31.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Asah Empati, Air Mata sampai Bercucuran

Sehari Bersama Para Bintara Senior Calon Perwira di SPN Sampali (1)

Apa jadinya bila para ‘sepuh’ berusia di atas 45 tahun diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan kepolisian? Inilah yang dijalani 261 polisi sedang terjadi di Sekolah Polisi Negara (SPN) Medan.  Seperti apa?

Toga MH Siahaan, Medan

ARAHAN: Peserta pelatihan mendapatkan arahan dari Ketua Tim Instruktur NAC.//spn sampali for sumut pos
ARAHAN: Peserta pelatihan mendapatkan arahan dari Ketua Tim Instruktur NAC.//spn sampali for sumut pos

Jumat pagi, 24 November 2012, 261 siswa yang terdiri dari pria berpangkas cepak dan wanita berambut pendek berlari mengelilingi lapangan SPN Sampali di Jalan Bhayangkara, Medan. Berpakaian olahraga, mereka berlari beberapa kali putaran. Gerakan mereka tak terlalu lincah.
Beberapa peserta bahkan terlihat sedikit kerepotan agar tetap berada di barisan. Itu sesi adalah olahraga sebelum masuk pelatihan yang dimulai pukul 07.30 tadi.

Canda dan tawa terlepas setelah peserta diperkenankan istirahat. Sambil minum teh manis dari cangkir plastik dan makan sepotong roti, mereka bercerita dan bercanda sambil menyeka keringat. Semua terlihat semangat dengan wajah ceria.

Meski status mereka siswa dan akan menjalani pendidikan selama sebulan di SPN Sampali, usia mereka tidak muda lagi. Para siswa adalah para bintara senior yang seluruhnya berpangkat Ajun Inspektur Dua (Aipda) dan Ajun Inspektur Satu (Aiptu), pangkat terakhir bagi bintara Polri.
“Istilahnya, bintara mentok,” bisik seorang peserta saat beristirahat sejenak setelah berolahraga, sambil tersenyum.

Pantas saja, siswa berambut cepak itu terlihat ubanan. Merekalah para siswa peserta Sekolah Alih Golongan (SAG) angkatan 2012. Mereka adalah para bintara terbaik di jajaran Polda Sumut yang beruntung mengikuti SAG, jenjang pelatihan dan pendidikan menuju perwira. Mayoritas dari mereka adalah bintara yang berulang kali gagal menembus ketatnya persaingan menuju sekolah calon perwira (Secapa) di Sukabumi.

“Umur saya sekarang 55 tahun, tiga tahun lagi pensiun. Tetap semangat!” ujar M Djufri, siswa asal Polresta Medan sambil tersenyum.
Setelah menyelesaikan pendidikan SAG di SPN, praktis Djufri hanya punya waktu 3 tahun menyandang status perwira sebelum memasuki masa purna tugas. Itu mengingat, masa aktif anggota Polri yang hanya sampai 58 tahun.

Sepuluh menit sebelum pukul 14.00, para siswa memasuki aula untuk melanjutkan pelatihan. Siang itu materinya adalah pembekalan Neuro Assosiative Conditioning (NAC) System-Polri. Iptu Agus Sobarnapraja SH bersama instruktur NAC Polri lain di bawah pimpinan Kompol Safwan Khayat menyapa siswa yang disambut dengan yel-yel dan tepukan tangan penuh semangat.

Selanjutnya, lampu di ruangan dimatikan, diputarlah video dari proyektor yang telah dipersiapkan. Musik mengalun diikuti munculnya berbagai gambar yang memperlihatkaan para atlet berlomba di paralympic, olimpiade khusus penyandang cacat. Perenang tanpa lengan terlihat melompat ke kolam dan bahagia setelah mencapai finish. Seorang atlet melepaskan kaki palsu, berdiri sejenak dan berlari dengan satu kaki untuk melompati rintangan kayu di cabang lompat tinggi. Kepalan tangan mengacung saat dia mencarat mulus di matras dan berhasil melintasi rintangan.
“Kita harus beryukur dengan kesempurnaan yang kita miliki,” ujar instruktur.

