Cerpen T Agus Khaidir
[1]
SENJA menua. Dari balik jendela kafe di lantai 29 gedung yang nyaris seluruh dindingnya terbuat dari beling, Zainuddin memandang segenap pernik kota yang kelihatan kian muram. Cahaya yang terakhir telah lama menerobos jendela.
Hmm…, sebentar lagi kemeriahan di kafe tiba. Terompet.
Topi-topi kertas lucu. Topeng-topeng konyol. Tadi di pintu masuk seorang waitress menginformasikan malam ini akan ada pesta topeng? Waitress tersebut (manis, meski ada kawat di giginya) bertanyaapakahdiaberminatikutserta. Zainuddin ingat persis ia menolak dengan sinis. Pesta topeng? Bahkan ia tak datang ke sini untuk bersenang- senang! Senja yang remang diganti hitam berbalut genit terang listrik. Di bawah sana, para pekerja dan penganggur sama-sama merayap bagai migrasi semut.
Antrian kendaraan. Polisi lalu lintas. Papan-papan reklame yang menyemak.
Zainuddinmenataprutinitasitudenganperasaan gamang. Dadanya berdebar tak karuan. Ia memaksamelawanlupatapitakbisa.
Ah, waktuituDiakena ciprat air tebasan ban mobil yang melaju kencang.
Dia menghardik, lantas dengan emosi berlebih mengacungkan jari tengah ke udara. Dadanya yang sentosa masih naik turun saat mata mereka (tanpa sengaja) bersitatap. Lalu, bara kemarahan di wajahnya pelan-pelan menyusut, berganti senyum kecut. Iya, memang sesederhana itu awal riwayat. Hanya tatap, hanya senyum, dan sekarang Zainuddin duduk gelisah menunggunya di sini, di kafe yang terletak seratusan meter di atas tanah, yang kadang-kadang bergetar saat pesawat melintas di sisinya.
Zainuddin melirik arloji. Kenapa Dia belum datang juga? Dari panggung kecil di bagian lain kafe, sepotong kemeriahan bersiap-siap lahir. Lelaki berjas abu-abu duduk menghadap piano. Kulit legam, badan tambun yang di bagian perut sedikit membuncit, rambutnya gondrong keriting.
Lelaki itu memakai kacamata berbingkai tebal warna hitam tanpa kaca dengan rantai menjuntai diikat pada kedua gagangnya. Zainuddin seperti pernah mengenalnya. Tapi dimana? Setelah mengucap salam sekadar berbasa-basi, penyanyi itu melantunkan kalimat pertama yang langsung menyegarkan ingatan Zainuddin.
Aku bukan pengemis cinta….
Aih, ya-ya. Itulah dia. Tapi bagaimana mungkin? Dangdut? Di tempat seperti ini? Keheranannya tak lama. Zainuddin kembali pada kekesalan semula. Ke mana jahanam itu? Direguknya red wine yang sejak tadi tersia-sia di meja. Reguk berganti reguk dan Zainuddin mengutuk diri, kenapa ia kembali gagal untuk tak terlentingkedalamruang- ruangkenanganyangsungguh- sungguh ingin ia jadikan tak pernah ada.
[2]
SEKADAR tatap mata ternyata bisa amat menggoda.
Ketika itu menjelma malam yang lain, pada pertemuan entah keberapa. Satu warung kaki lima saja. Dua piring nasi goreng. Dua jus alpukat. Beberapa bungkus kerupuk.
“Kenapa kamu terus memandangi aku seperti itu?” “Entahlah.” “Jangan-jangan kamu mulai tertarik padaku?” “Mungkin. Tapi pastinya aku ingin kamu tahu, aku terangsang tiap kali dekat kamu.” “Hah?” “Kupikir aku memang harus berterus-terang.
Aku tak berhenti mengkhayal memelukmu sejak kita pertama kali bertemu senja itu. Ingin kutelusuri tiap jengkal tubuhmu. Kubayangkan setelah itu kujilat telingamu, kutiti tiap lekuk sisik naga yang kau rajah di punggungmu, dan setelah itu kamu memejamkan mata sambil bergumam kamu juga ingin melakukan apa yang ingin kulakukan dalam pikiranku.” Entah siapa tipu siapa, waktu kemudian seperti berjalan penuh selera dan mereka acap bercinta membabi buta dalam kealpaan semesta. Seorang laki-laki yang sungguh-sungguh jantan selalu dapat menangkap sinyal sekecil apa pun dari seorang perempuan yang betul-betul betina.
