25.6 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Dijuluki Famili 100, Datang dari Batubara

Menelusuri ‘Markas’ Para Pengemis di Medan (1)

Mencari nafkah dengan cara mengemis dianggap sebagai pekerjaan keterpaksaan karena himpitan ekonomi. Tapi, jangan salah. Banyak pengemis yang melakukan pekerjaannya dengan nyaman, seperti yang dilakukan 30 kepala keluarga yang tinggal dalam satu kompleks perumahan di pinggiran Kota Medan ini.

M Sahbainy Nasution, Medan

ILUSTRASI: Seorang pengemis saat beraksi.//Rediyanto/sumut pos
ILUSTRASI: Seorang pengemis saat beraksi.//Rediyanto/sumut pos

Penelusuran ini berawal ketika ada kabar kalau warga yang di Kompleks Veteran Purnawirawan (Vetpur) A Kabupaten Deliserdang (dekat Rumah Sakit Haji Medan) banyak menjadi pengemis. Mulai anak-anak, ibu, dan bapak, semuanya turun ke jalan untuk menengadahkan tangan. Apalagi dikabarkan, para pengemis itu ternyata hidup berkecukupan.

Selang waktu, diketahui kalau di Komplek Vetpur itu ada 30 kepala keluarga (KK) yang mengemis. Dan, ‘pekerjaan’ itu telah berlangsung selama 14 tahun. Hasilnya,  mereka hidup cukup layak. Di kediaman mereka terdapat ponsel canggih, TV, kipas angin, kompor gas, kulkas, bahkan sepeda motor. Wow!
Berbekal informasi itu, Sumut Pos mencoba menelusuri komplek tersebut belum lama ini. Meski dikatakan komplek, tapi huniannya tidak seindah yang dibayangkan. Bangunan kompleks ini hanya berdinding papan yang sudah lapuk dan dilapisi seng-seng yang sudah usang.

Untuk mengorek kebenaran informasi ini cukup rumit dan terpaksa dilakukan pemantauan selama beberapa hari. Pada hari pertama, Sumut Pos sengaja datang pagi buta. Maksudnya, ingin mengintip aktivitas mereka sebelum berangkat mengemis.

Tapi sayang, kedatangan Sumut Pos tidak mendapat sambutan yang baik. Para penghuni komplek langsung curiga. Mereka menutup pintu dan sebagian mengintip dari balik jendela. Memang, seperti informasi yang didapat, para penghuni kompleks tak ingin jati diri mereka diketahui orang luar. Makanya, mereka kompak menutupi pekerjaannya sebagai pengemis.

Tak mau menyerah, esoknya Sumut Pos kembali lagi. Kali ini, waktu yang dipilih adalah sehabis magrib. Maksudnya, untuk melihat aktivitas warga usai mengemis. Tiba di komplek Vetpur, seorang warga yang tinggal di pinggiran tol dekat kampus Unimed dijadikan narasumber. “Saya lihat kalau setiap pagi penghuni komplek menumpang satu mobil angkot untuk keluar dari komplek dan lalu diturunkan di beberapa jalan raya untuk mengemis,” aku wanita berlogat Batak ini.

Kalimat narasumber dadakan itu menguatkan Sumut Pos mengambil langkah nekat: menginap di rumah warga yang dekat dengan komplek tersebut. Untung saja ada seorang warga berbaik hati mau memberi tumpangan. Atas nama pertimbangan keamanan, nama warga itu pun disamarkan, Sumut Pos akan menyebutnya dengan panggilan Uwak saja.

Kesempatan emas itu sayangnya tidak berbuah manis. Malam itu hujan deras. Interaksi dengan warga komplek seperti yang diharapkan jauh panggang dari api.

Tak pelak, melalui Uwaklah informasi digali. “Masyarakat di sini menjuluki warga komplek Vetpur dengan sebutan Famili Seratus,” ungkapnya setelah sekian kali menolak untuk menceritakan tentang warga komplek itu.

Menurut si Uwak, julukan Famili Seratus diambil dari mereka yang berasal dari kampung yang sama, yaitu dari Kabupaten Batubara. “Walaupun mereka tumin alias tukang minta-minta, tapi uang mereka lebih banyak dari pegawai negeri. Karena, satu orang anaknya bisa meraup hasil Rp40 ribu sehari dari mengemis. Belum lagi penghasilan mengemis ibu dan bapaknya. Kalo dihitung, sebulan sudah berapa penghasilan mereka?” kata Uwak dengan tawa renyahnya.

Pertanyaannya, bukankah yang tinggal di komplek itu adalah keturunan veteran atau purnawirawan? Nah, berdasarkan keterangan Uwak maupun Djusman Aritonang (pengacara kasus tanah Vetpur), meski tinggal di kompleks veteran, bukan berarti para pengemis itu adalah mantan pejuang atau veteran. Mereka adalah sipil.

Ceritanya, komplek Vetpur memang dihuni para veteran, tepatnya pada 1982. Saat itu Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memberikan tanah seluas 50 Hektar  yang dibagi-bagi untuk 750 Kepala Keluarga (KK) kala itu. Lalu, tak lama berselang, tanah itupun dibagi menjadi dua bagian atau dipotong untuk  jalan Belawan ke Tanjungmorawa. Akhirnya, komplek itu juga dibagi dua bagian yaitu Vetpur A dan B. Vetpur A diberikan untuk para-para Vetpur yang tidak ada mengalami cacat saat perang, sedangkan Komplek Vetpur B untuk pejuang veteran yang mengami cacatan akibat perang.

