28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Batman Juga Manusia, Semua Bisa jadi Superhero

Marketing Series (1)

Oleh: Hermawan Kartajaya

Anda sudah menonton The Dark Knight Rises? Terus terang, saya me-review kembali Batman Begins dan The Dark Knight setelah ada penembakan brutal saat diputar midnight show seri penutup Batman-nya Christopher Nolan itu.

Saya ingin tahu, kenapa sih kok ada orang segila James Eagan Holmes yang masih berusia 24 tahun hingga tega menembaki orang yang sedang asyik nonton film?

Tampaknya, saya menemukan jawabannya dalam Batman 2. Heath Ledger sendiri mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai peran sebagai The Joker yang merupakan musuh berat Batman. Dia mendapat lebih dari 30 penghargaan untuk karakter yang menakutkan dan menjijikkan tersebut. Dan karena peran yang dijiwai itulah, The Dark Knight memecahkan rekor box-office pada 2008.

Ironisnya, Heath meninggal beberapa bulan kemudian dan diduga kuat karena bunuh diri. Christian Bale, si Batman, sangat berduka atas kematian lawan mainnya yang dia puji sebagai aktor hebat tersebut.

James, si jagal manusia nan sadis itu, konon juga sangat terinspirasi The Joker yang begitu gigih melawan seorang superhero.
Mungkin saja masih ada James-James lain di antara penonton Batman 2 selain yang mengidolakan segala macam aksi dan peralatannya. Bukankah manusia selalu punya sisi gelap alias the dark side yang bisa diredam dengan aturan-aturan dalam agama, norma-norma sosial, hukum, dan kontrol sosial lain supaya tidak menjadi aksi negatif?

Christopher Nolan berhasil melakukan Batman Revival karena, terutama dalam Batman 1, menggambarkan bahwa seorang superhero itu ya asalnya dari manusia biasa.

Bruce Wayne adalah bocah anak keluarga billionaire yang tidak bisa tinggal diam melihat kejahatan, ketidakadilan, serta praktik-praktik korupsi di Gotham City. Sebelum menjadi Batman, Bruce Wayne pun harus menghilangkan ketakutannya. Sangat manusiawi bukan?

Bahkan, dalam Batman 2, Bruce juga bisa jatuh cinta, patah hati, serta putus asa. Sang sutradara sukses membuat penonton jadi care terhadap superhero Batman dan Bruce Wayne dengan human spirit-nya. Penonton tidak hanya dibikin kagum, tapi juga sayang bahkan peduli kepada dua tokoh fiktif itu.
Karakter superhero masuk dalam Bruce Wayne, sedangkan human-spirit Bruce masuk ke dalam Batman. Di sisi lain yang negatif, tentu saja karakter Joker masuk ke Heath Ledger dan human-spirit Heath masuk ke Joker.

Dalam Batman 3, Bruce yang sudah pensiun dan bahkan harus memakai tongkat selama delapan tahun terpaksa menjadi superhero lagi ketika ada teroris Bane. Yang tak kalah menarik adalah adegan akhir Batman 3. Bruce, kayaknya, mau pensiun dan berpacaran sama si Selina Kyle.
Sementara itu, polisi muda John Blake yang diperankan Joseph Gordon-Levitt tertarik menjadi Batman.
Wow, lantas, kesimpulan trilogi Nolan ini?

Semua orang bisa jadi Batman!

Inti buku kelima saya dengan Profesor Philip Kotler dan Iwan Setiawan terbitan John Wiley adalah Marketing 3.0: From Product to Customer to Human-Spirit. Konsep yang saya kembangkan di MarkPlus Inc mulai lima tahun lalu selalu mengingatkan para marketer bahwa dunia senantiasa terus bergeser.
Kalau Batman hanya dibuat untuk menyenangkan penonton sebagai customer dengan menampilkan adegan-adegan heroik, ribut, dan mendebarkan, nanti pasti tak laku keras lagi.

Saya sendiri mulai memikirkan konsep buku saya yang sekarang sudah diterjemahkan ke dalam 23 bahasa itu, ketika umur saya menjelang 60 tahun kira-kira lima tahun yang lalu. Sejak menjadi best-seller, saya langsung pontang-panting melayani undangan untuk berbicara tentang konsep tersebut hingga ke berbagai kota di luar negeri.

Kini sudah ada museum Marketing 3.0 di kompleks museum Puri Lukisan di Ubud, Bali, atas kebaikan keluarga Kerajaan Ubud. Diresmikan oleh tiga Tjokorda dari Puri Ubud pas hari ulang tahun ke-80 Profesor Philip Kotler pada 27 Mei 2011.

Tentunya, baik dalam buku maupun museum, tidak ada contoh Batman sebagai Film 3.0 yang sukses besar, termasuk segala macam kontroversinya. Artinya, brand apa pun, apakah itu brand sebuah produk atau korporasi, juga harus jadi “manusia” dengan spiritnya seperti Batman-nya Nolan.
Kalau Batman saja bisa menjadi manusia biasa dan manusia biasa bisa menjadi Batman, kenapa sebuah brand tak bisa” Itu bertujuan agar brand bisa dipedulikan customer.

Nah, kalau itu sudah terjadi, sebuah brand pasti akan sukses. Hal itu memang sangat berbeda bahkan sering bertentangan dengan konsep pemasaran tradisional.

