28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Diminta Hentikan Kasus Korupsi e-KTP, Agus Raharjo Mengaku Dimarahi Jokowi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengungkapkan, dirinya pernah dipanggil dan diminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto (Setnov). Kala itu Setnov menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar. partai politik yang pada 2016 bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan. “Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretariat Negara). Jadi, saya heran ‘biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian’. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil,” tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12).

“Itu di sana begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak ‘hentikan’. Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk, saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” sambung Agus.

Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut. “Saya bicara (ke Presiden) apa adanya saja, bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan], enggak mungkin saya memberhentikan itu,” terangnya.

Agus menegaskan, hal tersebut sebagai sebuah kesaksian. Ia mengaku telah menceritakan kejadian dimaksud kepada koleganya di KPK. “Saya bersaksi, itu memang terjadi yang sesungguhnya. Saya alami sendiri. Saya awalnya tidak cerita pada komisioner yang lain tapi setelah beberapa lama itu kemudian saya cerita,” ucap dia.

Agus merasa, kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah. Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3. “Kemudian karena tugas di KPK seperti itu, ya makanya saya jalan terus. Tapi, akhirnya dilakukan revisi undang-undang yang intinya ada SP3, kemudian di bawah presiden, mungkin waktu itu presiden merasa ini Ketua KPK diperintah presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu,” tutur Agus.

Wakil Ketua Komisi KPK Alexander Marwata, mengaku pernah mendengar cerita dari Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo tentang pertemuannya dengan Presiden Jokowi terkait penanganan kasus dugaan korupsi e-KTP. “Ya, Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan,” kata Alex dikonfirmasi, Jumat (1/12).

Menurut Alex, saat itu Agus Rahardjo secara tegas menolaknya. Sebab, KPK sudah menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) untuk Setya Novanto. “Ditolak, karena Sprindik sudah terbit dan KPK tidak bisa menghentikan penyidikan,” ucap Alex.

Bahkan, pertemuan antara Agus dan Presiden Jokowi yang membahas kasus e-KTP itu dilakukan setelah KPK mengumumkan secara resmi penetapan Setya Novanto sebagai tersangka. Sehingga KPK tidak bisa menghentikan perkara tersebut. “KPK juga sudah mengumumkan tersangka,” tegas Alex.

Hal senada disampaikan Saut Situmorang yang merupakan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019. Saut juga mengaku pernah mendapat cerita tersebut dari Agus. Namun, ia mengaku lupa detailnya. “Sudah lama kan, dia habis ketemu itu beberapa saat dia cerita. Yang ingat aku di lantai 15 (ruang kerja pimpinan KPK) sih. Tapi, aku lupa berapa lama setelah dia ngomong gitu,” ujar Saut saat dikonfirmasi lewat sambungan telepon, Jumat (1/12). “Cuma seingat saya waktu kita ingin menyerahkan mandat, Pak Agus bilang,” tandasnya.

Pada Jumat, 13 September 2019, tiga pimpinan KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M Syarif menyerahkan tanggung jawab atau mandat pengelolaan Lembaga Antirasuah ke Presiden Jokowi. Hal itu berkaitan dengan revisi UU KPK yang justru melemahkan kinerja pemberantasan korupsi. Pimpinan dan pegawai KPK menyatakan keberatan terhadap revisi dimaksud. Namun, pelbagai protes mereka tidak didengar hingga akhirnya perubahan kedua UU KPK disahkan. “Waktu mau turun ke bawah sambil jalan berdua ‘iya saya dimarahin Presiden’,” ucap Saut menirukan percakapan Agus.

Sementara, mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengaku sempat mendengar kabar rencana Agus Rahardjo untuk mundur dari jabatannya di KPK saat itu, karena ada dugaan intervensi dalam kasus korupsi e-KTP. Novel menyebut, rencana mundur dari jabatan Ketua KPK itu hendak dilakukan Agus usai diduga diminta Presiden Jokowi untuk berhenti mengusut perkara yang menjerat Setya Novanto.

“Iya saya emang pernah dengar cerita itu, saya saat itu ada di Singapura, sedang berobat. Dan, seingat saya malah Pak Agus mau mengundurkan diri itu,” ujarnya kepada wartawan di markas Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (1/12).

“Jadi untuk bertahan dalam komitmen perkara SN (Setya Novanto) tetap dijalankan, itu Pak Agus pernah mau mengundurkan diri,” imbuhnya.

Di sisi lain, Novel menyebut kondisi tersebut juga semakin membuktikan bahwa revisi UU KPK yang dilakukan setelah penanganan kasus E-KTP memang sengaja dilakukan untuk melemahkan lembaga antirasuah. “Sekarang semakin jelas. Apa yang banyak dikatakan orang, termasuk saya, bahwa Undang-Undang KPK, revisi UU KPK yang Nomor 19 itu adalah untuk melemahkan KPK,” tuturnya.

