25 C
Medan
Thursday, October 17, 2024
spot_img

Refleksi Hukum tentang Keadilan Restoratif sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan Anak yang jadi Isu Global

Oleh: Fitria Ramadhani Siregar (Mahasiswi Doktor Ilmu Hukum USU)

PENGARUH globalisasi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak menjadi sebuah permasalahan serius di Indonesia. Dahulunya, kita hanya mendengar dengan istilah juvenile delinquency atau kenakalan remaja. Akan tetapi kenalakan anak tersebut menjadi poros meningkatnya kejahatan pidana.

Kejahatan yang dilakukan oleh anak bukan hanya menjadi permasalahan besar masyarakat Indonesia, bahkan telah menjadi isu global. Amerika Serikat melalui Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) Christopher A Wray mengungkap faktor penyebab peningkatan kejahatan remaja yaitu anak-anak yang tidak bersekolah akibat dari pandemi Covid-19. Faktor ini menyebabkan peningkatan antara lain penggunaan obat-obatan terlarang hingga kelompok geng bersenjata.

Amerika Serikat menjadi salah satu pioneer dalam penerapan restorative justice. Dimulai pada tahun 1970, proses Restorative justice berupa Victim Offender Mediation (VOM) telah diterapkan di Amerika bagian Utara.

Persamaan penerapan restorative justice di Indonesia dan Amerika Serikat berlaku untuk peradilan pidana dengan tindak pidana tertentu seperti tindak pidana ringan, kasus anak berhadapan dengan hukum dan untuk pelaku yang baru pertama kali berhadapan dengan hukum.

Namun ada pula perbedaan dalam restorative justice di dua negara tersebut. Diantaranya di Amerika Serikat memiliki banyak program dalam penerapan restorative justice. Sedangakan di Indonesia penerapannya masih sebatas mediasi dan penghentian tuntutan.

Kehadiran UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, mewajibkan penyelesaian perkara dengan mengedepankan prinsip restorative justice dengan proses diversi membuat anak semakin ‘manja’ dari segi konstitusi.

Maksudnya ‘manja’ ialah anak semakin percaya diri dan bangga dengan perbuatan yang dilakukan. Negara yang bersusah payah untuk melindungi kedudukan anak. Untuk itu negara, harus lebih ekstra memikirkan cara menanggulangi anak yang melakukan kejahatan.

Negara begitu yakin dengan restorative justice. Namun nyatanya eksistensi restorative justice dianggap kurang mampu mengurangi kejahatan anak.

Data Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat 2.302 kasus anak sebagai pelaku kejahatan. Dalam laporan tersebut, kasus yang paling banyak terjadi adalah pencurian dengan 838 kasus. Kemudian, narkoba dengan 341 kasus, penganiayaan 232 kasus dan pelanggaran hukum lain 491 kasus.

Sebanyak 48 anak di bawah umur bahkan tercatat menjadi pelaku pembunuhan. Kejahatan seperti pencabulan atau pelecehan hingga pemerkosaan juga marak terjadi, mencapai 199 kasus.

Apakah pendekatan restorative justice sebagai metode penyelesaian perkara anak sudah berjalan efektif? Apakah anak sebagai pelaku kejahatan yang sudah melanggar nilai dan moral dapat serta merta pulih dan mampu mengobati keresahan di masyarakat?

Kehadiran restorative justice sebagai bentuk pembaharuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum maksimal diterapkan. Hal ini disebabkan berbagai kendala. Diantaranya, tidak konkrit aturan pelaksanaan pemberlakuan restorative justice.

Kemudian lemahnya pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum dalam menerapkan restorative justice serta ketidakserapan restorative justice dikalangan masyarakat. Lalu sikap permisif masyarakat terhadap fenomena kenakalan remaja.

Kendala itu menjadi alasan tidak tercapai atau tidak berhasilnya penegakan hukum di Indonesia sesuai pandangan yang disampaikan oleh Lawrence M Friedman. Yaitu bahwa indikator berhasil atau tidak suatu penegakan dan sistem hukum disebabkan tiga hal.

Diantaranya substansi hukum atau UU yang diberlakukan, struktur hukum atau pranata/pelaksana hukum serta kultur hukum atau budaya hukum yang terdapat di masyarakat.

Dari ketiga hal tersebut dapat disimpulkan bahwa eksistensi restorative justice sebenarnya sudah sangat baik apabila hakikatnya sudah sejalan dengan tujuan pemidanaan yang secara filosofi dapat mewujudkan tujuan daripada hukum.

Yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang pada akhirnya manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat dengan berkurangnya tingkat kejahatan dilakukan oleh anak di Indonesia.

Yang terpenting dalam penerapannya adalah melakukan edukasi kepada masyarakat terkait syarat dan prosedur penerapan restorative justice pada sebuah kasus pidana dan pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan setelah proses mediasi dilakukan.

