30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pasar Kaget Buka, Toko Modern Harus Tutup

Kiat Pemerintah Swiss Berdayakan Petani untuk Menjual Hasil Panen

Pemerintah Swiss memberikan fasilitas khusus kepada para petaninya. Dua hari dalam seminggu, petani di sana bebas menjual hasil panen di pusat-pusat keramaian kota. Pada hari yang sama, pusat perbelanjaan modern dilarang menjual hasil pertanian.

SAMSUDIN ADLAWI, Bern

Pada Jumat (18/5), saya tiba di Bern, ibu kota Swiss, setelah sejak 11 Mei lalu mengunjungi beberapa negara Eropa bersama pimpinan media di Jawa Pos Group. Sabtunya saya ‘beruntung’ karena bisa mengunjungi pasar kaget yang hanya buka pada Sabtu dan Selasa.

Tidak seperti di Indonesia, pasar kaget di Swiss cukup istimewa. Pasar itu khusus untuk petani. Dagangan yang dijual juga khusus. Hanya hasil ladang dan kebun. Mulai sayur-mayur, buah-buahan, bunga, sampai rempah-rempah.

Tempat pasar kagetnya tidak kalah khusus. Di jantung kota. Taman kota dan emperan-emperan pusat perbelanjaan. Pasar kaget itu buka pagi sampai tengah hari. Namun, para petani sudah berdatangan ke kota sejak dini hari. Misalnya, Sabtu kemarin.  Saat itu jarum jam baru menunjuk angka 04.00 waktu setempat. Suara gaduh di luar menembus kamar Briston Hotel, tempat saya dan rombongan menginap.

Penasaran ingin tahu asal suara gaduh, saya langsung beranjak dari tempat tidur,  lalu membuka jendela dan melongok ke luar. Tampak pemandangan yang tidak lazim. Setidaknya untuk ukuran negara setenar Swiss.

Tambah penasaran, saya segera turun menuju seberang Jalan Schauplasgasse, depan hotel. Tampak sejumlah petani sedang sibuk menurunkan hasil panennya dari mobil van dan mobil boks. Mobil itu didesain khusus untuk mengangkut hasil panen. Di dalamnya ada rak bertingkat untuk meletakkan hasil panen yang sudah ditaruh dalam kotak terbuka ukuran 50×50 cm. Dengan kemasan seperti itu, buah-buahan, sayur, dan bunga yang diangkut ke kota pun tidak rusak.

Selain hasil panen, petani juga menurunkan papan-papan untuk lapak. Dengan cepat, lapak-lapak itu sudah siap ditempati. Sebab, bentuknya knock down. Dalam sekejap, sayur-sayuran seperti brokoli, kol, kentang, wortel, bawang merah, bawang putih, bawang bombai, sawi, tomat, bawang pre, cabai,  sudah tersaji di lapak yang dipasang memanjang, sepanjang lorong depan jajaran puluhan supermarket.

Pemandangan serupa juga saya jumpai di kawasan elite tengah kota. Tepatnya di lapangan mini yang dikepung gedung Schweizerizche-National, Curi Confoederationis Helveticae, BEKB-BCBE, Credit Swisse, dan Banque Nasionale Suisse. Lapangan yang juga bisa difungsikan sebagai taman air muncrat itu dipenuhi hasil kebun dan ladang. Semua ditata rapi lengkap dengan harganya yang ditulis di kertas kecil. Misalnya, bunga clematis dijual seharga CHF (Swiss Franch) 2 atau begonia yang dibandrol CHF 1.30.

Para petani yang membuka pasar kaget di Bern kebanyakan berasal dari desa-desa sekitar. Di antaranya dari kawasan Uetligen dan Kirchlindah yang dikenal sebagai penghasil buah dan sayuran.

