28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Balada Lelaki Tua

Sepasang bola mata lelaki tua itu masih lekat menghunjam gerombol-gerombol gemawan kehitaman yang bergelantungan di angkasa raya, menutupi birunya lelangit dan garangnya sang mentari di pagi jelang siang itu. Kedua penglihatannya yang sudah kian melamur dan tak secerlang seperti masa mudanya dulu nyaris tanpa kedip menukik gemawan hitam yang kian meratai petala langit, seperti tengah berusaha menyibak dan mengintip rerahasia yang tersimpan di sebaliknya.

Cerpen: Sam Edy Yuswanto

Nceamun, mendung kian menggumpal dan tetap bergeming bahkan tengah bersiaga mengeluarkan jurus ‘abrakadabra’nya untuk berubah menjadi bebuncah hujan yang akan mengguyuri isi bumi. Sungguh, jiwa lelaki tua itu tidak ada bedanya dengan gemawan yang berarak dan kian menghitam itu. Jiwanya masih terus dikerubungi luka. Lelaki itu selalu merasa bahwa takdir hidupnya lebih pahit dari empedu.
Dan, masih seperti kemarin, di depan teras rumah kayunya yang sangat sederhana, lelaki tua itu kembali duduk termangu di bangku panjang yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai melapuk digerus lelajunya usia bahkan sebagiannya telah jadi santapan rayap. Sendirian. Ya, memang lelaki tua itu kini hanya menjalani hidup seorang diri. Sebatang kara. Tanpa istri yang setia mendampinginya. Pula, tak ada anak, apalagi cucu yang diharapkan bisa menemaninya berlayar mengarungi masa-masa senjanya yang kian menyondong ke ufuk barat.
***

Lelaki tua itu sungguh bernasib malang. Ei, bagaimana tidak? Usianya kini telah menapaki angka tujuhpuluh dua. Tubuhnya pun kian meringkih saja. Tak tegap dan sekuat masa mudanya dulu, telah menyerupai huruf C. Ketika hendak berjalan, harus ditopang sebuah tongkat bambu. Sumirah, istri lelaki tua itu telah lama dijemput Izrail saat melahirkan putra ketiganya, tepatnya pada duapuluh lima tahun silam.
Oh, betapa sungguh merepotnya saat menyaksikan lelaki itu membesarkan si jabang bayi tanpa pendamping istri di sisinya. Ditambah, lelaki itu mesti menghidupi dua putranya yang lain yang masih sekolah di bangku Sekolah Dasar. Beruntung, Wasirah, adik perempuan lelaki tua itu merasa terpanggil jiwa keibuannya untuk menyusui si jabang bayi yang masih bersemu merah itu.

Namun sayangnya, belum menggenap masa satu tahun, bayi itu pun menyusul ibunya ke alam baka. Bardi, nama bayi malang putra ketiga lelaki tua itu meninggal dunia terserang ganasnya virus demam berdarah yang sudah mencapai titik akut. Tak ada biaya buat berobat menjadi alasan klasik yang telah lama mengudara di telinga orang-orang miskin yang lantas menjadi penyebab tercerabutnya nyawa si jabang bayi. Dan, lelaki tua itu pun kemudian menjalani hari-harinya hanya dengan kedua putranya.
***

Saat pagi hari, lelaki itu menghabiskan waktu untuk mencangkul, menanami padi dan juga beberapa pohon singkong di sawahnya yang hanya beberapa petak. Saat azan zuhur lelamat mengumandang di corong masjid di ujung kampungnya, lelaki itu pun melangkah pulang. Istirahat sebentar.

