26.7 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Seribuan Tenda Biru Berdiri di Areal Perbukitan

Foto: dame ambarita/SUMUT POS TENDA BIRU: Ratusan tenda biru terlihat di areal perbukitan hijau Hutabargot, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.
Foto: dame ambarita/SUMUT POS
TENDA BIRU: Ratusan tenda biru terlihat di areal perbukitan hijau Hutabargot, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.

Tenda–tenda plastik berwarna biru itu terlihat jelas di areal perbukitan hijau Hutabargot, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal. Jumlahnya diperkirakan mencapai 1.000-an tenda. Tenda-tenda itu adalah tempat tinggal para penambang emas liar dan para portirnya, selama mereka berburu bijih emas di areal hutan.

Dame Ambarita, Panyabungan

Menumpang helikopter yang dikemudikan pilot asal Selandia Baru, Philip Bell, Sumut Pos bersama empat wartawan lainnya berkesempatan mengintip aktivitas penambangan emas liar di wilayah Hutabargot, Madina, hari Minggu (24/6) dua hari lalu. Dari atas pebukitan dengan ketinggian sekitar 1-2 km, tenda-tenda plastik biru itu benar-benar mencolok mata.

Posisi tenda-tenda biru itu di tersebar di beberapa titik. Banyak yang berdiri di areal dengan kemiringan hingga 75 derajat. Ada beberapa kelompok besar hingga 100- an tenda  di satu lokasi, sebagian lainnya tersebar dalam jumlah 4-10 tenda.

Informasi dihimpun dari pilot heli dan dibenarkan oleh sejumlah pengamat penambangan liar di Madina, sedikitnya 2.000-an orang terlibat dalam penambangan emas liar di areal pegunungan Panyabungan. Mereka tersebar di Kecamatan Hutabargot dan Nagajuang.

“Dalam satu tenda sekitar 10-15 orang. Mereka bekerja sebagai penambang, portir (tenaga pelangsir batu), dan pengecek material batu. Ada juga pengurus logistik,” kata Pak Nur, pengamat penambangan liar di Panyabungan.

Para pelaksana tambang, yakni orang yang masuk ke tanah dan menggali bijih mas, umumnya datang dari Pulau Jawa. Ada dari Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor, Lebak, Bengkulu, dan lain-lain. Mereka adalah para mantan penambang di daerahnya, sebagian mantan karyawan Antam (Anek tambang, BUMN), mantan karyawan Inalum, dan lainnya.

“Orang lokal umumnya pemilik lubang (lubang tambang), atau sebagai portir (tenaga pelangsir) dan urusan logistik,” katanya.

Para penambang biasanya naik gunung pada Senin subuh, dan turun ke kota pada Jumat sore. Dari kaki bukit ke atas gunung, mereka harus jalan kaki mendaki sambil membawa perbekalan. Jaraknya diperkirakan 10-20 kilometer ke lokasi penambangan liar.

Berbekal peralatan seadanya, mereka masuk ke perut bumi, hingga kedalaman 100 meter. Jika beruntung, di kedalaman 10 meter pun mereka sudah memperoleh biji emas. Namun ada yang harus menggali puluhan meter, tidak juga memperoleh apa yang dicari.

“Modal untuk membuka satu lubang bisa mencapai Rp60 juta hingga Rp100 juta. Tak semua pemilik lubang beruntung. Ada yang bangkrut, karena sudah membiayai penggalian selama berminggu-berminggu, tak juga memperoleh apa-apa,” cetus Pak Nur.

Penggali yang sudah berpengalaman, bisa mengenal jalur bijih emas di dalam tanah. Karena alur bebatuan yang mengandung bijih mas memang biasanya ada alurnya seperti akar. “Dan bisa dilihat secara kasat mata,” kata Pak Nur yang cukup ahli di bidang pertambangan ini.

Namanya penggalian liar dan tradisional, para penambang umumnya tidak dibekali pengamanan yang cukup. Berbekal penyangga lubang seadanya, mereka masuk ke perut bumi melakukan penggalian. Tak heran, kebanyakan di antara mereka memasukkan unsur mistik dalam penggalian.

“Para penambang biasanya menyediakan sesajen yang dimasukkan ke dalam lubang. Bisa apel jin, kemenyan, darah ayam, dan sebagainya,” kata F Rangkuti, warga Panyabungan yang sejak awal mengamati kegiatan  penambangan liar di Hutabargot.

Jika lubang tak menghasilkan apa-apa, ’orang pintar’ bicara. Hasilnya, sesajen masuk lubang.

“Kalau ’penghuni’ lubang minta darah manusia, tidak pernah dikasih. Tapi dipercaya, para penggali sering menjadi tumbal. Diperkirakan, penambang yang tewas tertimbun mencapai 100-an orang selama dua tahun terakhir. Namun selalu ditutupi para pemilik lubang dan penambang itu sendiri. Karena jika dipublikasi, akan merugikan mereka sendiri. Aktivitas mereka pasti akan ditertibkan,” kata Rangkuti. (bersambung)

Foto: dame ambarita/SUMUT POS TENDA BIRU: Ratusan tenda biru terlihat di areal perbukitan hijau Hutabargot, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.
Foto: dame ambarita/SUMUT POS
TENDA BIRU: Ratusan tenda biru terlihat di areal perbukitan hijau Hutabargot, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal.

