Berkat Teka-teki Silang, 550 Mahasiswa Binus Masuk Guinness World Records
Universitas Bina Nusantara (Binus) patut berbangga. Melalui kreativitas mahasiswanya, kampus di Jakarta itu masuk dalam Guinness World Records (rekor dunia). Apa yang dilakukan para mahasiswa kreatif tersebut?
AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
Pagi itu (11/2), Rudy Lukman kaget. Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Saat pintu dibuka, ternyata yang datang adalah kurir pengantar surat.
Si kurir lantas menyerahkan amplop cokelat kepada Rudy. Setelah dilihat, amplop itu dikirim dari London, Inggris. Di bagian depan, tertulis jelas kepada siapa amplop tersebut diberikan. Yakni, untuk Enricko Lukman yang tak lain adalah putra Rudy.
Saat itu, Enricko masih tidur di kamarnya. Rudy lantas membawa amplop tersebut kepada bungsu di antara dua bersaudara itu. Dengan mata masih memicing, Enricko menerima amplop dari London tersebut. Tampak nya, itu adalah amplop yang ditunggu-tunggu Enricko dan 500 anggota BNEC (Bina Nusantara English Club) sejak tiga bulan lalu.
BNEC adalah semacam unit kegiatan bagi mahasiswa yang menyukai atau ingin memperdalam bahasa Inggris. Organisasi mahasiswa itu didirikan sejak 1995 dan Enricko duduk sebagai penasihat.
Begitu amplop dibuka, Enricko mengulum senyum. Amplop tersebut berisi dua lembar kertas. Satu kertas memuat surat ucapan selamat. Satu lagi adalah sertifikat berkop Guinness World Records.
Di situ tertulis: The most people doing crosswords simultaneously was 550 and was achieved by the Bina Nusantara University English Club (Indonesia). Artinya: rekor terbanyak mengerjakan teka-teki silang (TTS) sebanyak 550 orang yang diraih BNEC.
“Saya tidak memperhatikan surat ucapan selamatnya. Pokoknya, yang saya tahu, kami berhasil membuat rekor dunia. Ini sangat membanggakan kami,” ungkap pria 24 tahun yang tercatat sebagai mahasiswa MIPA di jurusan Teknologi Informasi dan Statistik Binus tersebut kepada Jawa Pos pada Sabtu pekan lalu (19/2).
Saat itu, Enricko ditemui di Pacific Place di kawasan bisnis Sudirman bersama beberapa temannya yang ikut memecahkan rekor.
Prestasi tersebut, bagi Enricko dan teman-temannya, benar-benar membanggakan. Bagaimana tidak, rekor mengisi TTS (crosswords) itu berhasil memecahkan rekor sebelumnya dari Wina, Austria. Di Wina kala itu, yang mengisi TTS adalah 460 orang. Yang juga membuat Enricko cs bangga, di Indonesia, baru kali ini ada organisasi mahasiswa yang mampu mencatatkan rekor di Guinness.
Sebelumnya, pada 2010, Indonesia meraih rekor dunia menyalakan 10 ribu lampion. Acara tersebut diadakan oleh perkumpulan Freedom Faithnet Global, bukan organisasi mahasiswa. “Saya berkorespondensi dengan Guinness World Records dan benar bahwa kami adalah mahasiswa Indonesia pertama yang meraih rekor. Biasanya kan yang pertama yang selalu diingat,” katanya.
Enricko menceritakan, proses meraih rekor dari lembaga asal Inggris itu dilakukan dengan korespondensi via surat elektronik. Prosesnya cukup panjang. Mulai tahap perencanaan, pelaksanaan kegiatan, hingga verifikasi. Awalnya, mereka hendak memecahkan rekor tidak dengan mengisi TTS. Tapi dengan scrabble, sebuah permainan merangkai kata dari huruf-huruf di papan permainan.
Namun, tantangan memecahkan rekor scrabble cukup berat. Sebab, rekor yang ada adalah 2.000 orang. Anak-anak BNEC merasa kesulitan. “Akhirnya, kami memilih teka-teki silang atau crosswords. Lebih realistis,” kata Enricko lantas tersenyum.