Lantas, usai menunaikan shalat zuhur dan menjambal beberapa potong singkong rebus serta meneguk segelas kopi pahit untuk mengusir gelayut kantuk yang menyerbu korneanya, ia kembali ke sawah hingga senja telah menyemburatkan rona kuning terang. Selepas Magrib, dengan tekun dan terbata, lelaki itu mengajari anak-anaknya membaca Alquran. Tentu semampunya.
***

Setelah Wawan, putra pertamanya lulus Sekolah Dasar, lelaki tua itu merasa sudah tak sanggup lagi membiayainya melanjutkan ke SLTP. Ah, kalian tentu bisa memafhumi alasannya kenapa. Ei, bukankah biaya pendidikan yang harus ditebus oleh para wali murid di negeri ini kian menukik langit saja tiap tahunnya? Belum lagi, buku-buku pelajaran yang setiap tahun ajaran baru selalu bergonta-ganti. Berjibun-jibun. Bertumpuk-tumpuk. Setiap berganti kurikulum, buku lama tak terpakai lagi. Alasannya pun klasik dan terkesan mengada-ada; buku cetakan lama sudah tidak sesuai lagi digunakan buat zaman berikutnya. Walhasil, buku-buku yang tak terpakai itu hanya teronggok seperti tumpukan sampah yang juga telah berkarib mesra dengan negeri yang mayoritas masyarakatnya gemar buang sampah di sembarang tempat itu.
Sementara di sisi lain, Budi, putra nomor dua masih membutuhkan biaya yang juga tak sedikit buat merampungkan kelas lima SD-nya. Sebenarnya, untuk memenuhi biaya sekolahnya Budi saja, lelaki tua itu sudah sering mengumbar keluh. Merasa kewalahan. Bagaimana nanti untuk membiayai kakak tertua mereka melanjutkan ke SLTP, SLTA, apalagi hingga menggondol titel sarjana? Ei, ke mana saja pemerintah kita yang mempunyai kewajiban mencerdaskan anak-anak negeri ini yang kian terlipat oleh kerak kemelaratan yang sering menyebab mereka berbuat nekat menghalalkan segala cara?
Ah, mungkin kalau hanya biaya sekadar buat makan sehari-hari, lelaki tua itu tidak sampai dibikin kelimpungan. Karena ia masih memiliki persediaan beberapa karung gabah yang sewaktu-waktu bisa diselip (yang merupakan hasil jerih-payah dari beberapa petak sawahnya itu).
***

Pandangan lelaki tua itu masih jauh menerawang, menghunjam ke luasnya angkasa yang serasa tanpa garis tepi, menatap mendung yang tak jua menggemerintikkan butiran hujan. Dan entah mengapa, lagi-lagi, lelaki tua itu kembali teringat akan lembaran-lembaran kenangan terakhirnya saat masih berkumpul bersama dua anaknya.
Sungguh, masih terasa hangat di lembar memori ingatan lelaki tua itu, saat Wawan kepincut kawan-kawannya yang bekerja di luar negeri (untuk menjadi TKI tentu saja). Hampir setiap hari, ia merengek-rengek agar sang bapak mengijinkannya mengais rupiah di negeri tetangga yang diyakininya akan segera mengubah takdir hidupnya itu. Katanya, ia mulai merasa dihantam bosan hari-harinya hanya dihabiskan di sawah buat membantu bapaknya.

Berkali Wawan bilang pada bapaknya, bahwa ia kepingin mencoba merubah nasibnya seperti Wito, kawan sebayanya yang telah setahun lebih kerja di Arab Saudi. Malahan, ia sudah bisa membelikan motor matic terbaru buat Nuraisyah, adik perempuan semata wayangnya yang baru masuk Aliyah.

Tak kuat mendengar ocehan Wawan saban hari, akhirnya, lelaki tua itu pun meminta bantuan Surip, yang telah lama menjadi calo TKI, kenalan dari desa sebelah, untuk membantu mewujudkan impian anaknya. Tak berselang lama, hanya butuh masa dua bulan, Wawan pun bisa terbang ke Arab Saudi, dengan perjanjian potong gaji setiap bulan buat membayar ongkos dan biaya dia ke Arab yang masih mengutang.
Dan, di bulan kedua sejak kepergiannya ke negeri seribu babu itu, Wawan pun mulai mengirimi uang buat bapaknya lewat wesel pos. Sebagian uang itu ia gunakan buat menyicil hutangnya ke Surip. Lalu sisanya buat membantu bapak sekaligus adiknya, Budi, agar bisa melanjutkan sekolah ke SLTP.