Video selesai, lampu kembali dihidupkan dan istruktur memberi motivasi dan membeber materi pelatihan. Sekitar 10 menit, video diputar lagi, ruang tertutup itu kembali remang-remang. Intro lagu Untuk Kita Renungkan dari Ebiet G Ade. Perlahan, di layar terpampang slide foto anak-anak bertubuh kurus dengan kepala besar. Foto berganti foto, menunjukkan kondisi prihatin anak-anak yang kelaparan di belahan bumi lain.
Suasana kembali senyap, lebih sepi dari sebelumnya.

Para siswa kemudian diminta ikut menyani dengan penuh penghayatan.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin//Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat hohoo…//Singkirkan debu yang masih melekat
Anugerah dan bencana adalah kehendakNya, kita mesti tabah menjalani//Hanya cambuk kecil agar kita sadar, adalah Dia di atas segalanya//Hohohoo… adalah Dia di atas segalanya.

Anak menjerit-jerit asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih//Ini bukan hukuman hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak berbenah….

Banyak peserta tertunduk, seolah menyembunyikan wajah dari perhatian sesama siswa di sebelahnya. Slide foto terus berganti, suara para peserta lambat laun melemah.

Sesekali para calon perwira pertama itu bergumam, “Akhhh….” Terutama saat melihat foto seorang anak bertubuh kurus menjemput kotoran kambing untuk dimakan. “Ini kisah nyata, benar-benar terjadi,” ujar instruktur.

Tak terasa, video berdurasi hampir setengah jam itu usai dan lampu kembali dinyalakan, terang benderang. Banyak siswa terlihat menyeka mata. Instruktur lantas menunjuk seorang siswa, memintanya bangkit berdiri dari kursi dan menyerahkan pengeras suara.

“Siapa nama Bapak dan dari kesatuan mana?” tanya instruktur. “Saya Arifin Pardede, penyidik dari Polres Binjai,” jawab siswa tersebut terbata-bata.
“Tadi saya lihat Bapak menangis. Kenapa?” tanya instruktur lagi.

Siswa lain yang sebelumnya sibuk membenahi diri atau berbisik dengan rekan di sampingnya, hamper serentak mengarahkan pandangan ke depan.
“Saya teringat dengan pengalaman dan perjuangan saya menjadi perwira. Berulang kali gagal ikut seleksi Secapa tetapi gagal,” terang Arifin.

Dia pun menceritakan perjuangannya menggapai cita-cita menaikkan derajat dari bintara menjadi perwira. Dia juga mengungkap bagaimana dukungan keluarganya yang tak pernah putus. Singkat cerita, Arifin ikut tes SAG. “Selalu saya bawa dalam doa bersama keluarga,” tuturnya.

Akhirnya Arifin dinyatakan diterima menjadi siswa SAG. Dia menyimpan cerita keberhasilan itu hingga suatu malam. “Hingga malam itu, selesai salat berjamaah bersama anak dan istri saya di rumah, saya bercerita pada mereka. Mendengar itu, anak-istri saya sangat senang. Tak henti-hentinya kami mengucap syukur. Terima kasih ya Allah,” ujarnya kembali dengan suara serak dan mata kembali berkaca-kaca sambil menengadah.

Mendengar cerita Arifin, siswa lain seperti merasakan gambaran perjuangannya sendiri. “Saya juga menangis. Selain sedih melihat nasib anak-anak itu (yang terlihat di foto slide), pengalaman saya juga mirip dengan bapak yang dari Binjai itu,” ujar siswa lainnya kepada Sumut Pos.

“Aku nangis lebih kuat dari Bapak Arifin Pardede itu, sapu tangan ini sampai basah.  Pengalaman kami sama. 8 kali saya ikut testing pendidikan Secapa. Terakhir saya kumpuli keluarga, untuk minta izin mengikuti SAG ini. Istri saya bertanya, ‘Masih mau abang coba?’ Saya yakinkan diri dan keluarga kalau saya bisa. Hasilnya, saya memang bisa, dapat kesempatan jadi perwira,” cerita Amir Mahmud, anggota Polres Labuhan Belawan yang berusia 46 tahun itu.

Dari depan, instruktur berujar kalau tujuan penayangan video itu untuk meningkatkan rasa empati para siswa sebagai calon perwira. Ditegaskan, sebagai anggota Polri diminta jangan pernah lagi mengeluhkan gaji dan kesejahteraan.

