap anak kecil pada era 1970-an hingga 1990-an mengenal dan menggemari sosok Unyil dan tokoh lainnya. Sejak saat itu, sosok Pak Raden melekat dengan Suyadi.

Pada pertengahan 1990-an, produksi film Unyil dihentikan dengan berbagai alasan.  Namun, Pak Raden tetap Pak Raden. Pria yang rela meninggalkan profesi sebagai dosen untuk terjun total mengurusi si Unyil itu pun terus menggeluti dunia dongeng dan kesenian lainnya terutama yang berhubungan dengan anak-anak.

“Ada kepuasan tersendiri terjun di dunia anak-anak. Kalau jadi dosen saya hanya berhubungan dengan mahasiswa. Tapi kalau sama Unyil, saya bisa merangkul seluruh anak-anak Indonesia,” paparnya dengan intonasi tegas khas Pak Raden yang sedang mendongeng.

Pada 1995 Pak Raden menandatangani perjanjian dengan  Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PPFN) Amoroso Katamsi. Dalam surat perjanjian bernomor 139/P.PFN/XII/1995 itu Pak Raden selaku pencipta tulisan Si Unyil dan model boneka tokoh-tokoh dalam film Unyil menyerahkan pengurusan hak ciptanya kepada PPFN selama lima tahun.

Anehnya, PPFN juga menerbitkan surat perjanjian yang sama dengan nomor yang sama, tetapi bedanya surat yang kedua sama sekali tidak disebutkan berapa tahun perjanjian itu berlaku. “Biasanya surat perjanjian kan disebutkan kapan jangka waktunya. Kalau selamanya ya ditulis selamanya. Tapi ini tidak ada,” kata Pak Raden.

Persoalan inilah yang sedang diperjuangkan Pak Raden bersama beberapa seniman muda Jakarta. Acara Pak Raden kemarin digelar sambil menyisipkan agar masyarakat dan pihak-pihak lain berkenan membantu Pak Raden.

“Seluruh hasil dari aksi Pak Raden Ngamen ini akan kami gunakan sebagai biaya pengurusan hak cipta Pak Raden,” kata Suryo Brahmantyo, panitia Pak Raden Ngamen.

Jawa Pos sempat blusukan ke dalam rumah Pak Raden yang sudah tampak kusam dan  kurang terawat. Selain debu tebal yang menempel di meja, lemari, dan sudut-sudut bangunan lain, tembok dan plafonnya mulai berlumut. Udaranya cukup pengap. Di rumah itu, Pak Raden ditemani pembantu dan dua kucing kesayangannya, Pussy dan Kacung.

Sementara itu, di ruang tengah rumahnya terpampang 12 lukisan bertema wayang. “Selain pendongeng, sebenarnya saya juga pelukis dan penyanyi. Kalau ada yang mau beli, saya jual lukisan-lukisan ini,” katanya sambil menunjuk lukisan karyanya.

Sedangkan di ruangan sebelahnya yang lebih kecil, Pak Raden menjadikannya sebagai studio untuk melukis. Di ruangan itu dipenuhi kanvas dan lukisan-lukisan yang sudah jadi maupun setengah jadi. Semua bertema anak-anak. Ada yang bergambar anak-anak menari, mendalang, bermain layangan, dan lainnya.

“Setiap hari saya menghabiskan waktu di dalam sana. Saya mau mengadakan pameran tunggal pada peringatan Hari Anak Nasional, Juli nanti,” kata dia.
Sekilas, kondisi fisik Pak Raden memang masih tampak sehat. “Tapi lulut bapak sudah tidak ada pelumasnya. Jadi nggak bisa jalan jauh. Harus pakai kursi roda,” bisik Nana Ruslana, salah seorang staf Pak Raden. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/