JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) memprotes penggunaan Rumah Sakit Indonesia (RS Indonesia) sebagai markas pasukan Israel, Israel Defense Force (IDF). MER-C meminta World Health Organisation mengusir Israel yang menggunakan RS Indonesia sebagai markas tentaranya.
Ketua Presidium MER-C Indonesia, Sarbini Abdul Murad menuturkan, sudah dua pekan ini Israel menempatkan pasukannya di RS Indonesia. Setelah digempur dengan serangan yang membuat RS Indonesia tidak bisa beroperasi. “Kami desak WHO melakukan investigasi,” pintanya.
Penggunaan rumah sakit sebagai markas pasukan itu melanggar etika dan peraturan internasional terkait peperangan. Tidak boleh rumah sakit digunakan sebagai markas pasukan saat berperang. “Kami minta investigasi dari WHO,” ujarnya lagi.
Langkah licik Israel tersebut dilakukan setelah menuding adanya bunker atau tempat perlindungan Hamas di RS Indonesia. Setelah diserang dan dalam keadaan tidak beroperasi malah digunakan sebagai markas. “Ini cara culas,” paparnya.
Terlebih lagi, apa yang ditudingkan Israel sama sekali tidak terbuktin
Tidak ada bunker Hamas yang ditemukan di RS Indonesia. “Semua itu bohong dan fitnah,” ujarnya ditemui di Kantor Pusat MER-C kemarin.
Menurutnya, Israel ingin menjadikan RS Indonesia sebagai tameng. Selama ini pasukan Israel tidak memiliki tempat berlindung. “Pakai RS Indonesia, bisa jadi membuat Hamas segan untuk menyerang. Karena Indonesia dikenal sebagai penyokong utama Palestina. Apalagi, Israel saat ini selalu kalah diberbagai titik,” ujarnya.
Dia meminta pemerintah Indonesia juga melakukan langkah untuk mengusir Israel dari RS Indonesia. Pemerintah masih diharapkan untuk berbuat banyak membela Palestina. “Saya masih percaya pemerintah akan berbuat sesuatu,” jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Lalu Muhammad Iqbal tak banyak merespon soal dugaan RSI yang kini diduduki oleh Tentara Israel. Dia hanya mengungkapkan, bahwa concern Pemerintah Indonesia ada pada sistem kesehatan di Gaza secara keseluruhan. Di mana, saat ini, sistem kesehatan di sana telah banyak yang lumpuh. Termasuk, RSI di Gaza.
“Bahwa dari 35 rumah sakit, saat ini hanya tinggal 12 yang aktif, yang bisa dioperasikan. Itu pun ada yang pasiennya sampai 3 kali lipat melayani dari kapasitasnya,” ujarnya dalam press briefing Kemenlu, di Jakarta, kemarin.
Tak hanya itu, fasilitas kesehatan pun bernasib sama. Hampir 71 persen fasilitas kesehatan di Gaza sudah tidak berfungsi lagi. Ini termasuk klinik, ambulance, dan lainnya. “Jadi ibu menlu pergi ke Jenewa (pertemuan dengan WHO, red) itu salah satunya prioritasnya untuk menyampaikan isu ini. Bahwa sistem kesehatan di Gaza itu gagal dalam menghandle situasi kemanusiaan yang ada sekarang,” tegasnya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, Pemerintah Indonesia terus mendesak ada jeda kemanusiaan yang permanen. Sehingga memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk dan penderitaan rakyat Gaza bisa diakhiri.
Disinggung soal molornya pemungutan suara resolusi Dewan Keamanan PBB terkait konflik di Jalur Gaza, Iqbal mengungkapkan, bahwa sangat dipahami betapa sulitnya untuk memutuskan sebuah resolusi di DK PBB, khususnya dalam isu-isu sensitif seperti ini. Sehingga, waktu untuk melanjutkan negosiasi masih diperlukan.
Kendati begitu, Indonesia menaruh harapan besar dari diundurnya pemungutan suara ini. Sebagai informasi, pemungutan suara DK PBB soal Gaza ini harusnya digelar pada Selasa (19/12). Namun, dijadwalkan kembali pada Rabu (20/12). “Mudah-mudahan pengunduran waktu untuk take action ini akan membuahkan hasil yang baik, untuk membantu masyarakat Gaza yang sudah sangat menderita,” ungkapnya.
Diakuinya, meski sedang tidak menjadi anggota DK PBB, Indonesia terus memantau kondisi yang terjadi. Selain itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi bersama menlu-menlu negara OKI juga terus melakukan upaya untuk memastikan adanya sebuah resolusi yang tegas, konkrit, dan segera untuk Gaza yang bisa diadopsi tanpa ada veto dari negara anggota tetap DK PBB. (idr/mia/jpg)