Oleh: Karolina Sitepu, SH, MHum
Beberapa bulan lagi, Sumatera Utara (Sumut) kembali akan mengadakan perhelatan akbar, yakni pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Seperti biasa, mendekati event lima tahunan tersebut, berbagai bentuk pendekatan dan sosialisasi sudah gencar dilakukan para bakal kandidat yang akan memperebutkan kursi Sumut-1. Sayangnya, bentuk pendekatan dan sosialisasi yang dilakukan tidak banyak berubah dari sebelumnya.
Sosialisasi masih cenderung sebatas spanduk atau poster dengan janji yang itu-itu saja. Dengan kata lain, materi kampanye masih terkesan klise dan tawar. Belum ada satu bakal calon atau figur yang membawa program yang jelas dan berbeda dari yang lainnya. Bahkan yang kerap terjadi, sosialisasi dan pendekatan tersebut masih terkesan pragmatis dan primordial.
Yang menjadi pertanyaan, apakah kita bisa mengambil hipotesis bahwa dengan metode pendekatan dan sosialisasi yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya akan menghasilkan kualitas pemimpin yang biasa-biasa saja? Harus diakui, dari beberapa figur yang sudah muncul ke permukaan, belum ada satu pun yang benar-benar mengakar dan memiliki ‘tempat’ tersendiri di hati masyarakat Sumut secara umum.
Padahal, melahirkan pemimpin dengan kepemimpinan yang mumpuni tentu tidak bisa seinstan merangkai iklan dan memajang tampang di poster, balibo maupun spanduk yang bertebaran di pohon-pohon dan setiap persimpangan.
Sumut tidak membutuhkan pemimpin dengan budaya instan yang hanya menginginkan kekuasaan saja, namun yang memiliki visi, misi dan idealisme demi menciptakan sejarah baru yang patut dikenang oleh warga Sumut puluhan hingga ratusan tahun mendatang. Bukankah sejarah banyak diukir oleh para pemimpin dengan corak kepemimpinan yang berdampak signifikan bagi warganya? Mengutip pendapat Samuel P. Huntington, bahwa roda sejarah tidak bergerak maju mengikuti pola garis lurus; tetapi, apabila didorong oleh para pemimpin yang berketetapan hati dan terampil, maka roda sejarah itu pasti akan maju.
Sangat disayangkan memang, jika akhir-akhir ini Sumut seperti kehilangan figur-figur pemimpin yang berkualifikasi Sumut, apalagi berkaliber nasional. Sumut juga sepi pemimpin dengan kinerja dan semboyannya yang selalu lekat di ingatan seperti Raja Inal Siregar dengan ‘Marsipature Hutana Be’-nya. Yang ada, Sumut justru disesaki para pemimpin yang doyan mengorupsi uang rakyat yang tentunya memberikan sumbangan besar bagi terpilihnya Sumut sebagai provinsi terkorup ketiga di Indonesia (versi Fitra, 30/09).
Mengkritik Partai Politik
Gersangnya pemimpin berkualitas di Sumut tak lepas dari buruknya kinerja partai politik dalam melakukan regenerasi kepemimpinan di daerah ini. Harus diakui, bahwa partai politik tidak banyak memberikan kesempatan terhadap generasi muda yang berpotensi dalam setiap perhelatan politik di negeri ini. Hasilnya, kepemimpinan Sumut pun seperti kehilangan generasi.
Sesungguhnya, fakta ini sudah tercium sejak berlangsungnya pemilihan gubernur secara langsung di Sumut empat tahun lalu. Kebanyakan figur yang muncul bukanlah mereka yang benar-benar dibesarkan dan dikenal di Sumut. Namun justru pemimpin ‘impor’ yang dibesarkan Jakarta, namun mengaku dirinya ‘terpanggil’ untuk memajukan kampung halamannya. Partai politik sebagai kendaraan utama para figur tersebut seharusnya lebih selektif dan tidak hanya terpaku nilai uang sebagai ongkos dalam menumpangi kereta politik tersebut.
Pertanyaan sekaligus harapan yang sama kembali disuarakan kepada setiap partai politik menjelng perhelatan Pilgubsu tahun 2013 mendatang ini. Masihkan partai politik lebih mengedepankan ego kepentingannya dibandingkan rakyat? Seharusnya partai politik bisa belajar dari ‘bogem keras’ pada Pilkada Jakarta yang baru-baru ini telah menghasilkan gubernur pilihan rakyat, bukan pilihan partai politik. Jika hal ini masih terjadi juga, maka eksistensi partai politik sebagai media pencetak pemimpin bangsa kembali akan dipertanyakan dan berujung pada darurat partai politik.
Jika darurat politik terjadi, maka dipastikan bangsa ini akan berada di ambang kehancuran. Mengingat partai politik adalah sumber dan produsen para pemimpin. Sebab para kader partai politik memiliki otoritas politik yang didukung instrumen negara agar keputusan politiknya diikuti warganya. Dengan kata lain, partai politik sesungguhnya adalah penentu nasib bangsa Indonesia.
Masyarakat Sumut Selektif
Kendati di depan penulis mengatakan bahwa nasib bangsa ini ditentukan partai politik, maka kekuasaan partai politik tersebut sesungguhnya bersumber dari rakyat juga. Jika rakyat benar-benar selektif dalam memberikan kekuasaan tersebut kepada partai politik, maka niscaya kekuasaan rakyat tersebut tidak dijalankan oleh otoritas yang salah. Jika kekuasaan tersebut dijalankan dengan tepat, maka bangsa ini akan sejahtera dengan keputusan-keputusan politik yang akan tercetus dari pemimpin yang dihasilkan partai politik.
Oleh karena itu, hendaknya semboyan vox populi, vox dei (suara rakyat, suara Tuhan) dapat dimanfaatkan masyarakat Sumut dengan baik. Semoga semboyan tersebut tidak berubah menjadi vox populi, vox, argentum (suara rakyat, suara gemerincing uang). Pengalaman dalam kesalahan memilih pemimpin terdahulu hendaknya menjadi pelajaran berari bagi masyarakat.
Pemimpin Berintegritas
Hal-hal primordial seharusnya bukan lagi menjadi sekat-sekat yang mampu menggelapkan mata warga Sumut dalam memilih pemimpinnya lima tahun ke depan. Memori kolektif penderitaan rakyat akibat kesalahan memilih pemimpin harus terus dinyalakan. Oleh karena itu, menghadirkan pemimpin berintegritas adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Sekali lagi, pemimpin berintegritas tentu tidak jatuh dari langit, tidak muncul dari poster-poster dan tidak besar dari pencitraan di berbagai media. Namun seorang pemimpin besar dan berintegritas akan lahir dan bertumbuh bersama masyarakat itu sendiri dan besar oleh kinerja dan pengabdiannya yang berkelanjutan.(*)
Penulis Dosen Fakultas Hukum UNPAB Medan, peserta program doktoral Universitas Utara Malaysia.