Dari Pementasan Nensi oleh Sanggar Air Putih
Alat ukur sukses tidaknya sebuah pementasan menurut saya tidak ada. Belum ada ilmuan yang secara khusus merilis alat yang bisa mengukur tingkat kesuksesan sebuah pertunjukkan, utamanya pentas teater. Utamanya lagi di negeri ini. Utamanya lagi di Medan
dan sekitarnya.
Jadi, proses kreatif setiap pementasan idealnya bisa dibilang sukses. Secara sederhana, Nano Riantiarno bilang pertunjukan teater harus memiliki 3 pilar penyangganya. Yakni pelaku, panggung dan penonton. Jika pementasan itu sudah punya tiga pilar tadi, tentu sudah jadi pementasan. Dan sukses toh?
Agar tidak berkesan memaksakan diri, ukuran suksesnya sebuah pertunjukkan bisa dikembalikan kepada individu masing-masing. Itu akan lebih adil.
Bertekak soal suksesnya sebuah hal bisa dirasa-rasa. Buah pikir yang lahir dari perasaan tak puas otomatis akan jadi alasan untuk bilang tak suka, tak sukses. Satu yang pasti, untuk bisa menilai sebuah pentas itu sukses, ya awak harus nonton pementasan itu sendiri. Kalau menilai dari kejauhan itu namanya menerawang. Bagai dukun.
Prolog ini dibuat untuk menilai pentas Nensi oleh Sanggar Air Putih. Saya ada di sana Sabtu (13/10) lalu di dua pentas, sore pukul 15.00 WIB dan malamnya pukul 20.00 WIB. Di Ruang Tari Taman Budaya Sumatera Utara. Ruang tak cukup besar untuk menampung minat para penonton saat itu.
Dari dua pentas, tersedot 400 lebih penonton. Nyaris 500. Di ruang yang sekali pentas hanya bisa menampung 240 penonton itu, suasana jadi sumpek sekaligus mengharukan. Sumpek utamanya di malam hari. Penonton membludak. Bukan karena tak sempat datang sore harinya lalu hijrah tiketing untuk masuk malam. Penonton yang hadir malam memang membawa tiket malam. Ada juga yang masih beli tiket di lokasi untuk nonton malam.
Mungkin jadi suasana dan pengalaman baru di malam Minggu. Nonton bioskop sudah biasa, bagaimana jika diganti dengan nonton teater. Monolog pula. Sanggar Air Putih melabel pementasan itu dengan monolog. Yang ngomong memang seorang diri oleh Aktor, Ronald Tarakindo Rajagukguk. Tapi di pentas, kejutan berdatangan. Ada tujuh aktor pendukung yang menggebrak dengan kocaknya. ‘Keanehan’ berdatangan di tengah pentas.
Terus kenapa terharu? Ramai. Penonton teater yang mulai punah di kota besar seperti Medan bisa dihitung jari. Tapi saat itu penonton bertubi-tubi datang. Yang bikin saya heran, mereka rela duduk lesehan di bagian depan karena kehabisan kursi. Panitia tampak lari-lari malam itu mencari tambahan kursi. Tapi tak dapat. Akhirnya selain banyak yang duduk melantai, banyak juga yang berdiri di belakang. Berdiri di pintu. Berdiri di pinggir-pinggir dinding. Tapi syukurnya, mereka tertib. Terbahak jika memang harus terbahak karena adegan bahak membahak. Dan diam jika sedang serius. Dan ada yang menitikkan air mata kala pentas diarahkan ke kesedihan yang memilukan.
Intinya, Nensi itu menghibur. Tapi mencoba tak meninggalkan ranah dan kaidah dramaturgi. Soal ini sulit rasanya mengimbangi dramawan nasional bak Nano, Putu Wijaya dan lainnya. Jadi, dasar-dasar saja sudah dikuasai, maka mata penonton saya rasa tidak akan begitu sakit. Mereka akan bisa menerima apa yang disuguhkan dengan gembira. Gurat senyum mengembang jadi fokus utama saya saat itu. Mereka tak merengut apalagi menggerutu itu sudah sebuah acuan, bahwa Nensi diapresiasi. Kalau ada segelintir yang mencaci, itu adalah buah dari pohon yang besar. Apa yang tak dicaci di negeri ini, begitu pula Nensi yang hanya partikel kecil di rimba pementasan teater di kota ini.
Setidaknya mereka hadir dan ingin berbagi kebahagian. Mereka tak menyimpan sendirian apa yang ada di benak. Sanggar Air Putih mesti baru lahir (Juni 2010) nyatanya cukup meyakinkan dengan konsep-konsep hiburannya.
Dan Nensi adalah hiburan bagi saya. Hiburan yang dikemas dengan tragis. Romantisme akut yang berujung kepada matinya cinta. Atas nama cinta pula, tokoh Boynal yang diperankan Ronald Tarakindo Rajagukguk mencoba menjadi pria dengan banyak cinta. Mencintai dengan caranya yang banyak dilakukan laki-laki di dunia. Pengumbar cinta demi eksistensi sementara. Demi jati diri dari kesemuan yang lagi-lagi diatasnamakan cinta. Dan akhirnya jadi tragis.
Menyakiti wanita-wanita jadi biasa. Lalu ketika disakiti, Boynal tak kuasa. Dia memilih menjadi biang pesta. Di sini kejutan dihadirkan lewat sekelompok temannya. Gangnam Style yang sedang hits di dunia dipanggungkan. Di balik hati dan wajah yang ceria, ada luka menganga di lubang jantung Boynal. Nensi, sang tokoh utama yang diperankan secara maya, adalah cinta sejatinya. Kenal dari dulu, memadu kasih lalu akhirnya memilih cinta yang lain. Nensi mati di tangan Boynal. Tak digambarkan nyata. Tapi pada akhirnya Nensi yang bermake-up dan berdandan manis didiamkan di rumahnya. Di atas kursi roda. Digiringnya ke sana kemari. Diajak bermain. Bercanda. Tapi Nensi sudah jadi almarhumah. Ending yang tragis. Mereka menghibur dengan tragis. Menguras air mata. Jika lebih maksimal, Ronald diyakini bisa membuat seisi ruangan menangis meratapi kesedihannya di atas panggung. Namun jelang ending, stamina tampak melorot. Suara mulai hilang. Beruntung pesan tetap tersalur.
Musik menjadi elemen sangat penting pada pentas Nensi. Membuat intro dengan lagu ciptaan. Lalu mengiringi dengan lagu-lagu tenar yang sudah biasa didengar. Itu adalah hiburan tersendiri. Ngepop. Tapi justru bisa dinikmati. Ada lagu lawas: Bunga Terakhir oleh Romeo. Itu jadi pengantar pentas ini plus lagu Cinta yang dipopulerkan oleh almarhum Chrisye. Untuk alasan simple, Nensi juga merekam beberapa lagu. Kekurangannya? Nensi? Tentu banyak. Jika dirunut satu-satu halaman ini tak akan cukup. Tapi dengan segenap hiburan yang ditawarkan, kekurangan Nensi menjadi minimal. Walau itu tadi, mereka menghibur penonton dengan cara tragis. (*)