Tenda–tenda plastik berwarna biru itu terlihat jelas di areal perbukitan hijau Hutabargot, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal. Jumlahnya diperkirakan mencapai 1.000-an tenda. Tenda-tenda itu adalah tempat tinggal para penambang emas liar dan para portirnya, selama mereka berburu bijih emas di areal hutan.

Dame Ambarita, Panyabungan

Menumpang helikopter yang dikemudikan pilot asal Selandia Baru, Philip Bell, Sumut Pos bersama empat wartawan lainnya berkesempatan mengintip aktivitas penambangan emas liar di wilayah Hutabargot, Madina, hari Minggu (24/6) dua hari lalu. Dari atas pebukitan dengan ketinggian sekitar 1-2 km, tenda-tenda plastik biru itu benar-benar mencolok mata.

Posisi tenda-tenda biru itu di tersebar di beberapa titik. Banyak yang berdiri di areal dengan kemiringan hingga 75 derajat. Ada beberapa kelompok besar hingga 100- an tenda  di satu lokasi, sebagian lainnya tersebar dalam jumlah 4-10 tenda.

Informasi dihimpun dari pilot heli dan dibenarkan oleh sejumlah pengamat penambangan liar di Madina, sedikitnya 2.000-an orang terlibat dalam penambangan emas liar di areal pegunungan Panyabungan. Mereka tersebar di Kecamatan Hutabargot dan Nagajuang.

“Dalam satu tenda sekitar 10-15 orang. Mereka bekerja sebagai penambang, portir (tenaga pelangsir batu), dan pengecek material batu. Ada juga pengurus logistik,” kata Pak Nur, pengamat penambangan liar di Panyabungan.

Para pelaksana tambang, yakni orang yang masuk ke tanah dan menggali bijih mas, umumnya datang dari Pulau Jawa. Ada dari Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor, Lebak, Bengkulu, dan lain-lain. Mereka adalah para mantan penambang di daerahnya, sebagian mantan karyawan Antam (Anek tambang, BUMN), mantan karyawan Inalum, dan lainnya.

“Orang lokal umumnya pemilik lubang (lubang tambang), atau sebagai portir (tenaga pelangsir) dan urusan logistik,” katanya.

Para penambang biasanya naik gunung pada Senin subuh, dan turun ke kota pada Jumat sore. Dari kaki bukit ke atas gunung, mereka harus jalan kaki mendaki sambil membawa perbekalan. Jaraknya diperkirakan 10-20 kilometer ke lokasi penambangan liar.

Berbekal peralatan seadanya, mereka masuk ke perut bumi, hingga kedalaman 100 meter. Jika beruntung, di kedalaman 10 meter pun mereka sudah memperoleh biji emas. Namun ada yang harus menggali puluhan meter, tidak juga memperoleh apa yang dicari.

“Modal untuk membuka satu lubang bisa mencapai Rp60 juta hingga Rp100 juta. Tak semua pemilik lubang beruntung. Ada yang bangkrut, karena sudah membiayai penggalian selama berminggu-berminggu, tak juga memperoleh apa-apa,” cetus Pak Nur.

Penggali yang sudah berpengalaman, bisa mengenal jalur bijih emas di dalam tanah. Karena alur bebatuan yang mengandung bijih mas memang biasanya ada alurnya seperti akar. “Dan bisa dilihat secara kasat mata,” kata Pak Nur yang cukup ahli di bidang pertambangan ini.

Namanya penggalian liar dan tradisional, para penambang umumnya tidak dibekali pengamanan yang cukup. Berbekal penyangga lubang seadanya, mereka masuk ke perut bumi melakukan penggalian. Tak heran, kebanyakan di antara mereka memasukkan unsur mistik dalam penggalian.

“Para penambang biasanya menyediakan sesajen yang dimasukkan ke dalam lubang. Bisa apel jin, kemenyan, darah ayam, dan sebagainya,” kata F Rangkuti, warga Panyabungan yang sejak awal mengamati kegiatan  penambangan liar di Hutabargot.

Jika lubang tak menghasilkan apa-apa, ’orang pintar’ bicara. Hasilnya, sesajen masuk lubang.

“Kalau ’penghuni’ lubang minta darah manusia, tidak pernah dikasih. Tapi dipercaya, para penggali sering menjadi tumbal. Diperkirakan, penambang yang tewas tertimbun mencapai 100-an orang selama dua tahun terakhir. Namun selalu ditutupi para pemilik lubang dan penambang itu sendiri. Karena jika dipublikasi, akan merugikan mereka sendiri. Aktivitas mereka pasti akan ditertibkan,” kata Rangkuti. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/