David Donaldson, Warga New Zealand yang Menikahi Wanita Indonesia
Pernikahan warga New Zealand David Donaldson dengan WNI Yuhanie Marisa Latinia berakhir dengan persoalan pelik. Dua di antara lima anak mereka mengalami epilepsi kompleks. Di tengah proses pengobatan, Yuhanie mengambil anak keempat, Simon Donaldson, dan memasungnya di rumah.
AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
Mendung masih menggantung di langit Jagakarsa, Jakarta Selatan, ketika Jawa Pos (grup Sumut Pos) menemui David Donaldson di rumahnya Sabtu lalu (28/4). Lelaki 57 tahun itu tak bisa menyembunyikan wajahnya yang muram dan gelisah karena memikirkan nasib anaknya, Simon Donaldson. “Saya hanya mengkhawatirkan kesehatannya. Ibunya tidak pernah membawa dia ke dokter.
Bagaimana dia bisa tumbuh sehat?” kata warga negara New Zealand itu lantas meletakkan tangan di pipinya.
Sesekali dia bergantian meletakkan tangan di rambutnya yang memutih sambil pandangannya menerawang. “Hanya dia (Simon Donaldson) yang menjadi beban pikiran saya selama ini,” imbuhnya.
Simon kini berusia 26 tahun. Lelaki yang didiagnosis menderita epilepsi kompleks dan leucodystrophy itu tinggal bersama ibu kandungnya, Yuhanie, di Tenggilis Mejoyo, Surabaya, Jawa Timur. Selama ini, keluarga David tidak boleh menjenguk Simon. Meski hanya untuk melihat wajahnya. “Kami pernah berusaha membawanya ke Jakarta untuk kami periksakan ke dokter. Tapi, Yuhanie selalu melarang,” tuturnya.
Padahal, pengusaha jasa keamanan pertambangan minyak itu berencana memindahkan Simon ke New Zealand untuk ditangani dokter ahli. Sebab, kata David, selama ini Yuhanie tidak pernah membawa Simon ke dokter. Alasannya, Simon menderita penyakit yang disebabkan ilmu hitam. Yuhanie pun sudah membawa Simon ke sejumlah ‘orang pintar’, namun tak pernah ada hasilnya. Meski begitu, Yuhanie tidak pernah mau menyerahkan Simon kepada David kecuali dia menggantinya dengan sejumlah uang.
Akibatnya, Simon tak pernah mendapat perawatan medis yang tepat. Sehari-hari dia hanya tinggal di kamar sempit di sebuah rumah kontrakan di Tenggilis Mejoyo, Surabaya. Aktivitasnya hanya makan dan minum. Wajahnya juga selalu murung dan muram. Hidupnya tak bergairah karena tak pernah beraktivitas sebagaimana pria seusianya.
David pernah mendatangi rumah mantan istrinya tersebut bersama sejumlah polisi dan petugas Kantor Imigrasi Kelas I Waru pada 26 Maret lalu. Saat itu rumah dikunci rapat. Bahkan, untuk masuk, mereka harus melalui pintu berlapis. Setelah berhasil mendobrak pintu rumah, David mendapati Simon yang tak berdaya di kamar tidurnya. Tangannya dirantai di ranjang. Namun, upaya untuk membawa Simon gagal karena Yuhanie keburu datang dengan mengerahkan sejumlah warga untuk mengusir petugas.
Salah seorang petugas imigrasi sempat memotret Simon yang dipasung ibunya itu. Foto tersebut menyebar cepat hingga ke tanah air David di New Zealand. Koran The New Zealand Herald sampai memasangnya sebagai foto utama dengan berita kondisi Simon sebagai headline. Salah satu koran yang berpengaruh di New Zealand itu memberi judul: Sick Kiwi Man Held in Chains.
Wartawan New Zealand sempat membawa isu tersebut ketika mereka ikut rombongan Perdana Menteri New Zealand John Key ke Indonesia pada 17 April lalu. Key juga sempat didesak untuk membicarakannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, karena agenda kunjungan lebih ke masalah perdagangan, isu itu tak sampai ke SBY. Lagi pula, ada kesungkanan mengingat level SBY yang terlalu tinggi mengurusi persoalan tersebut.
Masalah Simon kini bukan lagi masalah domestik antara David dan Yuhanie. Imigrasi dan Kedutaan Besar New Zealand di Jakarta ikut turun tangan. Misalnya, status kewarganegaraan Simon ikut ke pihak sang ayah, yakni New Zealand. Karena itu, izin tinggal Simon di Indonesia harus diperpanjang per tiga tahun.