Terpisah, Koordinator Staf Presiden Ari Dwipayana membantah pertemuan antara Presiden Jokowi dan Agus Rahardjo untuk membahas kasus e-KTP. Ia memastikan, pertemuan dan pembahasan itu tidak pernah terjadi. “Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden,” kata Ari dikonfirmasi, Jumat (1/12).

Ari memastikan, Presiden Jokowi tidak pernah mengintervensi proses hukum. Sebab, pada faktanya Setya Novanto tetap terbukti bersalah dan dihukum penjara dalam kasus tersebut. Setya Novanto saat ini tengah menjalani hukuman 15 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. “Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.

Ari pun menyatakan, Presiden Jokowi pernah menyampaikan dukungan terhadap proses hukum Setya Novanto, pada 17 November 2017. Presiden Jokowi dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus e-KTP. “Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik,” ungkap Ari mengungkit pernyataan Presiden Jokowi saat itu.

Ia juga membantah Presiden Jokowi menjadi pihak yang berinisiatif melakukan revisi UU KPK. Menurutnya, revisi UU KPK merupakan inisiatif dari DPR, bukan pemerintah. “Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto,” cetus Ari.

Sementara, Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman menyoroti pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang pernah dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Negara, lantaran diminta menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto. Benny meminta, Agus membuka masalah dugaan intervensi hukum itu lebih terang di parlemen. “DPR sebaiknya panggil eks Ketua KPK Agus Rahardjo atau Pak Agus datang ke DPR menerangkan lebih rinci pernyataannya ini. Apa betul Presiden Jokowi mengintervensi proses hukum di KPK,” kata Benny dalam media sosial X, Jumat (1/12).

Politikus Partai Demokrat itu meminta, siapapun tidak menyebarkan informasi yang tidak benar alias hoaks. Terlebih saat ini menjelang pemilu 2024. Benny memastikan persoalan ini dimonitor oleh masyarakat. “Jangan sebar hoaks ke masyarakat, sebab kalau cerita (intervensi kasus e-KTP) ini benar, rakyat bisa marah,” tegas Benny. (cnn/jpc/bbs/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengungkapkan, dirinya pernah dipanggil dan diminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto (Setnov). Kala itu Setnov menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar. partai politik yang pada 2016 bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Sebelum mengungkapkan kesaksiannya, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa ada hal yang harus dijelaskan. “Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP, saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretariat Negara). Jadi, saya heran ‘biasanya manggil (pimpinan KPK) berlima ini kok sendirian’. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan tapi lewat masjid kecil,” tutur Agus dalam program Rosi, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12).

“Itu di sana begitu saya masuk Presiden sudah marah, menginginkan, karena begitu saya masuk beliau sudah teriak ‘hentikan’. Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk, saya baru tahu kalau yang suruh dihentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” sambung Agus.

Namun, Agus tidak menjalankan perintah itu dengan alasan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) sudah ditandatangani pimpinan KPK tiga minggu sebelum pertemuan tersebut. “Saya bicara (ke Presiden) apa adanya saja, bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu, di KPK itu enggak ada SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan], enggak mungkin saya memberhentikan itu,” terangnya.

Agus menegaskan, hal tersebut sebagai sebuah kesaksian. Ia mengaku telah menceritakan kejadian dimaksud kepada koleganya di KPK. “Saya bersaksi, itu memang terjadi yang sesungguhnya. Saya alami sendiri. Saya awalnya tidak cerita pada komisioner yang lain tapi setelah beberapa lama itu kemudian saya cerita,” ucap dia.

Agus merasa, kejadian tersebut berimbas pada diubahnya Undang-undang KPK. Dalam revisi UU KPK, terdapat sejumlah ketentuan penting yang diubah. Di antaranya KPK kini di bawah kekuasaan eksekutif dan bisa menerbitkan SP3. “Kemudian karena tugas di KPK seperti itu, ya makanya saya jalan terus. Tapi, akhirnya dilakukan revisi undang-undang yang intinya ada SP3, kemudian di bawah presiden, mungkin waktu itu presiden merasa ini Ketua KPK diperintah presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu,” tutur Agus.

Wakil Ketua Komisi KPK Alexander Marwata, mengaku pernah mendengar cerita dari Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo tentang pertemuannya dengan Presiden Jokowi terkait penanganan kasus dugaan korupsi e-KTP. “Ya, Pak Agus pernah bercerita kejadian itu ke pimpinan,” kata Alex dikonfirmasi, Jumat (1/12).

Menurut Alex, saat itu Agus Rahardjo secara tegas menolaknya. Sebab, KPK sudah menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) untuk Setya Novanto. “Ditolak, karena Sprindik sudah terbit dan KPK tidak bisa menghentikan penyidikan,” ucap Alex.

Bahkan, pertemuan antara Agus dan Presiden Jokowi yang membahas kasus e-KTP itu dilakukan setelah KPK mengumumkan secara resmi penetapan Setya Novanto sebagai tersangka. Sehingga KPK tidak bisa menghentikan perkara tersebut. “KPK juga sudah mengumumkan tersangka,” tegas Alex.