“Coba lihat tayangan-tayangan tadi, dengan kekurangan yang ada, dituntut survive untuk bertahan hidup. Kita ada gaji dan renumerasi, semua sudah lebih dari cukup. Ekspektasi masyarakat pada polisi sangat tinggi. Dalam bertugas, tanamkan empati kepada masyarakat. Itulah maksud penayangan video tadi,” tegas instruktur.

Begitulah sesi pertama pelatihan di hari Jumat itu. Masing-masing siswa mendapat kesadaran baru tentang empati, turut merasakan penderitaan orang lain dan belajar lebih merendahkan hati. Para siswa calon-calon perwira tersebut diminta untuk lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan dalam bertugas disbanding cara-cara kekerasan.

Di sela-sela sesi istrirahat, salat dan makan, ketua tim NAC Polri Polda Sumatera Utara, Kompol Safwan Khayat menguraikan, NAC yang digelar 23 dan 24 November dengan peserta siswa program SAG yang akan digembleng selama sebulan di SPN Sampali. Setelah mengikuti pelatihan, calon perwira diharapkan siap pakai dan memiliki integritas yang tinggi dalam bekerja, memiliki percaya diri yang kuat serta memahami psikologi dan bahasa tubuh.
“Pemahaman psikologi bahasa tubuh sangat membantu memahami karakter seseorang sehingga memudahkan perwira berkomunikasi dengan masyarakat,” sebutnya.

Pelatihan NAC pun memberi pemahaman baru bagi calon-calon perwira untuk mendukung gerakan paradigma baru anggota kepolisian. “Kita ingin anggota kepolisian berubah di masa depan, menjadi lebih professional dan dicintai masyarakat,” ujar Wakapolres Langkat ini.
Selain para instruktur dari unsur kepolisian, peserta pelatihan NAC Polri SAG 2012 di SPN Sampali turut menghadirkan dua psikolog, Siti Aisyah MPsi dan Sahla SPsi. Nama terakhir juga trainer NAC jebolan pelatihan trainer NAC Polri di Sukabumi. (Bersambung)

Sehari Bersama Para Bintara Senior Calon Perwira di SPN Sampali (1)

Apa jadinya bila para ‘sepuh’ berusia di atas 45 tahun diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan kepolisian? Inilah yang dijalani 261 polisi sedang terjadi di Sekolah Polisi Negara (SPN) Medan.  Seperti apa?

Toga MH Siahaan, Medan

ARAHAN: Peserta pelatihan mendapatkan arahan dari Ketua Tim Instruktur NAC.//spn sampali for sumut pos
ARAHAN: Peserta pelatihan mendapatkan arahan dari Ketua Tim Instruktur NAC.//spn sampali for sumut pos

Jumat pagi, 24 November 2012, 261 siswa yang terdiri dari pria berpangkas cepak dan wanita berambut pendek berlari mengelilingi lapangan SPN Sampali di Jalan Bhayangkara, Medan. Berpakaian olahraga, mereka berlari beberapa kali putaran. Gerakan mereka tak terlalu lincah.
Beberapa peserta bahkan terlihat sedikit kerepotan agar tetap berada di barisan. Itu sesi adalah olahraga sebelum masuk pelatihan yang dimulai pukul 07.30 tadi.

Canda dan tawa terlepas setelah peserta diperkenankan istirahat. Sambil minum teh manis dari cangkir plastik dan makan sepotong roti, mereka bercerita dan bercanda sambil menyeka keringat. Semua terlihat semangat dengan wajah ceria.

Meski status mereka siswa dan akan menjalani pendidikan selama sebulan di SPN Sampali, usia mereka tidak muda lagi. Para siswa adalah para bintara senior yang seluruhnya berpangkat Ajun Inspektur Dua (Aipda) dan Ajun Inspektur Satu (Aiptu), pangkat terakhir bagi bintara Polri.
“Istilahnya, bintara mentok,” bisik seorang peserta saat beristirahat sejenak setelah berolahraga, sambil tersenyum.

