Terhitung sejak tanggal 13 November 2012 pukul 11.00 WIB Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD membubarkan BP Migas karena bertentangan dengan UUD 1945.
Pasca putusan MK, seluruh kontrak kerja Migas yang dilakukan BP Migas dialihkan ke pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ini dikarenakan putusan MK mengharuskan regulasi BP Migas dialihtangankan ke pihak Kementerian ESDM. Sedangkan untuk urusan kontrak kerja BP Migas dengan perusahaan lain tetap berlaku sampai batas waktu yang ditentukan.
MK mengeluarkan putusan dan membubarkan BP Migas, didasari pengajuan gugatan UUÂ No 22/2001 tentang Migas ke MK oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudddin, mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Ketua MUI Amidhan, mantan Menakertrans Fahmi Idris dan politisi muslim, Ali Mochtar Ngabalin.
Selain itu, ikut menggugat sebanyak 12 ormas Islam. Para penggugat menilai UU Migas yang berlaku itu pro-asing dan meruntuhkan kedaulatan bangsa.
BP Migas adalah badan pelaksana yang dibentuk oleh pemerintah untuk berbisnis (menandatangani kontrak bisnis) dengan para investor (Kontraktor Kontrak Kerjasama/KKKS) atau perusahaan Migas yang beroperasi di Indonesia.
Pembentukan BP Migas adalah sebagai bantalan atau buffer/firewall agar pemerintah tidak terekspos terhadap risiko bisnis.
Jika pemerintah langsung berkontrak dengan investor, maka risiko bisnis di sektor hulu Migas menjadi risiko pemerintah, kecuali jika pengelolaan kegiatan hulu migas diubah dari rezim pertambangan umum.
Perubahan dari bentuk kontrak menjadi izin dampaknya akan sangat luas bagi industri hulu Migas. Atau pilihan lain adalah, peran BP Migas digantikan oleh peran lembaga lain atau BUMN.
Keputusan mutlak MK ini, otomatis akan menimbulkan plus-minus, baik untuk pemerintah, dunia usaha, maupun internal di jajaran KKKS yang ada di seluruh Indonesia.
Minusnya, sekitar enam ratusan karyawan yang selama ini mencari hidup di BP Migas akan tetap kerja atau berpindah ke tempat lain atau bahkan akan menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, jika sebelumnya seorang dosen.
Sedangkan para pengusaha yang sudah memiliki jalinan mesra dengan jajaran BP Migas, otomatis harus memulai dari nol lagi dengan pihak lain, khususnya dalam mendapatkan pekerjaan.
Dari sisi plusnya, otomatis ratusan juta rakyat Indonesia akan segera terselematkan, jika produksi Migas ini benar-benar di kelola secara lebih baik oleh pemerintah.
Persoalannya, apakah pembubaran BP Migas akan benar-benar menjadi pemicu positif untuk kebaikan bangsa khususnya dalam pemenuhan pasar domestik?
Atau pembubaran BP Migas ini hanya untuk mengalihkan atau menggantikan posisi sentral, lagi-lagi untuk keuntungan tertentu? Untuk menjawab semua itu, sudah pasti dikembalikan kepada pemerintah.(*)