Geliat Lokananta, Studio Musik Pertama Indonesia, untuk Bertahan Hidup
Kehadiran sejumlah musisi dan band top tanah air untuk rekaman cukup membantu Lokananta bernapas. Untuk menambah dana, lahan kosong pun dimanfaatkan buat lapangan futsal.
PANJI DWI ANGGARA, Solo
SIAPA saja yang memasuki studio musik Lokananta di kawasan Jalan Ahmad Yani, Solo, Jawa Tengah, siap-siap saja untuk dilempar ke masa lampau. Betapa tidak. Di dalam studio berumur 56 tahun yang berada di bawah Perum Percetakan Negara RI (PNRI) itu yang dominan adalah kondisi sunyi, kesan tua, dan bahkan bagi sebagian orang suasananya cukup menyeramkan.
Tegel berwarna abu-abu, dinding bercat putih kusam, daun pintu bermotif lawas, serta air mancur yang bergoyang ditiup angin di tengah taman memperkuat segala yang lampau itu. Penanda ‘modernitas’ hanya diwakili oleh kehadiran antena bulat kecil televisi berlangganan. “TV berlangganan itu disumbang oleh salah seorang klien kami, Mas,” kata Pelaksana harian (Plh) Kepala Cabang Perum PNRI Lokananta Solo Pendi Heryadi.
Padahal, Lokananta adalah sebuah tonggak sejarah musik Indonesia. Diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 29 Oktober 1956, itulah studio musik pertama yang dimiliki Indonesia. Bahkan, satu-satunya yang dimiliki oleh negara hingga sekarang.
Teknologi yang diterapkan Lokananta ketika itu termasuk salah satu yang terbaik di Asia. Di sana tersimpan pula segunung koleksi berharga. Di antaranya, rekaman pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 serta karya-karya masterpiece Gesang, Waldjinah, Buby Chen, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan permainan gending karawitan gubahan dalang ternama Ki Narto Sabdo.
Awal berdiri, ujar Pendi, Lokananta hanya dikhususkan untuk merekam dan memproduksi piringan hitam. Salah satu di antaranya, untuk kebutuhan bahan siaran bagi studio Radio Republik Indonesia (RRI) di seluruh negeri ini. Namun, seiring berjalannya waktu, beragam produk musik seperti kaset dan VCD juga dihasilkan.
Koleksi-koleksi itu kini masih dalam kondisi baik. Meskipun, kleksi-koleksi tersebut disimpan dengan perawatan seadanya. Yakni, hanya dilindungi kapur barus dan bubuk kopi di sekitar area piringan hitam diletakkan.
“Itu berguna untuk mengusir binatang. Sebenarnya jauh dari kondisi ideal yang harus dijaga dalam suhu tertentu. Tapi, yang dipakai untuk bayar listrik AC-nya itu apa,” kata Pendi, lantas tertawa.
Ya, nasib Lokananta kini sebagai perusahaan musik milik negara bisa dibilang memang tidak terlalu baik. Praktis, efeknya juga dirasakan Pendi dan 17 karyawan yang bekerja di tempat tersebut. Status mereka tidak jelas.
“Ya, kalau boleh dikatakan, statusnya itu hanya pegawai lokal. Bukan pegawai BUMN atau bahkan pegawai negeri,” jelasnya.
Kembang kempisnya Lokananta itu terjadi karena per bulan pasak mereka lebih besar daripada tiang. Pengeluaran di atas pendapatan. Pendi menjelaskan, per bulan biaya operasi yang dikeluarkan sekitar Rp45 juta. Itu mencakup gaji pegawai, listrik, air, hingga biaya yang lain.
Sebaliknya, pendapatan Lokananta dari menggandakan CD dan kaset serta penyewaan ruang studio musik hanya Rp30 juta Rp35 juta. Itu berarti setiap bulan defisit Rp10 juta hingga belasan juta rupiah.
