JAKARTA- Tren warga yang punya kantong tebal lebih memilih berobat ke luar negeri, bukan hanya fenomena di Medan. Namun, sudah menjadi fenomena nasional.
“Saya kira bukan hanya di Medan, tapi secara nasional seperti itu. Orang kaya lebih memilih berobat ke Penang dan Singapura,” ujar Sekjen Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (Perdalin), Dr Latre Buntaran, Sp-MK, kepada koran ini di Jakarta, kemarin (25/6).
Dokter yang juga menjabat Kepala Departemen Mikrobiologi RSAB Harapan Kita, Jakarta, itu menyebut sejumlah penyebab warga Indonesia barkantong tebal lebih suka berobat ke luar negeri.
Pertama, menyangkut karakter dokter di Indonesia secara umum. Menurut Latre, kebanyakan dokter di Indonesia sombong, merasa dibutuhkan, dan sangat sedikit yang punya jiwa melayani.
“Hambatan utamanya pada manusianya. Egonya yang super, merasa paling pintar, merasa diperlukan, sehingga pasien merasa hanya menjadi obyek saja,” ujar Latre, yang juga Ketua Komite Pengendalian Infeksi RS Siloam Graha Medika ini.
Menurut Latre, seorang yang sedang sakit mestinya dihadapi dengan rasa kasih, penih empati. “Kebanyakan (dokter Indonesia, red) tidak punya empati, hanya mempertonjolkan soal biaya, tak bisa masuk ke sisi penyakit yang diderita pasien. Padahal masalah empati ini sangat penting,” kritik tajam Latre.
Kedua menyangkut soal service. Pemicu kedua ini juga berkaitan dengan pemicu yang pertama. Tatkala sudah tak ada empati, maka service dipastikan akan buruk. “Service makin parah jika fasilitas tak memadai,” ujarnya.
Sudah fasilitas buruk, dokternya pun sombong, disebutnya sebagai faktor utama pemicu pasien berkantong tebal malas berobat di RS yang ada di dalam negeri. “Ketika service tak manusiawi, tak ramah, maka pasien lebih suka ke luar negeri. Kalau soal kepintaran, dokter di dalam negeri tak kalah pintar,” cetusnya.
Ketiga, masih kata Latre, adalah soal kepastian tarif berobat. Dia mengatakan, pengobatan di RS di Indonesia sulit diprediksi berapa besarannya. Seringkali, pasien menjadi terkaget-kaget mendapat tagihan pembayaran.
Sementara, menurut Latre, RS-RS di Penang dan Singapura, pelayanannya bagus dan biaya sudah bisa diestimasi sejak awal. “Dari awal sudah bisa diperkirakan costnya kalau di Penang dan Singapura. Kalau di kita tak bisa diperkirakan,” imbuh Latre.
Terakhir, keempat, adalah soal ketepatan waktu dan ketepatan diagnosa. Sudah sering dikeluhkan pasien di RS dalam negeri, terutama RS plat merah, pasien bisa hingga berhari-hari tak disentuh dokter. Ini berbeda dengan RS di Penang dan Singapura, yang menurut Latre, penanganan pasien dilakukan secara tepat waktu, sebagai bagian dari service.
Dia yakin, jika sejumlah hal tersebut bisa dibenahi, secara lamban laun pasien berduit akan merasa nyaman berobat di RS dalam negeri. “Benahi service, empati, estimasi cost, ketepatan waktu dan diagnosa, pastilah (pasien, red) tak lari ke mana,” kata Latre.
Diakui, masalah ini sudah menjadi bahan perbincangan di kalangan dokter di Indonesia. Dia pun yakin, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mencari solusi persoalan ini. “Karena ini sudah menjadi pembahasan di Indonesia,” ujarnya.
Akankah upaya perbaikan akan mencapai hasil? Latre pesimistis bisa tercapai dalam waktu dekat. “Karena hambatan utama ada di faktor manusianya (dokternya, red),” pungkas Latre.
Pernyataan Latre menanggapi DR dr Umar Zein DTM&H SpPd KPTI, yang menyebut banyak warga Mefan lebih nyaman untuk berobat ke Malaysia ataupun Singapura.
Menurut mantan Direktur Utama dr Pirngadi tersebut, apa yang membuat dokter di Medan melakukan hal itu disebabkan oleh beberapa faktor. Selain tidak mampu membentuk tim ahli untuk penanganan medis seorang pasien, tim medis di Indonesia khususnya Medan pun lebih banyak teori dalam pengambilan langkah medis.
Selain itu, kata Umar, peralatan medis juga serba tanggung serta tidak didukung oleh pemerintah meskipun memiliki dana adalah beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya kepercayaan masyarakat untuk berobat di negaranya.
