La Masia, Rumah Batu Tempat Legenda Sepak Bola Dunia Ditempa
Jika rakyat Indonesia hari-hari ini sedang memperjuangkan terbentuknya tim sepak bola yang tak terkalahkan, warga Barcelona sudah mewujudkannya. Saat ke Spanyol pekan lalu, wartawan Jawa Pos (grup Sumut Pos), Abdul Rokhim menyaksikan bagaimana mimpi itu direalisasikan FC Barcelona melalui La Masia.
Setelah seumur hidup selalu menonton pertandingan tim Barcelona hanya di layar kaca, ada rasa syukur luar biasa saat bisa melihat langsung dan menginjakkan kaki di markasnya, Camp Nou. Bagi maniak bola, stadion terbesar di Eropa sekaligus terbesar ketujuh di dunia itu seakan menjadi tujuan wajib saat berkunjung ke Barcelona.
Pesona Camp Nou menyisihkan pilihan wisata lain yang sebetulnya tak kalah menarik. Misalnya, menyusuri jalur pedestrian terkemuka La Rambla dan mengunjungi karya arsitek Antoni Gaudi yang memenuhi sudut-sudut kota di bibir Laut Mediterania itu.
Sayangnya, saat dikunjungi pada 16 Februari lalu, pemilik Camp Nou, tim Barcelona, sedang menjalani laga tandang babak 16 besar Liga Champions ke Stadion Emirates, markas Arsenal. Namun, kekecewaan itu terobati dengan kepuasaan saat ikut tur bertajuk Camp Nou Experience. Dengan membayar 19 euro (sekitar Rp200 ribu), seluruh pernik tentang tim Barcelona, mulai sejarah berdirinya, ruang ganti pemain, hingga empuknya kursi sang pelatih Pep Guardiola di pinggir lapangan, tuntas dirasakan dalam tempo dua jam.Di antara semua jejak monumen yang membuat FC Barcelona menjadi tim paling disegani di dunia itu, ada satu spot kunjungan yang paling mengesankan. Yakni, La Masia de Can Planes. Memandang dari luar, sulit mencari keistimewaan rumah batu tua cokelat dengan dua lantai dan seluas 610 m2 itu. Arsitekturnya kontras dengan Camp Nou yang menjulang di sebelahnya dengan delapan lantai dan luas hampir enam hektare.
Memang, keistimewaan La Masia yang arti harfiahnya “rumah petani” itu tidak tergambar dari bentuk fisiknya. Tour leader menyebutkan, seluruh warga Barcelona sangat mencintai dan menghormati La Masia. Sebab, La Masia adalah “pabrik” pemain muda berbakat yang rutin memasok skuad utama tim senior Barcelona.
Kesuksesan Barcelona menjadi satu-satunya klub sepanjang sejarah yang memenangi semua (enam) trofi yang diperebutkan pada musim 2009-2010 terjadi karena magis La Masia. Tujuh di antara 11 pemain yang menjadi line up timnas Spanyol saat menjuarai Piala Dunia 2010 adalah alumnus La Masia.
Selain itu, tiga finalis pemain terbaik dunia FIFA 2010, Lionel Messi, Andreas Iniesta, dan Xavi Hernandez, adalah hasil didikan La Masia. Bahkan, La Masia merupakan almamater bagi sejumlah bintang seperti Cesc Fabregas (Arsenal) dan Jose Manuel Reina (Liverpool).
Tak puas dengan informasi saat tur yang serbasingkat dan dijelaskan dari jauh, Jawa Pos kembali mendatangi gedung tua yang dibangun pada 1792 itu. Karena tak ada pagar yang menutupi, La Masia terkesan ramah. Meski belum membuat janji, Jawa Pos disambut ramah seorang lelaki tinggi tegap yang dengan ramah memperkenalkan diri sebagai salah seorang pelatih klub muda Barcelona, Albert Capellas.