Pasar kaget bagi masyarakat Bern memang selalu dinanti. Tidak heran bila begitu pedagang selesai memajang dagangannya, masyarakat langsung menyerbu. Selain sayur dan buahnya masih fresh, harganya juga relatif  miring jika dibandingkan dengan harga di toko modern.

Apalagi, saat pasar kaget beroperasi, pusat perbelanjaan yang menjual semua hasil kebun dan ladang dilarang buka. “Satu-satunya tempat belanja buah, sayur, dan bunga ya hanya di pasar kaget,” kata Suresh, warga keturunan Srilanka yang tinggal di Swiss, sambil memilih sayuran yang akan dibelinya.
Larangan mal buka saat pasar kaget buka itu memang aturan yang ditetapkan pemerintah Swiss. “Kebijakan itu dimaksudkan untuk melindungi petani,” ujar Dubes RI untuk Swiss Djoko Susilo.

Sama seperti di Indonesia, kata Djoko, di Swiss juga berlaku aturan bahwa pusat perbelanjaan modern harus menampung 25 persen produk lokal. Terutama hasil pertanian dan ladang. Tapi, itu dinilai belum cukup efektif membantu petani dan peladang. Maka, dibuatlah aturan baru: pasar kaget produk pertanian buka setiap Sabtu dan Selasa. Agar program itu berjalan optimal, semua toko modern yang menjual hasil sawah dan ladang tidak boleh buka selama ada pasar kaget sampai pukul 13.00.

“Hasilnya, semua barang dagangan yang dijual di pasar kaget ludes diborong penduduk Swiss untuk perbekalan untuk lima hari ke depan,” kata Dubes yang mantan wartawan Jawa Pos itu.

Kiat pemerintah Swiss dalam memberdayakan petani itu menarik untuk dicontoh di Indonesia. Paling tidak untuk memberikan kemudahan kepada para petani memasarkan dagangannya setelah toko-toko modern bertebaran hingga ke pelosok-pelosok kampung. Kalau kebijakan tersebut diberlakukan, barangkali petani masih bisa menikmati hasil jerih payahnya. (*)

Kiat Pemerintah Swiss Berdayakan Petani untuk Menjual Hasil Panen

Pemerintah Swiss memberikan fasilitas khusus kepada para petaninya. Dua hari dalam seminggu, petani di sana bebas menjual hasil panen di pusat-pusat keramaian kota. Pada hari yang sama, pusat perbelanjaan modern dilarang menjual hasil pertanian.

SAMSUDIN ADLAWI, Bern

Pada Jumat (18/5), saya tiba di Bern, ibu kota Swiss, setelah sejak 11 Mei lalu mengunjungi beberapa negara Eropa bersama pimpinan media di Jawa Pos Group. Sabtunya saya ‘beruntung’ karena bisa mengunjungi pasar kaget yang hanya buka pada Sabtu dan Selasa.

Tidak seperti di Indonesia, pasar kaget di Swiss cukup istimewa. Pasar itu khusus untuk petani. Dagangan yang dijual juga khusus. Hanya hasil ladang dan kebun. Mulai sayur-mayur, buah-buahan, bunga, sampai rempah-rempah.

Tempat pasar kagetnya tidak kalah khusus. Di jantung kota. Taman kota dan emperan-emperan pusat perbelanjaan. Pasar kaget itu buka pagi sampai tengah hari. Namun, para petani sudah berdatangan ke kota sejak dini hari. Misalnya, Sabtu kemarin.  Saat itu jarum jam baru menunjuk angka 04.00 waktu setempat. Suara gaduh di luar menembus kamar Briston Hotel, tempat saya dan rombongan menginap.

Penasaran ingin tahu asal suara gaduh, saya langsung beranjak dari tempat tidur,  lalu membuka jendela dan melongok ke luar. Tampak pemandangan yang tidak lazim. Setidaknya untuk ukuran negara setenar Swiss.