Pantas saja, siswa berambut cepak itu terlihat ubanan. Merekalah para siswa peserta Sekolah Alih Golongan (SAG) angkatan 2012. Mereka adalah para bintara terbaik di jajaran Polda Sumut yang beruntung mengikuti SAG, jenjang pelatihan dan pendidikan menuju perwira. Mayoritas dari mereka adalah bintara yang berulang kali gagal menembus ketatnya persaingan menuju sekolah calon perwira (Secapa) di Sukabumi.

“Umur saya sekarang 55 tahun, tiga tahun lagi pensiun. Tetap semangat!” ujar M Djufri, siswa asal Polresta Medan sambil tersenyum.
Setelah menyelesaikan pendidikan SAG di SPN, praktis Djufri hanya punya waktu 3 tahun menyandang status perwira sebelum memasuki masa purna tugas. Itu mengingat, masa aktif anggota Polri yang hanya sampai 58 tahun.

Sepuluh menit sebelum pukul 14.00, para siswa memasuki aula untuk melanjutkan pelatihan. Siang itu materinya adalah pembekalan Neuro Assosiative Conditioning (NAC) System-Polri. Iptu Agus Sobarnapraja SH bersama instruktur NAC Polri lain di bawah pimpinan Kompol Safwan Khayat menyapa siswa yang disambut dengan yel-yel dan tepukan tangan penuh semangat.

Selanjutnya, lampu di ruangan dimatikan, diputarlah video dari proyektor yang telah dipersiapkan. Musik mengalun diikuti munculnya berbagai gambar yang memperlihatkaan para atlet berlomba di paralympic, olimpiade khusus penyandang cacat. Perenang tanpa lengan terlihat melompat ke kolam dan bahagia setelah mencapai finish. Seorang atlet melepaskan kaki palsu, berdiri sejenak dan berlari dengan satu kaki untuk melompati rintangan kayu di cabang lompat tinggi. Kepalan tangan mengacung saat dia mencarat mulus di matras dan berhasil melintasi rintangan.
“Kita harus beryukur dengan kesempurnaan yang kita miliki,” ujar instruktur.

Video selesai, lampu kembali dihidupkan dan istruktur memberi motivasi dan membeber materi pelatihan. Sekitar 10 menit, video diputar lagi, ruang tertutup itu kembali remang-remang. Intro lagu Untuk Kita Renungkan dari Ebiet G Ade. Perlahan, di layar terpampang slide foto anak-anak bertubuh kurus dengan kepala besar. Foto berganti foto, menunjukkan kondisi prihatin anak-anak yang kelaparan di belahan bumi lain.
Suasana kembali senyap, lebih sepi dari sebelumnya.

Para siswa kemudian diminta ikut menyani dengan penuh penghayatan.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin//Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat hohoo…//Singkirkan debu yang masih melekat
Anugerah dan bencana adalah kehendakNya, kita mesti tabah menjalani//Hanya cambuk kecil agar kita sadar, adalah Dia di atas segalanya//Hohohoo… adalah Dia di atas segalanya.

Anak menjerit-jerit asap panas membakar, lahar dan badai menyapu bersih//Ini bukan hukuman hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak berbenah….

Banyak peserta tertunduk, seolah menyembunyikan wajah dari perhatian sesama siswa di sebelahnya. Slide foto terus berganti, suara para peserta lambat laun melemah.

Sesekali para calon perwira pertama itu bergumam, “Akhhh….” Terutama saat melihat foto seorang anak bertubuh kurus menjemput kotoran kambing untuk dimakan. “Ini kisah nyata, benar-benar terjadi,” ujar instruktur.

Tak terasa, video berdurasi hampir setengah jam itu usai dan lampu kembali dinyalakan, terang benderang. Banyak siswa terlihat menyeka mata. Instruktur lantas menunjuk seorang siswa, memintanya bangkit berdiri dari kursi dan menyerahkan pengeras suara.

“Siapa nama Bapak dan dari kesatuan mana?” tanya instruktur. “Saya Arifin Pardede, penyidik dari Polres Binjai,” jawab siswa tersebut terbata-bata.
“Tadi saya lihat Bapak menangis. Kenapa?” tanya instruktur lagi.

Siswa lain yang sebelumnya sibuk membenahi diri atau berbisik dengan rekan di sampingnya, hamper serentak mengarahkan pandangan ke depan.
“Saya teringat dengan pengalaman dan perjuangan saya menjadi perwira. Berulang kali gagal ikut seleksi Secapa tetapi gagal,” terang Arifin.