Saat itu, siang bolong sekitar pukul 13.00 waktu setempat, suasana La Masia terlihat lengang. Tak tampak penghuni asrama yang berumur 9?15 tahun tersebut. Capellas menyatakan, 10 anak yang tinggal di La Masia sejak pukul 08.00 diantar dengan bus ke sekolah-sekolah terdekat. “Nanti sekitar pukul tiga mereka datang. Namun, Anda tetap tak boleh mengganggu karena mereka harus cepat makan dan tak boleh meninggalkan istirahat siang,” jelas pria 42 tahun itu memperingatkan.
Memang, meski tinggal di akademi sepak bola terbaik di dunia, tak berarti para remaja tersebut sehari-hari hanya disibukkan urusan bola. Bahkan, Capellas menegaskan, sejujurnya para penghuni La Masia tidak banyak mencurahkan waktu untuk bermain bola.
“Dalam sepekan, rata-rata hanya satu setengah jam per hari. Kecuali ada kompetisi, ada lebih sekitar satu jam,” ungkapnya.
Setiap hari, para calon bintang itu malah diminta bekerja keras menyelesaikan tugas sekolah. Setiap pemain juga diharuskan mengikuti kelas tambahan tanpa pembimbing di La Masia setelah pulang sekolah.
“Dengan cara itu, mereka yang gagal masuk ke dunia sepak bola profesional bisa memilih masuk universitas atau mencari pekerjaan,” lanjut Capellas yang juga alumnus La Masia periode 1984-1988 itu atau adik kelas setahun pelatih Pep Guardiola.
Dari daftar kegiatan yang ditulis di sebuah plakat di depan ruang makan, diketahui penghuni La Masia memulai kegiatan pukul delapan pagi dengan berangkat ke sekolah. Kegiatan belajar di luar berakhir pada pukul tiga siang saat makan siang. Setelah tidur siang sejam, mereka belajar secara mandiri selama dua jam. Pukul enam sore, para talenta dari Brazil, Argentina, Hungaria, Georgia, Kamerun, dan Senegal itu berlatih sepak bola secara tertutup di kamp latihan Sant Joan Despi yang berjarak 1 km dari La Masia. Pukul 21.15, mereka makan malam dan lampu asrama dimatikan pukul 23.30.
Sambil menunggu penghuni La Masia pulang sekolah, selama dua jam Capellas mengajak Jawa Pos melihat foto-foto lama mantan penghuni La Masia di sebuah album sekaligus melihat kesibukan para koki di dapur yang sedang mempersiapkan makan siang. Dari foto-foto yang dipampang di dinding, tampak wajah-wajah yang familier seperti Gerard Pique, Iniesta, Xavi, Bojan Krkic, Messi, dan Fabregas, namun dengan penampilan yang jauh lebih muda. “Itu Messi saat umur 14 tahun atau setelah setahun di La Masia. Dia dulu sangat pendiam. Fabregas dan Pique yang setahun lebih senior selalu menggodanya,” ujar Capellas sambil menunjuk seorang remaja imut berambut panjang.
Di dinding ruang makan yang terdiri atas empat meja memanjang, terpampang foto upacara kelulusan kapten Barcelona Carles Puyol dan pelatih Pep Guardiola. Sampai di ruang dapur, yang lebih mirip sebuah bar, terlihat tumpukan telur, tepung, serta kotak besar berisi buah kiwi. “Ini adalah stok makan untuk hari ini dan besok. Semua mengandung gizi terbaik,” tegas Capellas.
Dia kemudian menjelaskan, FC Barcelona memenuhi semua kebutuhan penghuni La Masia dan menanggung semua biaya operasionalnya. Biaya itu, antara lain, membayar beasiswa, uang saku harian, serta akomodasi makan dan tempat tinggal bagi 10 penghuni kamp La Masia serta 50 anak lain yang tinggal di asrama di Camp Nou.