Sampai di satu malam jahanam lain, tiba-tiba dilontarnya pertanyaan menohok.
“Jadi kita akan terus-menerus seperti ini, ya?” “Maksud kamu?” “Masak nggak ngerti, sih! Aku ingin hubungan yang konkret. Nikahi aku!” “Nikah? Suami kamu bagaimana?”
[3]
Zainuddin merutuki dirinya ketika sadar telah jatuh lagi dalam pelukan perempuan. Pada anggapannya, memang ia yang jatuh, bukan mereka.
Bukan juga Dia, tentu saja. Zainuddin tak habis mengertimengapaiatakdapatmenahandiri untuk tidak membuat perempuan-perempuan itu menyerahkan diri sepenuhnya? Mengapa ia selalu lupa untuk tak menyambut hasrat mereka? Tapi lelaki mana pula yang dapat bertahan di hadapan perempuan-perempuan yang tanpa mereka perlu menggoda sekali pun sudah tampak menggoda? Khususnya Dia. Iya, khususnya Dia.
Beberapa teman sebenarnya sudah mengingatkan.
Mereka mempersamakan Dia dengan Nesia, perempuan racun yang hanya lewat kata-kata mampu memaksa Panji Tengkorak bertahuntahun menyeret peti berisi mayatnya.
Zainuddin terbahak ketika itu. Disebutnya mereka sebagai pengkhayal payah yang begitu mudah diperdaya Hans Jaladara. Tak ada Panji Tengkorak! Tak ada Nesia! Mereka cuma hidup di lembaran komik usang. Kini ia tak lagi tertawa. Ia terjebak.
Dalam kepasrahannya yang mencengangkan, Dia kian sering mendesaknya melakukan hal yang selama ini paling ia takuti.
[4]
IA tak akan pernah lupa! Sosok itu bersandar di pintu. Tangannya bersidekap. Rambut, kumis, cambang, janggut, bahkan alisnya putih dan serba panjang. Celananya dari kain gelap ukuran panjang 3/4, pakai iket lepas, tapi bajunya mirip koko Ustad Jefry Al Buchhori.
“Namaku Awang. Lantaran kau sepantaran cucuku, bolehlah kau panggil aku Tok Awang. Sini, kusampaikan padamu satu rahasia,” katanya.
Ujung-ujung tangannya serasa beku. Tahulah ia sekarang, kemampuan menaklukkan perempuan yang selama ini membikin iri lelaki sepenjuru kampung memang bukan kemampuan biasa. Kemampuan itu bakat. Lebih tepat lagi, bakat turunan yang muncul lewat satu kutukan ilmu pengasih. Dan menurut Tok Awang, hanya garis keturunan keempatdariistripertamayangketibanpetakabertopeng bakat ini. “Tapi kau bisa menghentikannya.” Secercah semangat Zainuddin menyeruak.
“Bagaimana caranya, Tok?” “Jangan pernah kau menikah! Sekadar bercinta tak apa. Kalau perempuan yang kau menikahi hamil, harus secepat kau menikah lagi. Itulah caranya! Jika tidak kutukan balik menyerangmu. Kelaki- lakianmu habis sedikit demi sedikit. Persis kayu dimakan rayap!”
[5]
SEJAUH ini Zainuddin sudah dua kali melakukan kesalahan. Anamira, penyanyi kelab malam, dia nikahi 18 Oktober 1991. Lima bulan berselang Jessica lahir. Mereka bercerai saat Jessica dua tahun.
Anamira menuntut hak asuh. Zainuddin tak keberatan.
Ia menandatangani surat perjanjian bersedia mengongkosi seluruh keperluan Jessica hingga tamat perguruan tinggi.
Lalu datang Anabella. Rekan sekerja Zainuddin ini suatu malam mengundangnya makan nasi goreng bumbu Eropa yang baru ia pelajari dari internet.
