Detik-detik Terakhir Wamen ESDM di Gunung Tambora (1)
Wakil Menteri (Wamen) ESDM Widjajono Partowidagdo meninggal dunia di Gunung Tambora, Sabtu pagi, 21 April 2012, dan telah dimakamkan di Karawang, Jawa Barat kemarin. Tulisan berikut mengulas detik-detik terakhir Pak Wid-panggilan akrab Wamen- di gunung yang kesohor itu.
ABDUL MUIS, Dompu
WIDJAJONO Partowidagdo pada 2003 memang sempat melakukan pendakian gunung yang pernah meletus dahsyat pada 1815 ini. Tetapi saat itu gagal mencapai puncak karena cuaca yang tidak bersahabat. Kali ini, Widjajono bertekad sampai ke puncak dan menatap langsung kaldera dan sisa-sisa letusan di sana.
Rombongan Wamen berjumlah 23 orang yang terdiri dari ajudannya, kru televisi, pejabat Dinas Pertambangan Bima dan Dompu, Komunitas Motor Gunung Tambora Trail Communnity (TTC) pemantau gunung berapi Tambora Abdul Haris dan pegiat lingkungan Ibnu Khaldun. Dua nama terakhir adalah mereka yang betul-betul berada di samping almarhum dan berjuang untuk menyelamatkan nyawa Wamen saat berada dalam kondisi kritis.
Ibnu Khaldun yang diwawancarai khusus di Dompu Minggu kemarin mengakui kalau Wamen saat tiba di Pos I Doroncanga Tambora pada sore Jumat terlihat sangat bersemangat untuk melakukan pendakian, walaupun terlihat kondisinya agak keletihan setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan dari Kabupaten Bima (jalan darat) yang mencapai hampir 200 kilometer.
Setelah melakukan persiapan seperlunya, pendakian dimulai. Semula Wamen menumpang mobil ranger menuju pos dua karena kondisi jalan yang tak memungkinkan, maka dilanjutkan lagi dengan mobil jeep untuk menuju pos tiga dan sampai di sana sekitar pukul 21.00 Wita. Pos tiga adalah tempat terakhir bisa menggunakan kendaraan karena itu biasanya dimanfaatkan untuk beristrihat dan bermalam untuk menunggu pagi.
Rombongan yang berjumlah 23 orang itu bermalam karena pada pagi pukul 04.00 Wita rombongan akan melanjutkan pendakian dengan berjalan kaki menuju kaldera. Menjaga kondisi agar stabil, seluruh rombongan tidur dalam tenda masing-masing. Sebagai petualang tulen, Wamen rupanya menyetel jam agar bangun pukul 03.30 Wita.
‘’Pada pukul 03.30 Pak Wamen terbangun akibat jam yang distelnya,’’ kata Ibnu Khaldun.
Tepat pukul 04.00 Wita rombongan yang dipimpin langsung pak Wamen melanjutkan perjalanan menuju pos empat atau puncak Tambora. Satu orang bertindak sebagai pembuka jalan, sedangkan Ibnu Khaldun sendiri bertindak sebagai penutup jalan bersama pak Wamen. Rombongan terus berjalan, karena Wamen sering beristirahat maka bersama dengan enam orang lainnya Wamen tertinggal di belakang.
Pagi harinya, Wamen berada dalam kondisi kelelahan dan mengalami keram kaki. Pada posisi itu tinggal 50 meter mencapai kaldera Tambora. Di dampingi Ibnu Khaldun dan beberapa yang lainnya mereka beristirahat. Ibnu Khaldun memijat kaki Wamen agar kondisinya bisa membaik. Saat memijat itu banyak hal yang diceritakan Wamen. Sebagai sesama penghobi mendaki obrolan pun mengalir sangat lancar.
Menurut Wamen, Gunung Tambora adalah kebanggaan masyarakat Kabupaten Dompu NTB Indonesia umumnya bahkan negara yang memiliki gunung tertinggi seperti Himalaya. Tetapi di gunung itu mereka hanya mengandalkan ketinggian, berbeda dengan Tambora. Selain tertinggi di Pulau Sumbawa, di gunung itu terkenang sejarah yang tak pernah dilupakan oleh dunia.