Keputusan memilih TTS bukannya tanpa alasan. Mereka juga mengonsultasikannya ke pihak Guinness. Bahkan, proses korespondensi itu sampai memakan waktu dua tahun. Setelah lembaga rekor yang dirintis Sir Hugh Beaver pada 1951 tersebut memberikan lampu hijau, mereka mulai merencanakan.
Pelaksanaan pengisian TTS masal itu jatuh pada 21 Februari 2010 saat progam Smart Day dan 6th Nationwide English Olympics Program. Itu merupakan lomba bahasa Inggris tahunan yang dihelat BNEC. Program tersebut tak hanya diikuti mahasiswa, tapi juga siswa pelajar.
Karena itu, banyak ’sukarelawan’ yang bisa dilibatkan dalam mencetak rekor tersebut. Acara dilaksanakan di foodcourt Binus Kampus Anggrek lantai satu. Awalnya, peserta diregistrasi hingga 600 orang. Mereka kemudian diberi lembar TTS. Pertanyaannya tidak banyak. Delapan pertanyaan mendatar dan tujuh menurun. Total ada 15 pertanyaan. Semua berbahasa Inggris.
Pertanyaannya pun sangat berbau Indonesia. Mulai nama tari-tarian hingga nama alat musik khas. “Kita harus bawa nama Indonesia dong. Sekaligus promosi,” timpal Marcella Einsteins, mahasiswa teknologi informasi.
Para peserta hanya diberi waktu 15 menit untuk mengerjakan. Beberapa detik sebelum berakhir, para panitia bersama-sama menghitung mundur. Dari 600 peserta itu, tak semua sukses mengerjakan TTS. Ada yang kabur sebelum rampung, ada juga yang angkat tangan dan membiarkan beberapa kolom melompong. Akhirnya, hanya 550 peserta yang mampu merampungkan. “Padahal, kami menoleransi minimal lima pertanyaan dijawab,” kata Marcella.
Apakah para peserta tidak mencontek saat mengerjakan teka-teki silang? Enricko menggeleng. Menurut dia, saat TTS dikerjakan, ada pengawas yang hilir mudik. Apalagi, mereka menyewa dua orang sebagai saksi. Yakni, seorang dokter dan pendeta. “Ya kalau ada yang nyontek teman sedikit tidak apa-apa lah,” katanya, lantas terbahak.
Untuk keperluan verifikasi Guinness, mereka mendokumentasikan semua kegiatan. Mulai lembar jawaban TTS, daftar nama peserta, video pelaksanaan, hingga tanda tangan para saksi. Proses melengkapi berkas, kata Enricko, cukup lama. Sebab, mereka harus mengedit video plus beberapa persyaratan lainnya. Video itu pun harus dilengkapi subtitle bahasa Inggris. Berkas itu baru rampung pada November 2010 dan langsung dikirim ke London, markas Guinness.
Enricko menuturkan, Guinness sejatinya menyodorkan dua alternatif penjurian. Selain korespondensi, mereka bisa mendatangkan juri langsung dari Inggris. Syaratnya, juri tersebut harus didatangkan dengan penerbangan kelas bisnis, menginap di hotel bintang empat, plus beberapa fasilitas lain. “Kami hitung, habisnya Rp20 juta-Rp 30 juta,” kata Ciata Wijaya, mahasiswa jurusan sistem informasi, yang juga aktivis BNEC.
Lantas, berapa biaya yang harus dibayar untuk penjurian via korespondensi? “Nol rupiah,” kata Ciata. Dia menambahkan, Guinness bekerja secara profesional. Mereka tidak menuntut upah untuk setiap rekor yang didaftarkan. Yang ditanggung hanya ongkos pengiriman berkas-berkas verifikasi dari Indonesia ke Inggris. Sertifikat dan surat ucapan selamat dikirim ke Indonesia oleh Guinnesss secara cuma-cuma.
Guinness baru memasang tarif jika pendaftar rekor meminta sertifikat lagi. Setiap sertifikat dibanderol GBP 15 atau setara Rp214 ribu. Itu belum termasuk ongkos kirim. “Soalnya kita nggak boleh menggandakan sendiri sertifikatnya. Kan ada hak ciptanya,” kata Ciata. (c5/c4/kum/jpnn)