Betapa lelaki tua itu merasa bangga alang kepalang karena sangat tertolong dengan kiriman uang hasil kerja anak tertuanya itu. Tak apalah anak lelakiku jadi kuli di negara tetangga, asalkan dia bisa mendapatkan uang dengan mudah. Daripada hidup di negeri sendiri, tapi berkalang kemelaratan dan sukses jadi pengangguran. Begitu prinsip lelaki tua itu yang semenjak kecil tak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali.
Dua tahun kemudian. Cobaan itu kembali diturunkan Yang Maha Kuasa kepada lelaki tua itu. Wawan, yang di Arab Saudi mengaku bekerja sebagai kuli bangunan, dikabarkan tewas mengenaskan tertimpa beton gedung yang sedang didirikannya. Betapa lelaki tua itu tak bisa menghapus lembar ingatan yang satu ini; saat di siang yang teriknya sedang memanggang tubuhnya yang tengah khsuyuk mencangkul sawahnya, Sudarmi, tetangga terdekatnya datang dengan tergopoh mengabarkan kabar duka itu secara tiba-tiba.

Seketika, tubuh lelaki itu bergetar hebat layaknya bumi yang tengah diguncang geletar gempa. Seluruh energi dalam kujur raganya serasa lesat, lenyap entah ke mana, saat Sumi mengatakan dengan bibir megap-megap bahwa Wawan tewas tertimpa beton bangunan.

Lelaki tua itu hanya berdiri mematung badan laksa manekin yang biasa dipajang di depan toko-toko busana, ia tak mampu berucap sepatah pun huruf saat menyambut kedatangan jenazah putra pertamanya itu. Hanya bebulir bening yang terus mengucur deras, merenangi dua pipi legam tirusnya yang tampak kian mengeriput saja.
Dan sejak saat itulah, lelaki tua yang sudah lama berkarib dengan pelbagai penderitaan, berubah menjadi sosok yang pendiam, tertutup dan suka duduk berlama-lama menyendiri di depan rumah kayunya itu.
***

Lima tahun berlalu. Saat lelaki renta itu berusaha bangkit dan kembali merajut hari-harinya dengan sisa-sisa umurnya yang terus berkurang, mendung kelabu kembali menggayuti leliku hidupnya. Ei, ataukah ini menjadi sebuah pertanda, bahwa sebenarnya Tuhan sangat menyayanginya? Bukankah cobaan demi cobaan yang diberikan oleh Tuhan itu pada hakikatnya adalah sebagai bukti bahwa Tuhan sangat mengasihi hamba terkasih-Nya?

Budi, putra kedua lelaki tua yang mengaku menjadi pelayan cafe di sebuah hotel mewah dan ternama di kota Jakarta, dikabarkan tewas mengenaskan. Tepatnya, saat terjadinya ledakan bom bunuh diri di hotel mewah tersebut. Dari puluhan nyawa yang melayang, Budi termasuk salah satunya.

***
Lelaki tua itu masih duduk termenung di bangku kayu reyot depan rumahnya. Mendung di angkasa raya masih setia bergelantungan menutup garangnya sang mentari dan birunya lelangit. Beberapa menit kemudian, nampak gerimis mulai luruh satu-satu menebarkan aroma khas tanah yang mengerontang dan retak-retak.
Namun, lelaki tua itu masih tetap duduk menggeming dan terlihat anteng nian. Bahkan, saat rerintik gerimis itu telah berubah menjadi bebuncah hujan, lelaki tua itu tetap geming badan, sementara kedua kelopaknya nampak terkatup rapat.