Pemicu lain, bilang Umar, rumah sakit di Medan, hanya berkutat untuk mengobati orang miskin saja, namun itupun belum bisa optimal. Hal itulah yang menyebabkan banyak dokter di Medan tidak percaya dengan rumah sakitnya. Bahkan ada yang menganjurkan pasiennya untuk ke luar negeri saja.
Medan Perlu RS Unggulan
Terkait tren warga berobat ke luar negeri, anggota komisi B DPRD Medan yang membidangi kesehatan, Bahrumsah, meminta agar para pimpinan rumah sakit —baik swasta maupun milik pemerintah— untuk berbenah dan memperbaiki diri. Khususnya persoalan pelayanan yang selama ini masih jauh dari harapan masyarakat.
“Jika kita tidak ingin tertinggal, kita harus segera berbenah baik dari segi sarana dan prasarana dalam upaya peningkatan kualitas,” ucap Bahrumsah, Senin (25/6).
Salah satu langkah yang bisa dilakukan, menurutnya, dengan membangun sebuah rumah sakit unggulan, kerja sama pemerintah dan swasta.
“RS swasta dan RS pemerintah perlu memiliki vis dan link (hubungan) yang baik untuk membangun rumah sakit unggulan. Kita bisa dorong APBD agar rumah sakit unggulan dengan alat-alat medis yang mengikuti teknologi dan tim ahli profesional bisa terpenuhi ,”sebutnya.
Selain ketersediaan teknologi medis, menurut Bahrumsah, tenaga ahli profesional juga harus tersedia.
Menanggapi ide Bahrumsah, pimpinan RS swasta Sari Mutiara Medan, dr Tuahman Purba, mengatakan, impian membangun sebuah rumah sakit unggulan di Medan masih terlalu jauh. Apalagi harus melibatkan rumah sakit swasta dan milik pemerintah.
“Banyak faktor pendukung kenapa masyarakat memilih berobat ke luar negeri. Di antaranya ada kepastian hukum dan kenyamanan oleh pengelola rumah sakit luar negeri. Pemerintah Malaysia misalny,a memberikan kontribusi dengan membangun sistem kepercayaan terhadap masyarakat. Setelah itu, mereka melakukan promosi dengan janji tinggi dibarengi dengan tanggungjawab dan sebuah pembuktian. Ini yang tidak bisa kita lakukan,” ujarnya
Sebenarnya, kata Tuahman, pelayanan rumah sakit swasta di Medan sudah maksimal dan baik. Adapun jumlah pasien yang berobat ke luar negeri hanya segelintir dibanding jumlah pasien lokal yang berobat di rumah sakit swasta lokal. “Bahkan pasien yang berobat ke luar negeri terkadang tidak memahami jenis penyakit yang dialaminya, dan hanya dimanfaatkan sebagai praktik bisnis saja,” tuturnya.
Saat ini bilang Tuahman, yang perlu dilakukan para pengelola rumah sakit, yakni tinggal membangun kepercayaan masyarakat saja. “Kini perlu ada sosialisasi yang berkelanjutan untuk membangun sistem kepercayaan ini. Karena kita akui, untuk penyakit tertentu kita masih kurang pemahaman dalam mendiagnosa. Hal-hal seperti inilah yang harusnya dibenahi,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur RSUD dr Pirngadi Medan, dr Amran Lubis. Menurutnya, kepercayaan merupakan hal utama dalam membangun sistem pelayanan sebuah rumah sakit, . “Jika anda menjual produk, anda harus bisa membuktikan jika produk anda baik. Ini disebut konsep pelayanan nyata berbasis bukti,”sebutnya.
Menurutnya, sebuah rumah sakit akan bisa bersaing jika mendapatkan dukungan eksternal. Apalagi dukungan dari pihak swasta, dengan konsep bisnis yang jelas atau memiliki konsep private hospital.
Sementara rumah sakit pemerintah, meskipun menggunakan konsep bisnis, lewat Badan Layanan Umumnya (BLU) dengan pengelolaan keuangan sendiri di bawah sebuah pengawasan, namun tetap bersifat nirlaba atau tidak mencari keuntungan. “Saat ini sasaran bisnis rumah sakit pemerintah adalah masyrakat ekonomi menengah ke bawah, untuk mengarah kepada ekonomi menengah ke atas inilah yang tengah dipersiapkan oleh RS Pirngadi kedepannya,”sebut Amran.
Hal ini bisa direalisasikan sesuai dengan implementasi dari sistem jaringan sosial nasional (SJSN). “Sehingga ke depannya kita akan berupaya membangun private wing atau subsidi silang. Sehingga dengan langkah ini kita tidak hanya fokus untuk pasien menengah ke bawah saja namun sudah mulai mengarah ke menengah ke atas juga,”ucap Amran. (sam/uma)