Untuk itu, kata Pendi, seizin pimpinannya, sejak 2009, dirinya mencoba memanfaatkan banyaknya lahan kosong untuk dibangun sesuatu yang lebih berguna dan menarik minat. Salah satu di antaranya, mendirikan lapangan futsal dan menyewakan beberapa lahan kepada perusahaan sekitar.
“Soalnya harus bagaimana lagi. Semua daya harus terus kami lakukan. Kalau hanya mengharapkan bantuan, ya tidak mungkin. Untungnya semua karyawan mau diajak bekerja keras. Meskipun, gaji mereka jauh dari ideal,” kata Pendi.
“Sebagai contoh, ada karyawan saya yang sudah kerja 30 tahun, tapi pendapatannya hanya Rp1 jutaan. Kalau yang baru-baru, ya Rp500 ribu hingga Rp750 ribu per bulan,” lanjutnya.
Dari lahan seluas 21.500 meter persegi yang ada di sana, memang baru 35 persen saja yang sudah dibuat bangunan. Itu pun berupa bangunan tua yang hingga kini belum pernah direnovasi besar-besaran.
Total ada tiga bangunan besar di sana. Gedung utama di bagian tengah, studio musik di bagian kiri, dan mes pimpinan di sebelah kanan. Kini gedung utama, selain digunakan untuk kegiatan administrasi, dimanfaatkan sebagai museum alat-alat musik. Di gedung itu pula disimpan 37.000 piringan hitam dengan 5.200 titel lagu.
Dari lahan yang banyak longgarnya itulah tampaknya kesan seram muncul. Apalagi, makna nama Lokananta sendiri sangat mistis: Gamelan di kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh.
“Setiap tamu yang saya ajak ke sini pasti bilang bulu kuduknya merinding. Tapi, alhamdulillah, sudah enam tahun saya di sini tidak ada apa-apa,” kata Pendi yang mulai bertugas di sana pada Agustus 2006.
Selain mendayagunakan lahan-lahan kosong yang menimbulkan kesan suram tersebut, napas Lokananta cukup terbantu oleh kehadiran beberapa penyanyi dan band top tanah air untuk melakukan rekaman di sana dalam beberapa waktu terakhir.
Yang terbaru adalah Glenn Fredly, yang membuat CD penampilannya bertajuk Glenn Fredly and The Bakuucakar Live At Lokananta. Kegiatan merekam di studio itu kemudian dijual bebas agar para pendengarnya mau peduli akan keberadaan studio legendaris itu.
Selain Glenn, beberapa grup musik yang belum lama ini juga menggunakan studio tersebut adalah Sheila on 7, White Shoes, The Couples Company. “Mereka umumnya sangat memuji performa studio ini. Bahkan, mereka mengatakan, jika membuat lagu baru nanti, proses rekamannya akan dilakukan di sini semua,” kata suami Yani Heryani itu.
Pendi dan para staf juga sudah pernah mengaduhkan nasib Lokananta itu kepada pemerintah. Yang terbaru adalah ketika Pendi bersama timnya menghadap wali kota Solo saat itu, Joko Widodo.
Di hadapan Jokowi -sapaan akrab Joko Widodo- Pendi menuturkan situasi yang sebenar-benarnya tentang Lokananta. Merespons laporan tersebut, Jokowi menyatakan siap melakukan apa saja untuk membantu. Bahkan, kalau perlu, mencarikan rekan bisnis.
Rencananya, tanah luas yang berada di sekitar Lokananta disewakan kepada pihak ketiga. Apakah untuk rumah sakit, sekolah, atau hotel. “Yang penting, kata Pak Jokowi saat itu, tidak boleh dibangun mal. Dan, gedung-gedung Lokananta yang ada saat ini tidak boleh hilang atau diubah bentuk,” jelas Pendi.
Namun, sayang, belum terealisasi, sang wali kota keburu naik pangkat menjadi gubernur DKI. “Tapi, saya tetap berharap agar pimpinan daerah yang ada saat ini mau tetap memperhatikan kami,” katanya. (*)