Dia pun menceritakan perjuangannya menggapai cita-cita menaikkan derajat dari bintara menjadi perwira. Dia juga mengungkap bagaimana dukungan keluarganya yang tak pernah putus. Singkat cerita, Arifin ikut tes SAG. “Selalu saya bawa dalam doa bersama keluarga,” tuturnya.

Akhirnya Arifin dinyatakan diterima menjadi siswa SAG. Dia menyimpan cerita keberhasilan itu hingga suatu malam. “Hingga malam itu, selesai salat berjamaah bersama anak dan istri saya di rumah, saya bercerita pada mereka. Mendengar itu, anak-istri saya sangat senang. Tak henti-hentinya kami mengucap syukur. Terima kasih ya Allah,” ujarnya kembali dengan suara serak dan mata kembali berkaca-kaca sambil menengadah.

Mendengar cerita Arifin, siswa lain seperti merasakan gambaran perjuangannya sendiri. “Saya juga menangis. Selain sedih melihat nasib anak-anak itu (yang terlihat di foto slide), pengalaman saya juga mirip dengan bapak yang dari Binjai itu,” ujar siswa lainnya kepada Sumut Pos.

“Aku nangis lebih kuat dari Bapak Arifin Pardede itu, sapu tangan ini sampai basah.  Pengalaman kami sama. 8 kali saya ikut testing pendidikan Secapa. Terakhir saya kumpuli keluarga, untuk minta izin mengikuti SAG ini. Istri saya bertanya, ‘Masih mau abang coba?’ Saya yakinkan diri dan keluarga kalau saya bisa. Hasilnya, saya memang bisa, dapat kesempatan jadi perwira,” cerita Amir Mahmud, anggota Polres Labuhan Belawan yang berusia 46 tahun itu.

Dari depan, instruktur berujar kalau tujuan penayangan video itu untuk meningkatkan rasa empati para siswa sebagai calon perwira. Ditegaskan, sebagai anggota Polri diminta jangan pernah lagi mengeluhkan gaji dan kesejahteraan.

“Coba lihat tayangan-tayangan tadi, dengan kekurangan yang ada, dituntut survive untuk bertahan hidup. Kita ada gaji dan renumerasi, semua sudah lebih dari cukup. Ekspektasi masyarakat pada polisi sangat tinggi. Dalam bertugas, tanamkan empati kepada masyarakat. Itulah maksud penayangan video tadi,” tegas instruktur.

Begitulah sesi pertama pelatihan di hari Jumat itu. Masing-masing siswa mendapat kesadaran baru tentang empati, turut merasakan penderitaan orang lain dan belajar lebih merendahkan hati. Para siswa calon-calon perwira tersebut diminta untuk lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan dalam bertugas disbanding cara-cara kekerasan.

Di sela-sela sesi istrirahat, salat dan makan, ketua tim NAC Polri Polda Sumatera Utara, Kompol Safwan Khayat menguraikan, NAC yang digelar 23 dan 24 November dengan peserta siswa program SAG yang akan digembleng selama sebulan di SPN Sampali. Setelah mengikuti pelatihan, calon perwira diharapkan siap pakai dan memiliki integritas yang tinggi dalam bekerja, memiliki percaya diri yang kuat serta memahami psikologi dan bahasa tubuh.
“Pemahaman psikologi bahasa tubuh sangat membantu memahami karakter seseorang sehingga memudahkan perwira berkomunikasi dengan masyarakat,” sebutnya.

Pelatihan NAC pun memberi pemahaman baru bagi calon-calon perwira untuk mendukung gerakan paradigma baru anggota kepolisian. “Kita ingin anggota kepolisian berubah di masa depan, menjadi lebih professional dan dicintai masyarakat,” ujar Wakapolres Langkat ini.
Selain para instruktur dari unsur kepolisian, peserta pelatihan NAC Polri SAG 2012 di SPN Sampali turut menghadirkan dua psikolog, Siti Aisyah MPsi dan Sahla SPsi. Nama terakhir juga trainer NAC jebolan pelatihan trainer NAC Polri di Sukabumi. (Bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/