Nah, saat ini izin tinggal Simon di Indonesia sudah habis alias overstay. Kedutaan Besar New Zealand di Jakarta sudah meminta Kantor Imigrasi Indonesia menyerahkan Simon. Jangankan mengambil Simon, Kantor Imigrasi Surabaya malah memberikan waktu kepada Yuhanie selama lima bulan ke depan untuk mengurusnya. Alasannya, Simon harus menjalani perawatan penyakitnya. “Padahal, status hukum Simon di Indonesia itu ilegal,” kata David.
Kisah pilu Simon sejatinya bisa dihindari. Bahtera rumah tangga David dan Yuhanie yang dijalin sejak 1977 berakhir pada 1992. Pengadilan memutus David-lah yang berhak mengasuh lima anak hasil pernikahan mereka. Lima anak itu adalah Alexander Donaldson (kini berusia 33 tahun), Robin Donaldson (31); James Donaldson (28); Simon Donaldson (26); dan Joanna Donaldson (24).
Setelah bercerai, David lantas memutuskan untuk merawat anak-anaknya di Jakarta, sedangkan Yuhanie kembali ke kampung halamannya di Surabaya. Awalnya, David belum mengetahui kelainan Simon dan Robin yang didiagnosis terkena epilepsi kompleks. Saat memasuki masa puber, Robin mengalami disleksia alias kesulitan membaca yang cukup serius. Terkadang dia juga mengalami semacam temporary insanity (kegilaan sementara). Scanning MRI (magnetic resonance imaging) menunjukkan bahwa terjadi kelainan di otak Robin. Robin lantas diterbangkan ke New Zealand untuk mendapat perawatan intensif.
“Robin saat ini berada di sebuah kamar khusus yang dibangun di rumah kami. Dia bisa beraktivitas di luar seperti orang biasa. Tapi, dia tetap harus menjalani pengobatan rutin di rumah. Ada orang yang secara khusus merawatnya di sana,” ungkap David.
Gejala serupa dialami Simon. Dia mengalami disleksia dan sering kejang-kejang seperti epilepsi. Dokter mendiagnosis Simon menderita epilepsi kompleks dan leucodystrophy, semacam kelainan gen yang menyerang sel putih otak. Kelainan tersebut memengaruhi saraf motorik dan pertumbuhan fisik penderita. Karena itulah, Simon dan Robin terkadang sulit berjalan.
Yang membuat David makin sedih, penyakit yang diderita Simon tidak seperti jenis leucodystrophy yang dikenal dunia kedokteran. “Gejalanya sedikit dari pola yang ini dan sedikit dari yang itu, tapi tak pernah benar-benar mengikuti tipe penyakit tersebut. Ini benar-benar langka,” ujarnya.
Dokter menyatakan, kelainan tersebut dibawa gen orangtuanya. Ada gen dari David dan Yuhanie yang bertolak belakang. Kelainan tersebut biasanya dialami pada anak laki-laki. Penyakit mulai menyerang ketika sang anak memasuki masa pubertas. Karena itulah, anak kedua dan anak keempat David mengalaminya.
Setelah mengetahui diagnosis Simon, David berupaya memberikan pengobatan maksimal. Dia bahkan mendatangkan guru khusus untuk penderita disleksia dari New Zealand. Dalam sebulan, Simon yang saat itu memasuki usia sekolah sudah bisa membaca tulisan. Dia juga mulai banyak beraktivitas.
“Dia terlihat bahagia karena bisa membaca. Dia mengetahui apa yang terjadi di sekitar,” ungkapnya.
Pada 2003, Yuhanie menghubungi David. Dia menyatakan bahwa Simon sakit karena diguna-guna. Karena itu, dia lalu menawarkan untuk membawa Simon ke ‘orang pintar’ di Surabaya. David semula tak percaya dan menolak ide Yuhanie. Namun, akhirnya dia memperbolehkan Simon dibawa Yuhanie ke Surabaya.
“Saya sebenarnya melarang. Tapi, setelah itu, Simon terus-menerus murung. Dia bilang kepada saya, barangkali dia memang kena ilmu hitam,” katanya.
Akhirnya David membawa Simon ke Surabaya. Dia menyerahkan sepenuhnya pengobatan Simon kepada Yuhanie. Tiap tiga bulan sekali dia menjenguk putranya itu. Dia juga mengirim biaya perawatan untuk Simon rutin setiap bulan.
Tapi, lama-kelamaan, David curiga karena Simon tak kunjung sembuh. Dia akhirnya meminta Yuhanie mengembalikan Simon. Yuhanie ganti menolak karena merasa yakin Simon akan sembuh. “Saya tidak habis pikir. Saya ingin segera membawa Simon ke New Zealand agar mendapat perawatan seperti kakaknya,” tegasnya. (*)