***
Puring Kebumen, 2009-2011.

Sepasang bola mata lelaki tua itu masih lekat menghunjam gerombol-gerombol gemawan kehitaman yang bergelantungan di angkasa raya, menutupi birunya lelangit dan garangnya sang mentari di pagi jelang siang itu. Kedua penglihatannya yang sudah kian melamur dan tak secerlang seperti masa mudanya dulu nyaris tanpa kedip menukik gemawan hitam yang kian meratai petala langit, seperti tengah berusaha menyibak dan mengintip rerahasia yang tersimpan di sebaliknya.

Cerpen: Sam Edy Yuswanto

Nceamun, mendung kian menggumpal dan tetap bergeming bahkan tengah bersiaga mengeluarkan jurus ‘abrakadabra’nya untuk berubah menjadi bebuncah hujan yang akan mengguyuri isi bumi. Sungguh, jiwa lelaki tua itu tidak ada bedanya dengan gemawan yang berarak dan kian menghitam itu. Jiwanya masih terus dikerubungi luka. Lelaki itu selalu merasa bahwa takdir hidupnya lebih pahit dari empedu.
Dan, masih seperti kemarin, di depan teras rumah kayunya yang sangat sederhana, lelaki tua itu kembali duduk termangu di bangku panjang yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai melapuk digerus lelajunya usia bahkan sebagiannya telah jadi santapan rayap. Sendirian. Ya, memang lelaki tua itu kini hanya menjalani hidup seorang diri. Sebatang kara. Tanpa istri yang setia mendampinginya. Pula, tak ada anak, apalagi cucu yang diharapkan bisa menemaninya berlayar mengarungi masa-masa senjanya yang kian menyondong ke ufuk barat.
***

Lelaki tua itu sungguh bernasib malang. Ei, bagaimana tidak? Usianya kini telah menapaki angka tujuhpuluh dua. Tubuhnya pun kian meringkih saja. Tak tegap dan sekuat masa mudanya dulu, telah menyerupai huruf C. Ketika hendak berjalan, harus ditopang sebuah tongkat bambu. Sumirah, istri lelaki tua itu telah lama dijemput Izrail saat melahirkan putra ketiganya, tepatnya pada duapuluh lima tahun silam.
Oh, betapa sungguh merepotnya saat menyaksikan lelaki itu membesarkan si jabang bayi tanpa pendamping istri di sisinya. Ditambah, lelaki itu mesti menghidupi dua putranya yang lain yang masih sekolah di bangku Sekolah Dasar. Beruntung, Wasirah, adik perempuan lelaki tua itu merasa terpanggil jiwa keibuannya untuk menyusui si jabang bayi yang masih bersemu merah itu.

Namun sayangnya, belum menggenap masa satu tahun, bayi itu pun menyusul ibunya ke alam baka. Bardi, nama bayi malang putra ketiga lelaki tua itu meninggal dunia terserang ganasnya virus demam berdarah yang sudah mencapai titik akut. Tak ada biaya buat berobat menjadi alasan klasik yang telah lama mengudara di telinga orang-orang miskin yang lantas menjadi penyebab tercerabutnya nyawa si jabang bayi. Dan, lelaki tua itu pun kemudian menjalani hari-harinya hanya dengan kedua putranya.
***

Saat pagi hari, lelaki itu menghabiskan waktu untuk mencangkul, menanami padi dan juga beberapa pohon singkong di sawahnya yang hanya beberapa petak. Saat azan zuhur lelamat mengumandang di corong masjid di ujung kampungnya, lelaki itu pun melangkah pulang. Istirahat sebentar.