Tapi, buktinya, sebagai konsep, ia diterima di berbagai belahan dunia. Itu juga membuktikan bahwa era internet yang menggila sekarang ini memang telah mengubah customer, mengubah peta persaingan dan akhirnya mengubah marketing itu sendiri. Bagaimana pendapat Anda? (*)

Marketing Series (1)

Oleh: Hermawan Kartajaya

Anda sudah menonton The Dark Knight Rises? Terus terang, saya me-review kembali Batman Begins dan The Dark Knight setelah ada penembakan brutal saat diputar midnight show seri penutup Batman-nya Christopher Nolan itu.

Saya ingin tahu, kenapa sih kok ada orang segila James Eagan Holmes yang masih berusia 24 tahun hingga tega menembaki orang yang sedang asyik nonton film?

Tampaknya, saya menemukan jawabannya dalam Batman 2. Heath Ledger sendiri mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai peran sebagai The Joker yang merupakan musuh berat Batman. Dia mendapat lebih dari 30 penghargaan untuk karakter yang menakutkan dan menjijikkan tersebut. Dan karena peran yang dijiwai itulah, The Dark Knight memecahkan rekor box-office pada 2008.

Ironisnya, Heath meninggal beberapa bulan kemudian dan diduga kuat karena bunuh diri. Christian Bale, si Batman, sangat berduka atas kematian lawan mainnya yang dia puji sebagai aktor hebat tersebut.

James, si jagal manusia nan sadis itu, konon juga sangat terinspirasi The Joker yang begitu gigih melawan seorang superhero.
Mungkin saja masih ada James-James lain di antara penonton Batman 2 selain yang mengidolakan segala macam aksi dan peralatannya. Bukankah manusia selalu punya sisi gelap alias the dark side yang bisa diredam dengan aturan-aturan dalam agama, norma-norma sosial, hukum, dan kontrol sosial lain supaya tidak menjadi aksi negatif?

Christopher Nolan berhasil melakukan Batman Revival karena, terutama dalam Batman 1, menggambarkan bahwa seorang superhero itu ya asalnya dari manusia biasa.

Bruce Wayne adalah bocah anak keluarga billionaire yang tidak bisa tinggal diam melihat kejahatan, ketidakadilan, serta praktik-praktik korupsi di Gotham City. Sebelum menjadi Batman, Bruce Wayne pun harus menghilangkan ketakutannya. Sangat manusiawi bukan?

Bahkan, dalam Batman 2, Bruce juga bisa jatuh cinta, patah hati, serta putus asa. Sang sutradara sukses membuat penonton jadi care terhadap superhero Batman dan Bruce Wayne dengan human spirit-nya. Penonton tidak hanya dibikin kagum, tapi juga sayang bahkan peduli kepada dua tokoh fiktif itu.
Karakter superhero masuk dalam Bruce Wayne, sedangkan human-spirit Bruce masuk ke dalam Batman. Di sisi lain yang negatif, tentu saja karakter Joker masuk ke Heath Ledger dan human-spirit Heath masuk ke Joker.

Dalam Batman 3, Bruce yang sudah pensiun dan bahkan harus memakai tongkat selama delapan tahun terpaksa menjadi superhero lagi ketika ada teroris Bane. Yang tak kalah menarik adalah adegan akhir Batman 3. Bruce, kayaknya, mau pensiun dan berpacaran sama si Selina Kyle.
Sementara itu, polisi muda John Blake yang diperankan Joseph Gordon-Levitt tertarik menjadi Batman.
Wow, lantas, kesimpulan trilogi Nolan ini?

Semua orang bisa jadi Batman!

Inti buku kelima saya dengan Profesor Philip Kotler dan Iwan Setiawan terbitan John Wiley adalah Marketing 3.0: From Product to Customer to Human-Spirit. Konsep yang saya kembangkan di MarkPlus Inc mulai lima tahun lalu selalu mengingatkan para marketer bahwa dunia senantiasa terus bergeser.
Kalau Batman hanya dibuat untuk menyenangkan penonton sebagai customer dengan menampilkan adegan-adegan heroik, ribut, dan mendebarkan, nanti pasti tak laku keras lagi.

Saya sendiri mulai memikirkan konsep buku saya yang sekarang sudah diterjemahkan ke dalam 23 bahasa itu, ketika umur saya menjelang 60 tahun kira-kira lima tahun yang lalu. Sejak menjadi best-seller, saya langsung pontang-panting melayani undangan untuk berbicara tentang konsep tersebut hingga ke berbagai kota di luar negeri.

Kini sudah ada museum Marketing 3.0 di kompleks museum Puri Lukisan di Ubud, Bali, atas kebaikan keluarga Kerajaan Ubud. Diresmikan oleh tiga Tjokorda dari Puri Ubud pas hari ulang tahun ke-80 Profesor Philip Kotler pada 27 Mei 2011.

Tentunya, baik dalam buku maupun museum, tidak ada contoh Batman sebagai Film 3.0 yang sukses besar, termasuk segala macam kontroversinya. Artinya, brand apa pun, apakah itu brand sebuah produk atau korporasi, juga harus jadi “manusia” dengan spiritnya seperti Batman-nya Nolan.
Kalau Batman saja bisa menjadi manusia biasa dan manusia biasa bisa menjadi Batman, kenapa sebuah brand tak bisa” Itu bertujuan agar brand bisa dipedulikan customer.

Nah, kalau itu sudah terjadi, sebuah brand pasti akan sukses. Hal itu memang sangat berbeda bahkan sering bertentangan dengan konsep pemasaran tradisional.

Tapi, buktinya, sebagai konsep, ia diterima di berbagai belahan dunia. Itu juga membuktikan bahwa era internet yang menggila sekarang ini memang telah mengubah customer, mengubah peta persaingan dan akhirnya mengubah marketing itu sendiri. Bagaimana pendapat Anda? (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/