Perlu adanya substansi hukum yang mengakomodir pelaksanaan restorative justice secara lengkap sehingga proses penyelesaian kasus hukum tertentu dapat dilakukan melalui restorative justice yang lebih cepat, adil, sederhana dan tidak memakan waktu serta biaya besar. Diharapkan penegak hukum dapat melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dengan melibatkan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang secara optimal. (*)

Oleh: Fitria Ramadhani Siregar (Mahasiswi Doktor Ilmu Hukum USU)

PENGARUH globalisasi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak menjadi sebuah permasalahan serius di Indonesia. Dahulunya, kita hanya mendengar dengan istilah juvenile delinquency atau kenakalan remaja. Akan tetapi kenalakan anak tersebut menjadi poros meningkatnya kejahatan pidana.

Kejahatan yang dilakukan oleh anak bukan hanya menjadi permasalahan besar masyarakat Indonesia, bahkan telah menjadi isu global. Amerika Serikat melalui Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) Christopher A Wray mengungkap faktor penyebab peningkatan kejahatan remaja yaitu anak-anak yang tidak bersekolah akibat dari pandemi Covid-19. Faktor ini menyebabkan peningkatan antara lain penggunaan obat-obatan terlarang hingga kelompok geng bersenjata.

Amerika Serikat menjadi salah satu pioneer dalam penerapan restorative justice. Dimulai pada tahun 1970, proses Restorative justice berupa Victim Offender Mediation (VOM) telah diterapkan di Amerika bagian Utara.

Persamaan penerapan restorative justice di Indonesia dan Amerika Serikat berlaku untuk peradilan pidana dengan tindak pidana tertentu seperti tindak pidana ringan, kasus anak berhadapan dengan hukum dan untuk pelaku yang baru pertama kali berhadapan dengan hukum.

Namun ada pula perbedaan dalam restorative justice di dua negara tersebut. Diantaranya di Amerika Serikat memiliki banyak program dalam penerapan restorative justice. Sedangakan di Indonesia penerapannya masih sebatas mediasi dan penghentian tuntutan.

Kehadiran UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, mewajibkan penyelesaian perkara dengan mengedepankan prinsip restorative justice dengan proses diversi membuat anak semakin ‘manja’ dari segi konstitusi.

Maksudnya ‘manja’ ialah anak semakin percaya diri dan bangga dengan perbuatan yang dilakukan. Negara yang bersusah payah untuk melindungi kedudukan anak. Untuk itu negara, harus lebih ekstra memikirkan cara menanggulangi anak yang melakukan kejahatan.

Negara begitu yakin dengan restorative justice. Namun nyatanya eksistensi restorative justice dianggap kurang mampu mengurangi kejahatan anak.

Data Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat 2.302 kasus anak sebagai pelaku kejahatan. Dalam laporan tersebut, kasus yang paling banyak terjadi adalah pencurian dengan 838 kasus. Kemudian, narkoba dengan 341 kasus, penganiayaan 232 kasus dan pelanggaran hukum lain 491 kasus.

Sebanyak 48 anak di bawah umur bahkan tercatat menjadi pelaku pembunuhan. Kejahatan seperti pencabulan atau pelecehan hingga pemerkosaan juga marak terjadi, mencapai 199 kasus.

Apakah pendekatan restorative justice sebagai metode penyelesaian perkara anak sudah berjalan efektif? Apakah anak sebagai pelaku kejahatan yang sudah melanggar nilai dan moral dapat serta merta pulih dan mampu mengobati keresahan di masyarakat?

Kehadiran restorative justice sebagai bentuk pembaharuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum maksimal diterapkan. Hal ini disebabkan berbagai kendala. Diantaranya, tidak konkrit aturan pelaksanaan pemberlakuan restorative justice.

Kemudian lemahnya pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum dalam menerapkan restorative justice serta ketidakserapan restorative justice dikalangan masyarakat. Lalu sikap permisif masyarakat terhadap fenomena kenakalan remaja.

Kendala itu menjadi alasan tidak tercapai atau tidak berhasilnya penegakan hukum di Indonesia sesuai pandangan yang disampaikan oleh Lawrence M Friedman. Yaitu bahwa indikator berhasil atau tidak suatu penegakan dan sistem hukum disebabkan tiga hal.

Diantaranya substansi hukum atau UU yang diberlakukan, struktur hukum atau pranata/pelaksana hukum serta kultur hukum atau budaya hukum yang terdapat di masyarakat.

Dari ketiga hal tersebut dapat disimpulkan bahwa eksistensi restorative justice sebenarnya sudah sangat baik apabila hakikatnya sudah sejalan dengan tujuan pemidanaan yang secara filosofi dapat mewujudkan tujuan daripada hukum.

Yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang pada akhirnya manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat dengan berkurangnya tingkat kejahatan dilakukan oleh anak di Indonesia.

Yang terpenting dalam penerapannya adalah melakukan edukasi kepada masyarakat terkait syarat dan prosedur penerapan restorative justice pada sebuah kasus pidana dan pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan setelah proses mediasi dilakukan.

Perlu adanya substansi hukum yang mengakomodir pelaksanaan restorative justice secara lengkap sehingga proses penyelesaian kasus hukum tertentu dapat dilakukan melalui restorative justice yang lebih cepat, adil, sederhana dan tidak memakan waktu serta biaya besar. Diharapkan penegak hukum dapat melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dengan melibatkan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang secara optimal. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/