26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Jadi Gubernur, Tinggalkan Jabatan Partai

Fokus Kepala Daerah Sepenuhnya untuk Rakyat

JAKARTA-Materi di Rancangan Undang-Undang Daerah Istimewa Jogjakarta yang mengatur gubernur dan wakil gubernur Jogja harus melepas jabatan di partai politik, melebar menjadi wacana agar ke depan seluruh bupati/walikota dan gubernur di Indonesia, termasuk presiden, tidak lagi menyandang jabatan partai.

Terkait dengan itu, Sultan Hamengku Buwono (HB) X bisa memahami syarat gubernur Jogja harus tidak berlatar parpol. Gubernur yang menjabat sejak 1998 tersebut juga siap keluar dari Partai Golkar. “Itu sudah konsekuensi,” kata Sultan di kepatihan Pemprov Jogja, Senin (27/8).

Sultan menyatakan sudah mengantisipasi berbagai persyaratan yang diminta untuk menjadi gubernur Jogja, seperti tertera dalam draf RUUK. Di antaranya, ijazah dan kesehatan. “Nanti DPRD yang mengirim surat untuk mempersiapkan berbagai persyaratan,” tuturnya.

Menyikapi hal itu, Partai Golkar tampaknya mengikhlaskan ‘kepergian’ Sultan. “Kalau itu sudah diatur oleh UU maka itu harus ikuti saja dan Golkar juga terima,” kata anggota DPR dari Fraksi PG, Yorris TH Raweyai, kepada wartawan, Rabu (29/8), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Yorris menambahkan, yang keluar dari PG itu hanya fisiknya Sultan saja. Menurutnya, tidak masalah jika Sultan harus meninggalkan PG. “Dia (Sultan) keluar bukan karena keinginan dia tapi karena ada pengaturan dalam UU. Jadi, karena UU jadikan hati dia dan platform kegolkarannya tidak akan luntur,” kata Yorris.

Karenanya Yorris meyakini keluarnya Sultan tidak akan membuat suara PG berkurang. “Saya kira tidak, malah sekarang membaik kok, malah meningkat. Artinya meskipun dia (Sultan) tidak di Golkar karena UU, tapi kharisma dia tetap Golkar,” tegas Yorris.

Lalu, bagaimana dengan bakal calon Gubernur Sumatera Utara yang berlatar belakang partai? Apakah mereka akan menanggalkan jabatan kepartaian ketika terpilih menjadi gubernur?
Salah satu kandidat calon gubernur Sumut, Sutan Bathoegana Siregar, mendukung wacana tersebut. Politisi senior di Partai Demokrat itu siap melepaskan jabatannya sebagai Ketua DPP Partai Demokrat, jika nantinya dia terpilih menjadi gubernur Sumut.

“Saya siap karena melepas jabatan partai saat menduduki jabatan publik, itu akan lebih baik,” ujar anggota DPR itu kepada koran ini di Jakarta, Rabu (29/8).

Hanya saja, lanjutnya, meski nantinya melepas jabatan partai jika duduk di kursi Sumut 1, Sutan tidak mau meninggalkan Partai Demokrat begitu saja.
“Melepaskan jabatan partai, tetapi tetap menjadi kader. Karena sebagai kader itu tetap melekat,” ujarnya.

Apa alasannya? Sutan mengatakan, jabatan sebagai kepala daerah merupakan kebanggan partai. Karenanya, tidak bisa serta merta harus meninggalkan partai sepenuhnya tatkala terpilih sebagai kepala daerah.

Dia menilai, seorang kepala daerah yang juga menjadi pengurus partai, memang memunculkan konflik kepentingan. Termasuk, sulitnya membagi waktu untuk urusan sebagai kepala daerah, dengan waktu untuk mengurus partai.

“Jadi, melepas jabatan partai saat menjadi kepala daerah itu lebih bagus karena kepala daerah merupakan milik rakyat, bukan lagi milik partai,” terangnya.

Sutan berjanji, jika nantinya dimajukan sebagai cagub oleh Partai Demokrat dan terpilih, maka sepenuhnya waktunya akan digunakan untuk mengurus rakyat Sumut. “Kalau masih menjadi ketua partai, waktu di luar jam dinas untuk mengurus partai. Padahal, seorang kepala daerah itu jam kerjanya tak dibatasi jam dinas. Harus sepenuhnya untuk rakyat,” janjinya.