Tambah penasaran, saya segera turun menuju seberang Jalan Schauplasgasse, depan hotel. Tampak sejumlah petani sedang sibuk menurunkan hasil panennya dari mobil van dan mobil boks. Mobil itu didesain khusus untuk mengangkut hasil panen. Di dalamnya ada rak bertingkat untuk meletakkan hasil panen yang sudah ditaruh dalam kotak terbuka ukuran 50×50 cm. Dengan kemasan seperti itu, buah-buahan, sayur, dan bunga yang diangkut ke kota pun tidak rusak.

Selain hasil panen, petani juga menurunkan papan-papan untuk lapak. Dengan cepat, lapak-lapak itu sudah siap ditempati. Sebab, bentuknya knock down. Dalam sekejap, sayur-sayuran seperti brokoli, kol, kentang, wortel, bawang merah, bawang putih, bawang bombai, sawi, tomat, bawang pre, cabai,  sudah tersaji di lapak yang dipasang memanjang, sepanjang lorong depan jajaran puluhan supermarket.

Pemandangan serupa juga saya jumpai di kawasan elite tengah kota. Tepatnya di lapangan mini yang dikepung gedung Schweizerizche-National, Curi Confoederationis Helveticae, BEKB-BCBE, Credit Swisse, dan Banque Nasionale Suisse. Lapangan yang juga bisa difungsikan sebagai taman air muncrat itu dipenuhi hasil kebun dan ladang. Semua ditata rapi lengkap dengan harganya yang ditulis di kertas kecil. Misalnya, bunga clematis dijual seharga CHF (Swiss Franch) 2 atau begonia yang dibandrol CHF 1.30.

Para petani yang membuka pasar kaget di Bern kebanyakan berasal dari desa-desa sekitar. Di antaranya dari kawasan Uetligen dan Kirchlindah yang dikenal sebagai penghasil buah dan sayuran.

Pasar kaget bagi masyarakat Bern memang selalu dinanti. Tidak heran bila begitu pedagang selesai memajang dagangannya, masyarakat langsung menyerbu. Selain sayur dan buahnya masih fresh, harganya juga relatif  miring jika dibandingkan dengan harga di toko modern.

Apalagi, saat pasar kaget beroperasi, pusat perbelanjaan yang menjual semua hasil kebun dan ladang dilarang buka. “Satu-satunya tempat belanja buah, sayur, dan bunga ya hanya di pasar kaget,” kata Suresh, warga keturunan Srilanka yang tinggal di Swiss, sambil memilih sayuran yang akan dibelinya.
Larangan mal buka saat pasar kaget buka itu memang aturan yang ditetapkan pemerintah Swiss. “Kebijakan itu dimaksudkan untuk melindungi petani,” ujar Dubes RI untuk Swiss Djoko Susilo.

Sama seperti di Indonesia, kata Djoko, di Swiss juga berlaku aturan bahwa pusat perbelanjaan modern harus menampung 25 persen produk lokal. Terutama hasil pertanian dan ladang. Tapi, itu dinilai belum cukup efektif membantu petani dan peladang. Maka, dibuatlah aturan baru: pasar kaget produk pertanian buka setiap Sabtu dan Selasa. Agar program itu berjalan optimal, semua toko modern yang menjual hasil sawah dan ladang tidak boleh buka selama ada pasar kaget sampai pukul 13.00.

“Hasilnya, semua barang dagangan yang dijual di pasar kaget ludes diborong penduduk Swiss untuk perbekalan untuk lima hari ke depan,” kata Dubes yang mantan wartawan Jawa Pos itu.

Kiat pemerintah Swiss dalam memberdayakan petani itu menarik untuk dicontoh di Indonesia. Paling tidak untuk memberikan kemudahan kepada para petani memasarkan dagangannya setelah toko-toko modern bertebaran hingga ke pelosok-pelosok kampung. Kalau kebijakan tersebut diberlakukan, barangkali petani masih bisa menikmati hasil jerih payahnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/