Lantas, usai menunaikan shalat zuhur dan menjambal beberapa potong singkong rebus serta meneguk segelas kopi pahit untuk mengusir gelayut kantuk yang menyerbu korneanya, ia kembali ke sawah hingga senja telah menyemburatkan rona kuning terang. Selepas Magrib, dengan tekun dan terbata, lelaki itu mengajari anak-anaknya membaca Alquran. Tentu semampunya.
***

Setelah Wawan, putra pertamanya lulus Sekolah Dasar, lelaki tua itu merasa sudah tak sanggup lagi membiayainya melanjutkan ke SLTP. Ah, kalian tentu bisa memafhumi alasannya kenapa. Ei, bukankah biaya pendidikan yang harus ditebus oleh para wali murid di negeri ini kian menukik langit saja tiap tahunnya? Belum lagi, buku-buku pelajaran yang setiap tahun ajaran baru selalu bergonta-ganti. Berjibun-jibun. Bertumpuk-tumpuk. Setiap berganti kurikulum, buku lama tak terpakai lagi. Alasannya pun klasik dan terkesan mengada-ada; buku cetakan lama sudah tidak sesuai lagi digunakan buat zaman berikutnya. Walhasil, buku-buku yang tak terpakai itu hanya teronggok seperti tumpukan sampah yang juga telah berkarib mesra dengan negeri yang mayoritas masyarakatnya gemar buang sampah di sembarang tempat itu.
Sementara di sisi lain, Budi, putra nomor dua masih membutuhkan biaya yang juga tak sedikit buat merampungkan kelas lima SD-nya. Sebenarnya, untuk memenuhi biaya sekolahnya Budi saja, lelaki tua itu sudah sering mengumbar keluh. Merasa kewalahan. Bagaimana nanti untuk membiayai kakak tertua mereka melanjutkan ke SLTP, SLTA, apalagi hingga menggondol titel sarjana? Ei, ke mana saja pemerintah kita yang mempunyai kewajiban mencerdaskan anak-anak negeri ini yang kian terlipat oleh kerak kemelaratan yang sering menyebab mereka berbuat nekat menghalalkan segala cara?
Ah, mungkin kalau hanya biaya sekadar buat makan sehari-hari, lelaki tua itu tidak sampai dibikin kelimpungan. Karena ia masih memiliki persediaan beberapa karung gabah yang sewaktu-waktu bisa diselip (yang merupakan hasil jerih-payah dari beberapa petak sawahnya itu).
***

Pandangan lelaki tua itu masih jauh menerawang, menghunjam ke luasnya angkasa yang serasa tanpa garis tepi, menatap mendung yang tak jua menggemerintikkan butiran hujan. Dan entah mengapa, lagi-lagi, lelaki tua itu kembali teringat akan lembaran-lembaran kenangan terakhirnya saat masih berkumpul bersama dua anaknya.
Sungguh, masih terasa hangat di lembar memori ingatan lelaki tua itu, saat Wawan kepincut kawan-kawannya yang bekerja di luar negeri (untuk menjadi TKI tentu saja). Hampir setiap hari, ia merengek-rengek agar sang bapak mengijinkannya mengais rupiah di negeri tetangga yang diyakininya akan segera mengubah takdir hidupnya itu. Katanya, ia mulai merasa dihantam bosan hari-harinya hanya dihabiskan di sawah buat membantu bapaknya.

Berkali Wawan bilang pada bapaknya, bahwa ia kepingin mencoba merubah nasibnya seperti Wito, kawan sebayanya yang telah setahun lebih kerja di Arab Saudi. Malahan, ia sudah bisa membelikan motor matic terbaru buat Nuraisyah, adik perempuan semata wayangnya yang baru masuk Aliyah.

Tak kuat mendengar ocehan Wawan saban hari, akhirnya, lelaki tua itu pun meminta bantuan Surip, yang telah lama menjadi calo TKI, kenalan dari desa sebelah, untuk membantu mewujudkan impian anaknya. Tak berselang lama, hanya butuh masa dua bulan, Wawan pun bisa terbang ke Arab Saudi, dengan perjanjian potong gaji setiap bulan buat membayar ongkos dan biaya dia ke Arab yang masih mengutang.
Dan, di bulan kedua sejak kepergiannya ke negeri seribu babu itu, Wawan pun mulai mengirimi uang buat bapaknya lewat wesel pos. Sebagian uang itu ia gunakan buat menyicil hutangnya ke Surip. Lalu sisanya buat membantu bapak sekaligus adiknya, Budi, agar bisa melanjutkan sekolah ke SLTP.