Di luar itu adalah biaya untuk gaji 110 pegawai yang terdiri atas orang dengan berbagai profesi. Ada tim pelatih seperti Capellas, dokter ahli gizi, juru masak, tim keamanan, psikolog, administrasi, hingga petugas kebersihan asrama dan lapangan. “Setiap tahun, tak kurang dari 5 juta euro (sekitar Rp 60 miliar) dana dikeluarkan klub untuk La Masia,” ungkap Capellas.
Jika dibanding nilai pemain yang dihasilkan, (misalnya Messi seorang, seandainya dilepas, Barca akan membanderol di atas 100 juta euro) jumlah tersebut tentu tidak ada artinya.
Saat asyik ngobrol itulah, satu per satu mobil yang mengantar pulang para pemain muda Barcelona dari sekolahnya mulai berdatangan. Dengan menunjukkan ekspresi menyesal, Capellas memohon Jawa Pos keluar. “Di sini kami mengajarkan disiplin, ketertiban, kendali, dan kami mencoba menunjukkan bahwa seorang pemain bola bisa menjadi bintang tanpa harus pamer,” ucapnya.
Agar tamunya tak terlalu kecewa, Capellas meminta salah seorang staf untuk mengantar Jawa Pos ke koordinator akademi sepak bola klub, Albert Puig, di kantor FC Barcelona di salah satu ruang perkantoran di Stadion Camp Nou.
Pria tinggi besar yang rambutnya mulai tipis itu kemudian banyak menjelaskan filosofi sepak bola yang dikenalkan di La Masia. Menurut pemain Barcelona B pada awal 1990-an tersebut, pemain muda Barcelona didoktrin untuk mengendalikan permainan dengan terus menguasai bola. “Hingga pemain berusia 16 tahun, mereka tidak pernah menjalani latihan kebugaran. Cukup berlatih dengan bola,” jelasnya.
Kemudian, setelah berusia 16 tahun, latihan kebugaran seperti fitnes dan aerobik mulai dikenalkan sedikit demi sedikit, namun selalu disatukan dengan latihan dengan bola.
Metode itu, lanjut Puig, membuat pemain memiliki kemampuan luar biasa dalam menguasai bola. “Saat Barcelona bermain, mereka seperti dilarang memainkan umpan-umpan udara. Bola harus menjejak tanah. Umpan-umpan pendek haruslah mengalir cepat. Itulah yang diajarkan di La Masia. Kita pun pasti senang bermain dalam tim seperti ini. Saat kita senang, dengan mudah kita meraih kemenangan,” paparnya.
Adakah klub yang meniru model La Masia, yang hanya memakan biaya hanya sepersepuluh dari uang transfer 50 juta euro bagi Fernando Torres yang dibayar Chelsea ke Liverpool” “Klub lain seperti Real Madrid memiliki satu sistem akademi yang bagus juga. Bedanya, mereka tidak memakai pemain lulusan akademinya. Itu sama dengan membuat satu Ferrari tapi tidak pernah dipakai,” ujar Puig lantas memberikan selamat karena masih sempat mengunjungi La Masia sebelum direstorasi empat bulan lagi.
La Masia memang akan ditutup akhir musim kompetisi 2010-2011 atau sekitar Juni mendatang. Penggantinya adalah fasilitas baru berkapasitas 70?80 orang di Ciudad Deportiva di Sant Joan Despi. “Fasilitas yang baru sangat modern,” ungkap Fuig.
Rumah pengganti La Masia bertambah luas dari 600 meter persegi menjadi 5.000 meter persegi. Dari dua lantai menjadi lima lantai. Dari fasilitas berumur menjadi fasilitas modern. Fruig menjamin, meski pindah ke tempat baru dengan fasilitas yang lebih wah, spirit kebersamaan seperti di rumah batu tua tetap terjaga. “Rumah batu itu begitu mengesankan. Seluruh bintang yang lahir di sini akan selalu menyimpan kebanggaan pernah tinggal di sana,” kata Fruig lantas mengantar Jawa Pos keluar. (*)