Entah bagaimana makan malam itu berlanjut ke kamar tidur. Zainuddin semula menolak tapi Anabellamemberinyajaminan.“Setelahmalamini kita lupakan semuanya. Anggap tak pernah terjadi.
Kamu tidak perlu khawatir. Aku mandul. Karena itu suamiku menggugat cerai,” katanya.
Nyatanya Anabella hamil juga. Ajaib, seru perempuanitusaat menyampaikan kabar pada Zainuddin.
Juni, penanggalan ke 7 tahun 1996, Zainuddin jadi suami lagi. Sumpah, jauh dalam hatinya, Zainuddin ingin menganggap ucapan Tok Awang lelucon belaka. Sungguh ia sangat ingin tak percaya.
Manalah mungkin sekarang masih ada kutukan macamdizamanMalinKundang? Tapimengambil resiko sumpah mati ia tak berani.
[6]
MEREKA bertemu lagi minggu berikut. Taman kota tempat remaja memadu cinta, yang di balik pagarnya sesak berjajar pedagang kaki lima, Dua piringSiomay. Duabotol soft drink. Sampaimatahari meredup, sampai lampu-lampu jalan, lampu etalase, dan lampu taman menyala, dan seluruh pesanan lumat dalam perut, mereka masih membisu.
“Kenapa diam? Kamu bilang tadi mau bicara?” Akhirnya ia memecah hening.
“Aku cuma mau tanya?” “Tanya apa?” “Arti aku untuk kamu?” “Seperti anak ingusan saja. Apa aku perlu menjawab?” Percakapan terputus. Ponsel memekik-pekik.
Dia menyahut panggilan dengan santai, lalu bicara dengan kalimat separuh bahasa Inggris separuh Indonesia. Kebanyakan makian yang sering dicelotehkan dalam hip hop. Tiap kali memaki, dia tertawa-tawa sendiri. Setelah hubungan terputus, Dia kembali serius.
“Iya, kamu harus jawab,” katanya menyambung cakap.
“Untuk apa? Macam-macam saja.” “ Ini penting!” “Kamu tahu kamu berarti betul bagiku.” “Persoalannya bukan berarti atau tidak.” “Lantas?” “Soal perasaan. Aku mau kamu jujur, seperti apa perasaan kamu padaku?” Malam kian pekat. Dari kejauhan cahaya lampu gedung bertingkat bekemerlipan bagai gerak terbang kunang-kunang. Cahaya aneka warna menyiram jalanan. Di bangku taman, tubuh mereka tinggal siluet.
“Katakan kau cinta aku.” “Aku cinta kamu.” “Kapan kita nikah?” “Kamu hamil, ya?” Dia mendelik. Lalu terbahak. “Hahaha. Tidak, Sayang. Tak mungkin. Aku terlindungi dan kamu juga begitu, kan? Kita tuntut negara ini kalau aku sampai hamil.” “Lantas kenapa kamu ngotot begitu? “Kita tak bisa begini-begini terus.” “Begini-begini bagaimana? “Kita harus kawin.” “Kamu kan masih punya suami. Kamu sendiri bilang kalau kamu juga masih cinta dia.” “Ngawur kamu. Aku nggak pernah cinta sama dia.” “Bah, Tak cinta kenapa nikah?” “Terpaksa.” “Terpaksa bagaimana?” “Ya, terpaksa.” “Terpaksa, kok, sampai sekarang masih bersama?” “Aku akan meninggalkannya. Segera! Sumpah!” “Bukan itu pertanyaanku.” “ Aku masih butuh dia.” “ Dalam pengertian seperti apa?” “Akan kujelaskan semuanya, Sayangku. Semua.
Tapi tidak sekarang, belum sekarang.”
[7]
HARI sepenuhnya malam. Jhonny Iskandar gadungan masih di atas panggung, berjoget dengan penonton-penonton bertopi kertas dan topeng konyol. Suara terompet menyela pula di antara Dangdut. Zainuddin menghempas nafas.
Kesalnya memuncak. Kemana Dia? Tidak, Dia tidak boleh tak datang. Malam ini segenap kekacauan harus diakhiri. Ia sudah menyiapkan rencana matang. Rencana yang hampir pasti tak akan gagal.
Medan, Desember 2011-April 2012