28 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Nazaruddin Beber Bagi-bagi Duit e-KTP, Ini Kronologisnya

Foto: Imam Husein/Jawa Pos
Mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin usai memberikan keterangan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik (E-KTP) untuk tersangka Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (3/4/2017). Sidang lanjutan e-KTP menghadirkan delapan saksi, yakni anggota Komisi VIII DPR Khotibul Umam, anggota DPR 2009-2014 M Jafar Hafsah, mantan staf di Ditjen Dukcapil Kemendagri Yosep Sumartono, PNS Kemendagri Dian Hasanah, mantan anggota DPR Komisi III M Nazaruddin, staf Fraksi Demokrat DPR yang juga mantan Sekretaris Nazaruddin, Eva Ompita Soraya, Dosen ITB M Munarwan Ahmad, dan Melchias Marcus Mekeng.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Bantahan kelompok legislatif atas dugaan keterlibatannya di skandal mega korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dilawan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di persidangan, Senin (3/4). KPK menghadirkan mantan bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebagai saksi yang menguatkan indikasi bagi-bagi uang haram e-KTP di kalangan dewan.

Langkah itu dilakukan setelah mantan anggota Komisi II yang kini duduk di Komisi V DPR Miryam S Hariyani yang diharapkan mengungkap dugaan penyaluran duit panas e-KTP ke sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 secara mendadak mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) di persidangan sebelumnya. Hal itu membuat jaksa penuntut umum (JPU) KPK merasa dirugikan.

Nazaruddin yang sebelumnya pernah mengungkap indikasi korupsi berjamaah dalam proyek e-KTP itu langsung membeber praktik bagi-bagi uang di DPR dalam sidang kemarin. Kesaksiannya menguatkan bila kelompok dewan turut menikmati aliran dana, seperti disebut dalam surat dakwaan mantan Direktorat Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan anak buahnya Sugiharto.

Bukan hanya membeber nama dan besaran uang yang didistribusikan, pria yang mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) dalam kasus e-KTP itu juga menjelaskan secara detail pola penyaluran fee tersebut pada rentang waktu 2010-2011. Aliran uang ke pimpinan badan anggaran (banggar) dan anggota komisi II, misalnya. Menurut Nazar, besaran uang sudah ditentukan melalui pembicaraan antara pihak terkait sebelum pembahasan anggaran di DPR.

Uang yang disepakati disalurkan berdasar catatan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang dibantu Mustoko Weni, anggota komisi II saat itu. ”Waktu itu harus ada dana yang dikeluarkan Andi Narogong untuk teman-teman di DPR sebelum pembahasan anggaran (proyek e-KTP, Red),” ungkapnya. Catatan tersebut yang menjadi acuan penyaluran uang ke anggota dewan.

Duit haram tersebut dikemas dalam amplop. Mayoritas dalam bentuk pecahan Dollar Amerika Serikat (AS). Setiap ujung amplop diberi tulisan nama penerima. Proses pengamplopan dilakukan di Ruko Fatmawati, Jakarta Selatan, markas Andi Narogong cs. Nazar mengaku melihat sendiri proses itu. ”Tulisan (nama penerima uang) dikasih ke saya,” terangnya.

Nazar juga mengaku melihat sendiri beberapa proses penyerahan uang ke anggota DPR. Diantaranya ke wakil ketua banggar Mirwan Amir, Olly Dondokambey dan Tamsil Lindrung. Uang diberikan secara bertahap dengan total bervariasi. Yakni USD 1,2 juta dan USD 700 ribu. Selain diserahkan langsung ke ruang pimpinan banggar, penyerahan juga dilakukan di ruang Mustoko Weni.

Selain melihat sendiri, Nazar juga mengetahui penyerahan tersebut dari laporan Andi Narogong yang disampaikan ke Anas. Menurutnya, selain Mustoko Weni, penyerahan uang juga banyak dilakukan Andi Narogong. Setelah diserahkan, Andi melapor ke Anas, selaku pentolan partai penguasa saat itu. ”Sebelum terima dibicarakan dulu, angkanya segini. Nanti Andi lapor ke Anas, kalau ada masalah juga akan lapor,” ucap mantan anggota komisi III DPR itu.

