SUMUTPOS.CO – Menurut data rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2024, pemilih dari Generasi Z (17-30 tahun) dan milenial (31-40 tahun) mendominasi pada Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45 % dari total keseluruhan pemilih. Dominasi pemilih muda tersebut akan mengubah perspektif masyarakat terhadap harapan dan ekspektasi kepada calon pemimpin Indonesia 5 tahun kedepan.
TERKAIT dengan Pemilu, Populix baru-baru ini meluncurkan studi bertemakan “Expectations of Young Voters in the 2024 Indonesian Presidential Election”. Studi ini mempelajari lebih mendalam tentang perspektif pemilih muda khususnya terkait isu-isu sosial dan lingkungan, reformasi pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan berkelanjutan.
Vivi Zabkie, Head of Social Research Populix menjelaskan, menyambut Pemilu 2024, aspirasi antara Generasi Z dan milenial, dengan jumlah mereka yang besar, suara kategori tersebut juga berpengaruh. Oleh karena itu mengenali betul aspirasi mereka juga menjadi bagian penting. Melalui surveinya, Populix menyebut, meski sama-sama muda, kedua generasi tersebut punya banyak perbedaan.
“Generasi Z, sebagai pemilih pertama, membawa harapan tinggi terhadap pemimpin yang netral dan pro-rakyat, sementara milenial, yang lebih pragmatis, menilai pemimpin berdasarkan kemampuan ekonomi dan jaminan kesejahteraan. Sebagai pemegang suara yang kritis, keduanya mengharapkan pemimpin dengan integritas, visi jelas, dan kemampuan memecahkan masalah,” ungkap Vivi melalui jumpa pers daring.
Generasi Z, yang didominasi pemilih pertama disebut membawa harapan tinggi terhadap calon pemimpin negara. Mereka cenderung enggan untuk terikat dengan organisasi atau komunitas politik tertentu.
Pemimpin ideal menurut pandangan mereka adalah sosok yang netral, pro-rakyat, dan mampu menjadi perintis terobosan baru. Aspirasi mereka tidak hanya sebatas keuntungan pribadi, tetapi lebih terfokus pada pemimpin yang dapat membawa perubahan positif, terutama yang berdampak langsung kepada anak muda.
Sementara, generasi milenial cenderung lebih pragmatis dan skeptis. Mereka melakukan pemeriksaan yang lebih teliti terhadap rekam jejak para kandidat dan menganalisis dampak pemilu sebelumnya terhadap tanah air.
Pemimpin ideal menurut pandangan milenial adalah sosok yang mampu memajukan kondisi perekonomian, memberikan jaminan atas kehidupan profesional, dan kesejahteraan keuangan mereka.
Selain itu, terdapat tiga persona pemilih pada Pemilu 2024 diantaranya, pemilih independen, yang lebih memilih presiden yang tidak terafiliasi dengan partai politik mana pun. Selain itu, terdapat pemilih yang mengutamakan kesamaan identitas.
Mereka cenderung memilih presiden yang memiliki kesamaan identitas dengan mereka, seperti kesamaan etnis, daerah asal, atau agama. Biasanya, mereka juga cenderung memilih kandidat laki-laki. Terakhir, yaitu pemilih yang berpegang pada integritas kandidat dengan mengevaluasi masing-masing kandidat presiden berdasarkan kapabilitas dan pengalaman mereka sendiri.
Kelompok ini mengharapkan presiden yang jujur, anti korupsi, memiliki visi yang jelas, memiliki kompetensi yang telah terbukti, rendah hati, mampu menjawab tantangan yang dihadapi Indonesia, memiliki rekam jejak yang kuat, bertekad kuat, berprinsip, dan independen dari partai politik.
Platform media sosial juga disebut menjadi sumber informasi utama bagi sebagian besar masyarakat. Dalam ranah online ini, terjadi diskusi dinamis dan pertukaran wawasan politik. Selain itu, keluarga, lingkungan sosial, kegiatan kampanye, dan komunitas juga turut memainkan peran penting dalam membentuk pandangan pemilih terhadap kandidat.
Namun, skeptisisme tetap muncul di kalangan kedua generasi dikarenakan narasi pemberitaan di media massa, observasi langsung, dan diskusi lokal termasuk dengan keluarga, kolega, dan teman.
Kesenjangan antara realita dan janji kampanye, kampanye yang dianggap tidak sehat, serta kurangnya transparansi informasi menjadi faktor utama yang memicu skeptisisme ini.
Dampaknya, muncul partisipasi selektif dalam pemilu dan pertimbangan untuk golput. Selain perbedaan generasional, faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan pemilih antara lain status sosial-ekonomi, suku dan budaya, tingkat pendidikan, dan usia. (jpc)
Setiap faktor ini memiliki dampak unik dalam membentuk preferensi politik dan perilaku pemilih. Dalam menyongsong pemilu yang akan datang, pemahaman mendalam terhadap perbedaan aspirasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemilih menjadi kunci strategis bagi para kandidat dan tim kampanye mereka.
Menurut data Populix, kualitas kepemimpinan (82 %), visi dan kebijakan yang jelas (76 %), kecerdasan (76 %), kemampuan memecahkan masalah (72 %), dan integritas (69 %) menjadi karakteristik utama yang dinilai oleh pemilih. Kualitas kepemimpinan, kecerdasan, serta visi dan kebijakan yang jelas sangat diutamakan oleh kalangan menengah dalam memilih seorang presiden.
Di sisi lain, masyarakat Chinese-Indo dan non-Muslim mencari presiden yang dapat diandalkan, tanpa memandang agama atau ras. Ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap berbagai isu Tanah Air juga tercermin melalui data survei yang mengungkap permasalahan terbesar di Indonesia dari sudut pandang responden.
Pemberantasan korupsi mendominasi dengan 33 %, diikuti oleh peningkatan kualitas hidup (21 %), menciptakan lapangan kerja (19 %), dan meningkatkan standar pendidikan (12 %). Dalam pemilu presiden, 24 % responden menganggap ekonomi dan pembangunan sebagai isu utama, diikuti oleh korupsi (19 %) dan pendidikan (11 %).
Ketika membahas kesempatan kerja dan peluang ekonomi bagi generasi muda, 83 % responden berharap pemerintah dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Sebanyak 72 % memandang pentingnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah, dengan harapan agar pemerintah dapat bersih dari korupsi. (jpc)