Sabtu siang panas terik, Sabtu sore hujan deras. Lalu kenapa? Apakah Anda harus mengatakan ‘wow’ gitu? Atau, Anda harus terharu hingga air mata tumpah begitu membaca kalimat saya tadi? Tidak kan?
Tidak ada sesuatu yang istimewa pada Sabtu kemarin; persis hari biasa di Kota Medan. Ya, pergantian cuaca bukan lagi sesuatu yang aneh dan semua itu bisa saja terjadi di daerah atau di kota yang lain. Jadi, kenapa harus saya lantunkan hal ini?
Itulah dia alasannya. Saya memang ingin melantunkan soal Sabtu yang biasa saja di Kota Medan. Boleh kan?
Ceritanya, kemarin, seperti biasanya — setiap Sabtu — saya bangun pukul sepuluh pagi. Hal itu saya lakukan karena pada pukul sebelas saya akan main futsal bersama teman kantor. Maka, ketika alarm menjerit, saya langsung melompat dari tempat tidur. Dan seperti biasanya, sudah ada teh manis di meja ruang tengah untuk saya. Istri saya memang tanggap soal itu.
Setelah mencuci muka dengan jurus dua jari — telunjuk kiri dan kanan dimasukan dalam air lalu disapukan ke mata — saya pun langsung mencari posisi nyaman untuk menikmati minuman hangat tadi. Sebuah kursi di dekat meja langsung saya pantati. Saya teguk teh itu; satu tegukan saja. Seperti otomatis, tangan saya pun langsung meraih sebatang rokok lengkap dengan geretan atawa mancis. Saya sulut tembakau yang dibalut kertas dan sepotong kecil filter tersebut. Asap mengepul; nafas saya pun mewujud dan tak transparan lagi, memutihkan ruangan.
Singkat kata singkat cerita, sebatang rokok selesai ternikmati. Segelas teh pun kandas. Saya bergegas ke kamar mandi. Segar.
Tak lama kemudian, saya telah berganti kostum. Saya telah berbaju olahraga: celana pendek berwarna hitam dan baju berwarna oranye; kostum bola. Sepatu futsal beserta kaus kaki telah disiapkan istri dalam sebuah tas. Dengan kata lain, saya siap berangkat.
Tiba-tiba istri berkata, “Sekalian buang sampah ya.”
Saya pandangi dia sembari melirik jam dinding. Saat itu jarum panjang telah menunjukkan angka delapan dan jarum pendeknya sudah melewati angka sepuluh, nyaris angka sebelas. Fiuh tak akan sempat pikir saya. Tapi, sudahlah, saya lakukan saja permintaannya.Maka berangkatlah saya dari rumah yang berada di seputaran Terminal Amplas menuju lapangan futsal yang berada di seputaran STM. Lena (sepeda motor saya) saya pacu perlahan; maklum laju kencang dia memang sudah tak mampu. Sampah satu plastik besar tergantung di tubuh Lena: di gantungan yang berada di bawah setang.
Saya memilih Jalan Sisingamangaraja. Nanti ketika sampai di simpang Al Falah, saya akan berbelok kiri untuk menuju STM. Jalur ideal, lebih cepat daripada jalur yang biasanya saya lalui yang melewati Jalan Selamat dan menembus kawasan Simpang Limun. Sayangnya, saya lupa, sampah itu harus saya buang.
Itulah sebab saya terlambat. Cukup lama saya mencari tempat sampah. Begitu berbelok dari simpang Al Falah, saya baru sadar sampah belum terbuang. Saya pun memutar Lena, berbalik dan kembali ke Jalan Sisingamangaraja menuju Simpang Limun; di sana ada tempat sampah yang disediakan Pemerintah Kota Medan; letaknya di dekat sebuah apotek yang beroperasi selama 24 jam nonstop. Sialnya, ketika tiba di apotek itu, tempat sampah berwarna oranye tersebut tak ada lagi di tempat. Saat itulah saya baru sadar, cuaca Medan sedang panas-panasnya. Fiuh.
Tetapi, kata orang, selalu ada untung dalam kesialan. Beberapa meter dari apotek itu ada tempat sampah lain. Dia berwarna kuning: milik Pemerintah Kota Medan juga. Tempatnya agak tersembunyi, agak menjorok ke gang kecil. Ya, saya campakkan sampah tadi. Selesai.
Tapi, jalur ini, jalan yang saya lalui menuju lapangan futsal jadi tambah jauh. Seandainya melalui simpang Al Falah tentunya tidak harus memutar melalui Jalan Sakti Lubis bukan?
Ujung-ujungnya, saya tiba di lapangan ketika jarum panjang jam sudah menunjukkan angka tiga: jarum pendeknya di angka sebelas lewat sedikit. Taman-teman sudah sibuk mendang bola, beberapa wajah dari mereka sudah ada yang tampak memerah; berpeluh; kecapekan.
Praktis, saya bermain hanya setengah jam. Tak puas.
Usai futsal, setelah berbincang dalam suasana kecapekan, saya bergegas pulang. Kali ini, panas makin menggila. Terik. Jok si Lena pun memanas hingga memanggang bokong saya. Dalam perjalanan saya mengutuk, kapan si Lena punya atap, panas ini begitu menggila!
Kembali ke rumah, untungnya, saya temukan keteduhan. Mandi. Makan. Tidur. Hm, nikmat meski udara terasa begitu gerah. Pukul tiga saya dibangunkan istri, “Ayo kita ke rumah mama,” begitu katanya.
Seperti biasa — hari Sabtu — saya memang sering ke rumah orangtua istri saya. Ya sudah, usai mandi dan istri selesai berdandan, kami berangkat. Saat itu sekira jam empat. Begitu tiba di Jalan Selamat, hujan deras muncul; sangat deras. Saya menepikan Lena. Saya dan istri berlindung di sebuah warung yang tutup. Lena terbiarkan basah. Kuyup. Ah, kapan lena memiliki atap, hujan ini membuat saya gila!
Begitulah, tak ada yang istimewa dari Sabtu kemarin bukan? Anda tak harus mengatakan ‘wow’. Anda juga tak harus terharu hingga menangis; jadikan air mata tumpah seperti hujan itu. Biasa sajalah, jika bisa, saya persilahkan Anda tertawa. Ha ha ha. (*)