Tak bisa dilupakan karena telah menoreh sejarah dengan letusan dahsyatnya pada 11 April 1815 yang dirasakan sampai ke Benua Eropa. Imbasnya menurut Wamen letusan Tambora mampu mengubah iklim di benua Eropa. Di samping dalam sejarah peperangan juga Napoleon kalah akibat terserang kabut Tambora. ‘’Pokoknya sangat banyak diceritakan Pak Wamen menyangkut Tambora. Saya melihat Pak Wamen sangat bangga dengan Tambora,’’ tutur dae Adun panggilan akrab Ibnu Khaldun.
Wamen juga sempat menanyakan tentang pribadinya menyangkut pijitannya yang dinilai cukup enak. ‘’Apakah kamu tukang pijat,’’ tanya Wamen yang ditirukan Khaldun. Khaldun pun menjelaskan profesinya yang kerap membantu pihak-pihak yang perlu diantar menuju Tambora, disamping sebagai PNS di jajaran Pemkab Dompu dengan memangku jabatan eselon IV.
Diperkirakan sekitar pukul 08.00 Wita kondisi Wamen makin kelelahan, pihaknya berinisiatif membaringkannya sambil terus memijat. Pada posisi itu, Wamen masih bercerita seputar keunggulan Tambora sampai akhirnya benar-benar tak sadarkan diri. ‘’Akibat kondisi Wamen seperti itu sebagian anggota panik, tetapi pihaknya bersama dengan Abdul Haris petugas pemantau gunung Tambora (BMKG) Abdul Haris berusaha tegar dengan memberikan bantuan sebisa mungkin untuk pertolongan.
Seiring perjalanan waktu, kondisi semakin mengkhawatirkan. Kru yang sudah berada di puncak dipanggil turun, kemudian pihaknya mencari pertolongan dengan mengirim SMS kepada Bupati Dompu. Tetapi karena sinyal HP tak ada akhirnya berlari ke posisi yang kira-kira tertangkap sinyal dan begitu sinyal tertangkap maka langsung dikirim SMS.
Tetapi mesti sudah dikirim SMS itu tak langsung bisa diterima, dalam catatan handphonenya baru diterima bupati satu jam setelah dikirim. Dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan itu rombongan mengambil kesimpulan untuk segera menurunkan Wamen dengan menggunakan tandu. Tetapi karena tandu tidak tersedia, sebagai pendaki Khaldun yang sangat memahami kondisi itu, maka tiang bambu yang tertancap di puncak Tambora sebagai pilihan dan diambil dengan melakukan pendakian kembali.
Selanjutnya bambu itu dipotong menjadi dua. Sarung miliknya ditambatkan pada dua bambu itu. Kemudian Wamen dinaikan di atas lalu ditandu menuruni gunung yang curam. Menurutnya, menurunkan Wamen dari atas puncak Tambora sangat melelahkan karena harus dilakukan dengan ekstra hati-hati. Sebab kemiringan Tambora rata-rata 50 derajat. Tetapi untuk menyelamatkan Wamen, rombongan melakukan dengan semangat tinggi hingga mencapai pos tiga.
Saat berada di pos tiga sebenarnya telah ada harapan dengan melintasnya helikopter di seputaran itu karena dengan demikian Wamen yang sedang dalam kondisi kritis dapat terselamatkan. Tetapi apa boleh rombongan terpaksa kecewa karena helikopter tidak dapat melakukan pendaratan akibat cuaca buruk.
Rombongan kemudian mengangkut Wamen menggunakan jeep. Bersama Wamen, Khaldun, ajudan dan tiga orang lainnya menuju pos satu di lereng Tambora. Sampai di Pos I sudah banyak yang menunggu termasuk dokter yang langsung melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan, Wamen telah meninggal.
Menurut Khaldun, Wamen adalah pendaki sejati, tidak pernah mengeluh bahkan tetap tegar walau dalam kondisi apapun. Bahkan sebelum benar-benar kolaps tetap memberikan support kepada rombongan agar tetap bersemangat mendaki.
Menurut Wamen, Tambora adalah aset yang sangat berharga. Selain memiliki potensi alam yang indah juga telah meninggalkan sejarah bagi dunia. (bersambung)