Tapi akhirnya, perumahan kompleks tersebut dijual pemiliknya masing-masing (veteran) pada 1984.  Kini, dari jumlah warga yang ada di komplek itu, veterannya hanya 10 persen saja. (bersambung)

Menelusuri ‘Markas’ Para Pengemis di Medan (1)

Mencari nafkah dengan cara mengemis dianggap sebagai pekerjaan keterpaksaan karena himpitan ekonomi. Tapi, jangan salah. Banyak pengemis yang melakukan pekerjaannya dengan nyaman, seperti yang dilakukan 30 kepala keluarga yang tinggal dalam satu kompleks perumahan di pinggiran Kota Medan ini.

M Sahbainy Nasution, Medan

ILUSTRASI: Seorang pengemis saat beraksi.//Rediyanto/sumut pos
ILUSTRASI: Seorang pengemis saat beraksi.//Rediyanto/sumut pos

Penelusuran ini berawal ketika ada kabar kalau warga yang di Kompleks Veteran Purnawirawan (Vetpur) A Kabupaten Deliserdang (dekat Rumah Sakit Haji Medan) banyak menjadi pengemis. Mulai anak-anak, ibu, dan bapak, semuanya turun ke jalan untuk menengadahkan tangan. Apalagi dikabarkan, para pengemis itu ternyata hidup berkecukupan.

Selang waktu, diketahui kalau di Komplek Vetpur itu ada 30 kepala keluarga (KK) yang mengemis. Dan, ‘pekerjaan’ itu telah berlangsung selama 14 tahun. Hasilnya,  mereka hidup cukup layak. Di kediaman mereka terdapat ponsel canggih, TV, kipas angin, kompor gas, kulkas, bahkan sepeda motor. Wow!
Berbekal informasi itu, Sumut Pos mencoba menelusuri komplek tersebut belum lama ini. Meski dikatakan komplek, tapi huniannya tidak seindah yang dibayangkan. Bangunan kompleks ini hanya berdinding papan yang sudah lapuk dan dilapisi seng-seng yang sudah usang.

Untuk mengorek kebenaran informasi ini cukup rumit dan terpaksa dilakukan pemantauan selama beberapa hari. Pada hari pertama, Sumut Pos sengaja datang pagi buta. Maksudnya, ingin mengintip aktivitas mereka sebelum berangkat mengemis.

Tapi sayang, kedatangan Sumut Pos tidak mendapat sambutan yang baik. Para penghuni komplek langsung curiga. Mereka menutup pintu dan sebagian mengintip dari balik jendela. Memang, seperti informasi yang didapat, para penghuni kompleks tak ingin jati diri mereka diketahui orang luar. Makanya, mereka kompak menutupi pekerjaannya sebagai pengemis.

Tak mau menyerah, esoknya Sumut Pos kembali lagi. Kali ini, waktu yang dipilih adalah sehabis magrib. Maksudnya, untuk melihat aktivitas warga usai mengemis. Tiba di komplek Vetpur, seorang warga yang tinggal di pinggiran tol dekat kampus Unimed dijadikan narasumber. “Saya lihat kalau setiap pagi penghuni komplek menumpang satu mobil angkot untuk keluar dari komplek dan lalu diturunkan di beberapa jalan raya untuk mengemis,” aku wanita berlogat Batak ini.

Kalimat narasumber dadakan itu menguatkan Sumut Pos mengambil langkah nekat: menginap di rumah warga yang dekat dengan komplek tersebut. Untung saja ada seorang warga berbaik hati mau memberi tumpangan. Atas nama pertimbangan keamanan, nama warga itu pun disamarkan, Sumut Pos akan menyebutnya dengan panggilan Uwak saja.

Kesempatan emas itu sayangnya tidak berbuah manis. Malam itu hujan deras. Interaksi dengan warga komplek seperti yang diharapkan jauh panggang dari api.

Tak pelak, melalui Uwaklah informasi digali. “Masyarakat di sini menjuluki warga komplek Vetpur dengan sebutan Famili Seratus,” ungkapnya setelah sekian kali menolak untuk menceritakan tentang warga komplek itu.

Menurut si Uwak, julukan Famili Seratus diambil dari mereka yang berasal dari kampung yang sama, yaitu dari Kabupaten Batubara. “Walaupun mereka tumin alias tukang minta-minta, tapi uang mereka lebih banyak dari pegawai negeri. Karena, satu orang anaknya bisa meraup hasil Rp40 ribu sehari dari mengemis. Belum lagi penghasilan mengemis ibu dan bapaknya. Kalo dihitung, sebulan sudah berapa penghasilan mereka?” kata Uwak dengan tawa renyahnya.

Pertanyaannya, bukankah yang tinggal di komplek itu adalah keturunan veteran atau purnawirawan? Nah, berdasarkan keterangan Uwak maupun Djusman Aritonang (pengacara kasus tanah Vetpur), meski tinggal di kompleks veteran, bukan berarti para pengemis itu adalah mantan pejuang atau veteran. Mereka adalah sipil.

Ceritanya, komplek Vetpur memang dihuni para veteran, tepatnya pada 1982. Saat itu Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memberikan tanah seluas 50 Hektar  yang dibagi-bagi untuk 750 Kepala Keluarga (KK) kala itu. Lalu, tak lama berselang, tanah itupun dibagi menjadi dua bagian atau dipotong untuk  jalan Belawan ke Tanjungmorawa. Akhirnya, komplek itu juga dibagi dua bagian yaitu Vetpur A dan B. Vetpur A diberikan untuk para-para Vetpur yang tidak ada mengalami cacat saat perang, sedangkan Komplek Vetpur B untuk pejuang veteran yang mengami cacatan akibat perang.

Tapi akhirnya, perumahan kompleks tersebut dijual pemiliknya masing-masing (veteran) pada 1984.  Kini, dari jumlah warga yang ada di komplek itu, veterannya hanya 10 persen saja. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/