Hal senada disampaikan Saut Situmorang yang merupakan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019. Saut juga mengaku pernah mendapat cerita tersebut dari Agus. Namun, ia mengaku lupa detailnya. “Sudah lama kan, dia habis ketemu itu beberapa saat dia cerita. Yang ingat aku di lantai 15 (ruang kerja pimpinan KPK) sih. Tapi, aku lupa berapa lama setelah dia ngomong gitu,” ujar Saut saat dikonfirmasi lewat sambungan telepon, Jumat (1/12). “Cuma seingat saya waktu kita ingin menyerahkan mandat, Pak Agus bilang,” tandasnya.

Pada Jumat, 13 September 2019, tiga pimpinan KPK saat itu yaitu Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M Syarif menyerahkan tanggung jawab atau mandat pengelolaan Lembaga Antirasuah ke Presiden Jokowi. Hal itu berkaitan dengan revisi UU KPK yang justru melemahkan kinerja pemberantasan korupsi. Pimpinan dan pegawai KPK menyatakan keberatan terhadap revisi dimaksud. Namun, pelbagai protes mereka tidak didengar hingga akhirnya perubahan kedua UU KPK disahkan. “Waktu mau turun ke bawah sambil jalan berdua ‘iya saya dimarahin Presiden’,” ucap Saut menirukan percakapan Agus.

Sementara, mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengaku sempat mendengar kabar rencana Agus Rahardjo untuk mundur dari jabatannya di KPK saat itu, karena ada dugaan intervensi dalam kasus korupsi e-KTP. Novel menyebut, rencana mundur dari jabatan Ketua KPK itu hendak dilakukan Agus usai diduga diminta Presiden Jokowi untuk berhenti mengusut perkara yang menjerat Setya Novanto.

“Iya saya emang pernah dengar cerita itu, saya saat itu ada di Singapura, sedang berobat. Dan, seingat saya malah Pak Agus mau mengundurkan diri itu,” ujarnya kepada wartawan di markas Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (1/12).

“Jadi untuk bertahan dalam komitmen perkara SN (Setya Novanto) tetap dijalankan, itu Pak Agus pernah mau mengundurkan diri,” imbuhnya.

Di sisi lain, Novel menyebut kondisi tersebut juga semakin membuktikan bahwa revisi UU KPK yang dilakukan setelah penanganan kasus E-KTP memang sengaja dilakukan untuk melemahkan lembaga antirasuah. “Sekarang semakin jelas. Apa yang banyak dikatakan orang, termasuk saya, bahwa Undang-Undang KPK, revisi UU KPK yang Nomor 19 itu adalah untuk melemahkan KPK,” tuturnya.

Terpisah, Koordinator Staf Presiden Ari Dwipayana membantah pertemuan antara Presiden Jokowi dan Agus Rahardjo untuk membahas kasus e-KTP. Ia memastikan, pertemuan dan pembahasan itu tidak pernah terjadi. “Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden,” kata Ari dikonfirmasi, Jumat (1/12).

Ari memastikan, Presiden Jokowi tidak pernah mengintervensi proses hukum. Sebab, pada faktanya Setya Novanto tetap terbukti bersalah dan dihukum penjara dalam kasus tersebut. Setya Novanto saat ini tengah menjalani hukuman 15 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. “Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.

Ari pun menyatakan, Presiden Jokowi pernah menyampaikan dukungan terhadap proses hukum Setya Novanto, pada 17 November 2017. Presiden Jokowi dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus e-KTP. “Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik,” ungkap Ari mengungkit pernyataan Presiden Jokowi saat itu.

Ia juga membantah Presiden Jokowi menjadi pihak yang berinisiatif melakukan revisi UU KPK. Menurutnya, revisi UU KPK merupakan inisiatif dari DPR, bukan pemerintah. “Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto,” cetus Ari.

Sementara, Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman menyoroti pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang pernah dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Negara, lantaran diminta menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto. Benny meminta, Agus membuka masalah dugaan intervensi hukum itu lebih terang di parlemen. “DPR sebaiknya panggil eks Ketua KPK Agus Rahardjo atau Pak Agus datang ke DPR menerangkan lebih rinci pernyataannya ini. Apa betul Presiden Jokowi mengintervensi proses hukum di KPK,” kata Benny dalam media sosial X, Jumat (1/12).

Politikus Partai Demokrat itu meminta, siapapun tidak menyebarkan informasi yang tidak benar alias hoaks. Terlebih saat ini menjelang pemilu 2024. Benny memastikan persoalan ini dimonitor oleh masyarakat. “Jangan sebar hoaks ke masyarakat, sebab kalau cerita (intervensi kasus e-KTP) ini benar, rakyat bisa marah,” tegas Benny. (cnn/jpc/bbs/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/