Betapa lelaki tua itu merasa bangga alang kepalang karena sangat tertolong dengan kiriman uang hasil kerja anak tertuanya itu. Tak apalah anak lelakiku jadi kuli di negara tetangga, asalkan dia bisa mendapatkan uang dengan mudah. Daripada hidup di negeri sendiri, tapi berkalang kemelaratan dan sukses jadi pengangguran. Begitu prinsip lelaki tua itu yang semenjak kecil tak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali.
Dua tahun kemudian. Cobaan itu kembali diturunkan Yang Maha Kuasa kepada lelaki tua itu. Wawan, yang di Arab Saudi mengaku bekerja sebagai kuli bangunan, dikabarkan tewas mengenaskan tertimpa beton gedung yang sedang didirikannya. Betapa lelaki tua itu tak bisa menghapus lembar ingatan yang satu ini; saat di siang yang teriknya sedang memanggang tubuhnya yang tengah khsuyuk mencangkul sawahnya, Sudarmi, tetangga terdekatnya datang dengan tergopoh mengabarkan kabar duka itu secara tiba-tiba.

Seketika, tubuh lelaki itu bergetar hebat layaknya bumi yang tengah diguncang geletar gempa. Seluruh energi dalam kujur raganya serasa lesat, lenyap entah ke mana, saat Sumi mengatakan dengan bibir megap-megap bahwa Wawan tewas tertimpa beton bangunan.

Lelaki tua itu hanya berdiri mematung badan laksa manekin yang biasa dipajang di depan toko-toko busana, ia tak mampu berucap sepatah pun huruf saat menyambut kedatangan jenazah putra pertamanya itu. Hanya bebulir bening yang terus mengucur deras, merenangi dua pipi legam tirusnya yang tampak kian mengeriput saja.
Dan sejak saat itulah, lelaki tua yang sudah lama berkarib dengan pelbagai penderitaan, berubah menjadi sosok yang pendiam, tertutup dan suka duduk berlama-lama menyendiri di depan rumah kayunya itu.
***

Lima tahun berlalu. Saat lelaki renta itu berusaha bangkit dan kembali merajut hari-harinya dengan sisa-sisa umurnya yang terus berkurang, mendung kelabu kembali menggayuti leliku hidupnya. Ei, ataukah ini menjadi sebuah pertanda, bahwa sebenarnya Tuhan sangat menyayanginya? Bukankah cobaan demi cobaan yang diberikan oleh Tuhan itu pada hakikatnya adalah sebagai bukti bahwa Tuhan sangat mengasihi hamba terkasih-Nya?

Budi, putra kedua lelaki tua yang mengaku menjadi pelayan cafe di sebuah hotel mewah dan ternama di kota Jakarta, dikabarkan tewas mengenaskan. Tepatnya, saat terjadinya ledakan bom bunuh diri di hotel mewah tersebut. Dari puluhan nyawa yang melayang, Budi termasuk salah satunya.

***
Lelaki tua itu masih duduk termenung di bangku kayu reyot depan rumahnya. Mendung di angkasa raya masih setia bergelantungan menutup garangnya sang mentari dan birunya lelangit. Beberapa menit kemudian, nampak gerimis mulai luruh satu-satu menebarkan aroma khas tanah yang mengerontang dan retak-retak.
Namun, lelaki tua itu masih tetap duduk menggeming dan terlihat anteng nian. Bahkan, saat rerintik gerimis itu telah berubah menjadi bebuncah hujan, lelaki tua itu tetap geming badan, sementara kedua kelopaknya nampak terkatup rapat.

***
Puring Kebumen, 2009-2011.

Artikel Terkait

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/