Foto: Imam Husein/Jawa Pos
Mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin usai memberikan keterangan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik (E-KTP) untuk tersangka Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (3/4/2017). Sidang lanjutan e-KTP menghadirkan delapan saksi, yakni anggota Komisi VIII DPR Khotibul Umam, anggota DPR 2009-2014 M Jafar Hafsah, mantan staf di Ditjen Dukcapil Kemendagri Yosep Sumartono, PNS Kemendagri Dian Hasanah, mantan anggota DPR Komisi III M Nazaruddin, staf Fraksi Demokrat DPR yang juga mantan Sekretaris Nazaruddin, Eva Ompita Soraya, Dosen ITB M Munarwan Ahmad, dan Melchias Marcus Mekeng.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Bantahan kelompok legislatif atas dugaan keterlibatannya di skandal mega korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dilawan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di persidangan, Senin (3/4). KPK menghadirkan mantan bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebagai saksi yang menguatkan indikasi bagi-bagi uang haram e-KTP di kalangan dewan.

Langkah itu dilakukan setelah mantan anggota Komisi II yang kini duduk di Komisi V DPR Miryam S Hariyani yang diharapkan mengungkap dugaan penyaluran duit panas e-KTP ke sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 secara mendadak mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) di persidangan sebelumnya. Hal itu membuat jaksa penuntut umum (JPU) KPK merasa dirugikan.

Nazaruddin yang sebelumnya pernah mengungkap indikasi korupsi berjamaah dalam proyek e-KTP itu langsung membeber praktik bagi-bagi uang di DPR dalam sidang kemarin. Kesaksiannya menguatkan bila kelompok dewan turut menikmati aliran dana, seperti disebut dalam surat dakwaan mantan Direktorat Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan anak buahnya Sugiharto.

Bukan hanya membeber nama dan besaran uang yang didistribusikan, pria yang mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) dalam kasus e-KTP itu juga menjelaskan secara detail pola penyaluran fee tersebut pada rentang waktu 2010-2011. Aliran uang ke pimpinan badan anggaran (banggar) dan anggota komisi II, misalnya. Menurut Nazar, besaran uang sudah ditentukan melalui pembicaraan antara pihak terkait sebelum pembahasan anggaran di DPR.

Uang yang disepakati disalurkan berdasar catatan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang dibantu Mustoko Weni, anggota komisi II saat itu. ”Waktu itu harus ada dana yang dikeluarkan Andi Narogong untuk teman-teman di DPR sebelum pembahasan anggaran (proyek e-KTP, Red),” ungkapnya. Catatan tersebut yang menjadi acuan penyaluran uang ke anggota dewan.

Duit haram tersebut dikemas dalam amplop. Mayoritas dalam bentuk pecahan Dollar Amerika Serikat (AS). Setiap ujung amplop diberi tulisan nama penerima. Proses pengamplopan dilakukan di Ruko Fatmawati, Jakarta Selatan, markas Andi Narogong cs. Nazar mengaku melihat sendiri proses itu. ”Tulisan (nama penerima uang) dikasih ke saya,” terangnya.

Nazar juga mengaku melihat sendiri beberapa proses penyerahan uang ke anggota DPR. Diantaranya ke wakil ketua banggar Mirwan Amir, Olly Dondokambey dan Tamsil Lindrung. Uang diberikan secara bertahap dengan total bervariasi. Yakni USD 1,2 juta dan USD 700 ribu. Selain diserahkan langsung ke ruang pimpinan banggar, penyerahan juga dilakukan di ruang Mustoko Weni.

Selain melihat sendiri, Nazar juga mengetahui penyerahan tersebut dari laporan Andi Narogong yang disampaikan ke Anas. Menurutnya, selain Mustoko Weni, penyerahan uang juga banyak dilakukan Andi Narogong. Setelah diserahkan, Andi melapor ke Anas, selaku pentolan partai penguasa saat itu. ”Sebelum terima dibicarakan dulu, angkanya segini. Nanti Andi lapor ke Anas, kalau ada masalah juga akan lapor,” ucap mantan anggota komisi III DPR itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/