29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Garang vs Malang

Garang dan malang memang memiliki rima yang sama; sama-sama bernada sama. Perbedaaannya sangat tipis hanya pada bunyi ‘gar’ dan ‘mal’, tapi semua paham kalau artinya sangat kontras. Ya, yang satu hebat, sangar, dan mengerikan sedangkan yang satunya lagi bermakna menyedihkan.

Tapi begitulah, dunia memang harus memiliki dua sisi; saling berlawanan untuk menunjukkan peran. Garang dibutuhkan demi mematenkan posisi si malang, begitu juga sebaliknya. Nah, hal inilah yang tercermin pada keberadaan becak motor atawa betor di Kota Medan.

Keberadaan betor di Kota Medan dianggap sebagai pemicu kemacetan. Bagaimana tidak, dia bisa sesuka hati di jalanan. Bahkan, dia telah menggeser posisi angkutan kota (angkot) yang selama ini sering disebut Raja Jalanan. Perhatikanlah, di jalanan Kota Medan, angkot sudah lebih sering mengalah ketika ada betor. Dengan kata lain, betor sedang naik daun. Ya, dia menempati posisi teratas di otak pengguna jalan terkait kemacetan.

Maka, tidak berlebihan ketika khalayak melihat ada betor yang menerobos lampu merah. Tidak berlebihan juga ketika ada pengguna jalan yang mengelus dada ketika tiba-tiba betor berbelok hingga dia harus mengerem dengan dalam. Makian pun sudah tak mempan. Betor terus mematenkan karakternya yang khas. Dan, semua itu dulunya milik angkot.

Lucunya, bahkan hebatnya, betor tetap favorit bagi warga. Apalagi kalau bukan pelayanan yang bisa diberikan mereka. Ayolah, jika Anda ingin cepat, cobalah jasa betor; jika Anda ingin diantar sampai depan rumah yang berada dalam gang, gunakanlah betor; dan jika Anda ingin harga yang bersaing dan bisa ditawar, panggil saja betor!

Angkot tak mampu melakukan itu semua. Trayek dan ongkos angkot sudah baku.

Bukan maksud untuk membandingkan angkot dan betor, tapi kehadiran betor memang cukup menolong warga. Ya, meski untuk trayek jauh, becak cenderung masih kalah dengan angkot; misalnya jalur Amplas ke Pinangbaris, siapa yang tahan naik becak?

Tapi sudahlah, betor adalah betor dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Membanjirnya betor akhir-akhir ini pun tidak bisa disalahkan. Pemutusan hubungan kerja dan tertutupnya peluang kerja bisa ditengarai sebagai pemicu membanjir betro. Seorang kawan yang dulunya bergerak di Usaha Kecil Menengah pernah mengaku pada saya untuk menjadi sopir betor. Dia mengaku usaha konveksi yang digelutinya selama ini tak bisa diandalkan lagi. Barang-barang impor, misalnya dari China, telah mengganggu pasar. Ya, sudah, dia jual mesin-mesin jahitnya dan dia belikan betor. Dia pun langsung jadi sopir betor. “Sehari bisa dapat lima puluh ribu, sebulan berarti satu juta lima ratus rupiah, menggiurkan kan?” begitu alasannya.

Saya langsung terpikir, pendapatan Rp1,5 juta sudah mengalahkan gaji seorang pekerja outsourching dibidang bukan? Apalagi, sebagai sopir betor, dia bisa memenej jam kerja sendiri, bukankah itu sangat menggoda?

Seorang sopir betor langganan istri saya malah mengaku sehari dia bisa meraih 70 sampai 100 ribu rupiah. Wow, sudah kalah gaji wartawan!
Mungkin itulah sebab semakin banyak betor di kota ini. Selain kurangnya kesempatan kerja dan berusaha, pendapatan dari betor juga bisa diandalkan. Nah, jika begitu, apa yang harus dilakukan pemerintah kota?(*)

Garang dan malang memang memiliki rima yang sama; sama-sama bernada sama. Perbedaaannya sangat tipis hanya pada bunyi ‘gar’ dan ‘mal’, tapi semua paham kalau artinya sangat kontras. Ya, yang satu hebat, sangar, dan mengerikan sedangkan yang satunya lagi bermakna menyedihkan.