Meski demikian, saat ditanya apakah dirinya yakin bakal diusung Demokrat, Sutan tidak berani memastikan. “Kita serahkan saja ke rakyat, apa maunya rakyat,” ujarnya. Maksudnya, siapa yang dikehendaki rakyat berdasarkan hasil survei, dia lah yang layak diusung. “Siapa pun pastilah yang terbaik,” imbuhnya. (sam/boy/jpnn)

Fokus Kepala Daerah Sepenuhnya untuk Rakyat

JAKARTA-Materi di Rancangan Undang-Undang Daerah Istimewa Jogjakarta yang mengatur gubernur dan wakil gubernur Jogja harus melepas jabatan di partai politik, melebar menjadi wacana agar ke depan seluruh bupati/walikota dan gubernur di Indonesia, termasuk presiden, tidak lagi menyandang jabatan partai.

Terkait dengan itu, Sultan Hamengku Buwono (HB) X bisa memahami syarat gubernur Jogja harus tidak berlatar parpol. Gubernur yang menjabat sejak 1998 tersebut juga siap keluar dari Partai Golkar. “Itu sudah konsekuensi,” kata Sultan di kepatihan Pemprov Jogja, Senin (27/8).

Sultan menyatakan sudah mengantisipasi berbagai persyaratan yang diminta untuk menjadi gubernur Jogja, seperti tertera dalam draf RUUK. Di antaranya, ijazah dan kesehatan. “Nanti DPRD yang mengirim surat untuk mempersiapkan berbagai persyaratan,” tuturnya.

Menyikapi hal itu, Partai Golkar tampaknya mengikhlaskan ‘kepergian’ Sultan. “Kalau itu sudah diatur oleh UU maka itu harus ikuti saja dan Golkar juga terima,” kata anggota DPR dari Fraksi PG, Yorris TH Raweyai, kepada wartawan, Rabu (29/8), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Yorris menambahkan, yang keluar dari PG itu hanya fisiknya Sultan saja. Menurutnya, tidak masalah jika Sultan harus meninggalkan PG. “Dia (Sultan) keluar bukan karena keinginan dia tapi karena ada pengaturan dalam UU. Jadi, karena UU jadikan hati dia dan platform kegolkarannya tidak akan luntur,” kata Yorris.

Karenanya Yorris meyakini keluarnya Sultan tidak akan membuat suara PG berkurang. “Saya kira tidak, malah sekarang membaik kok, malah meningkat. Artinya meskipun dia (Sultan) tidak di Golkar karena UU, tapi kharisma dia tetap Golkar,” tegas Yorris.

Lalu, bagaimana dengan bakal calon Gubernur Sumatera Utara yang berlatar belakang partai? Apakah mereka akan menanggalkan jabatan kepartaian ketika terpilih menjadi gubernur?
Salah satu kandidat calon gubernur Sumut, Sutan Bathoegana Siregar, mendukung wacana tersebut. Politisi senior di Partai Demokrat itu siap melepaskan jabatannya sebagai Ketua DPP Partai Demokrat, jika nantinya dia terpilih menjadi gubernur Sumut.

“Saya siap karena melepas jabatan partai saat menduduki jabatan publik, itu akan lebih baik,” ujar anggota DPR itu kepada koran ini di Jakarta, Rabu (29/8).

Hanya saja, lanjutnya, meski nantinya melepas jabatan partai jika duduk di kursi Sumut 1, Sutan tidak mau meninggalkan Partai Demokrat begitu saja.
“Melepaskan jabatan partai, tetapi tetap menjadi kader. Karena sebagai kader itu tetap melekat,” ujarnya.

Apa alasannya? Sutan mengatakan, jabatan sebagai kepala daerah merupakan kebanggan partai. Karenanya, tidak bisa serta merta harus meninggalkan partai sepenuhnya tatkala terpilih sebagai kepala daerah.

Dia menilai, seorang kepala daerah yang juga menjadi pengurus partai, memang memunculkan konflik kepentingan. Termasuk, sulitnya membagi waktu untuk urusan sebagai kepala daerah, dengan waktu untuk mengurus partai.

“Jadi, melepas jabatan partai saat menjadi kepala daerah itu lebih bagus karena kepala daerah merupakan milik rakyat, bukan lagi milik partai,” terangnya.

Sutan berjanji, jika nantinya dimajukan sebagai cagub oleh Partai Demokrat dan terpilih, maka sepenuhnya waktunya akan digunakan untuk mengurus rakyat Sumut. “Kalau masih menjadi ketua partai, waktu di luar jam dinas untuk mengurus partai. Padahal, seorang kepala daerah itu jam kerjanya tak dibatasi jam dinas. Harus sepenuhnya untuk rakyat,” janjinya.

Meski demikian, saat ditanya apakah dirinya yakin bakal diusung Demokrat, Sutan tidak berani memastikan. “Kita serahkan saja ke rakyat, apa maunya rakyat,” ujarnya. Maksudnya, siapa yang dikehendaki rakyat berdasarkan hasil survei, dia lah yang layak diusung. “Siapa pun pastilah yang terbaik,” imbuhnya. (sam/boy/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/