Tapi begitulah, dunia memang harus memiliki dua sisi; saling berlawanan untuk menunjukkan peran. Garang dibutuhkan demi mematenkan posisi si malang, begitu juga sebaliknya. Nah, hal inilah yang tercermin pada keberadaan becak motor atawa betor di Kota Medan.

Keberadaan betor di Kota Medan dianggap sebagai pemicu kemacetan. Bagaimana tidak, dia bisa sesuka hati di jalanan. Bahkan, dia telah menggeser posisi angkutan kota (angkot) yang selama ini sering disebut Raja Jalanan. Perhatikanlah, di jalanan Kota Medan, angkot sudah lebih sering mengalah ketika ada betor. Dengan kata lain, betor sedang naik daun. Ya, dia menempati posisi teratas di otak pengguna jalan terkait kemacetan.

Maka, tidak berlebihan ketika khalayak melihat ada betor yang menerobos lampu merah. Tidak berlebihan juga ketika ada pengguna jalan yang mengelus dada ketika tiba-tiba betor berbelok hingga dia harus mengerem dengan dalam. Makian pun sudah tak mempan. Betor terus mematenkan karakternya yang khas. Dan, semua itu dulunya milik angkot.

Lucunya, bahkan hebatnya, betor tetap favorit bagi warga. Apalagi kalau bukan pelayanan yang bisa diberikan mereka. Ayolah, jika Anda ingin cepat, cobalah jasa betor; jika Anda ingin diantar sampai depan rumah yang berada dalam gang, gunakanlah betor; dan jika Anda ingin harga yang bersaing dan bisa ditawar, panggil saja betor!

Angkot tak mampu melakukan itu semua. Trayek dan ongkos angkot sudah baku.

Bukan maksud untuk membandingkan angkot dan betor, tapi kehadiran betor memang cukup menolong warga. Ya, meski untuk trayek jauh, becak cenderung masih kalah dengan angkot; misalnya jalur Amplas ke Pinangbaris, siapa yang tahan naik becak?

Tapi sudahlah, betor adalah betor dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Membanjirnya betor akhir-akhir ini pun tidak bisa disalahkan. Pemutusan hubungan kerja dan tertutupnya peluang kerja bisa ditengarai sebagai pemicu membanjir betro. Seorang kawan yang dulunya bergerak di Usaha Kecil Menengah pernah mengaku pada saya untuk menjadi sopir betor. Dia mengaku usaha konveksi yang digelutinya selama ini tak bisa diandalkan lagi. Barang-barang impor, misalnya dari China, telah mengganggu pasar. Ya, sudah, dia jual mesin-mesin jahitnya dan dia belikan betor. Dia pun langsung jadi sopir betor. “Sehari bisa dapat lima puluh ribu, sebulan berarti satu juta lima ratus rupiah, menggiurkan kan?” begitu alasannya.

Saya langsung terpikir, pendapatan Rp1,5 juta sudah mengalahkan gaji seorang pekerja outsourching dibidang bukan? Apalagi, sebagai sopir betor, dia bisa memenej jam kerja sendiri, bukankah itu sangat menggoda?

Seorang sopir betor langganan istri saya malah mengaku sehari dia bisa meraih 70 sampai 100 ribu rupiah. Wow, sudah kalah gaji wartawan!
Mungkin itulah sebab semakin banyak betor di kota ini. Selain kurangnya kesempatan kerja dan berusaha, pendapatan dari betor juga bisa diandalkan. Nah, jika begitu, apa yang harus dilakukan pemerintah kota?(*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/