Saatnya mendukung. Saatnya memilih. Saatnya putaran Pilgubsu dimulai. Maka, berpestalah karena Pilgubsu sejatinya adalah pesta rakyat. Rakyat yang bersikap. Rakyat yang bersuara. Rakyat ramai-ramai mendukung. Rakyat mendukung ramai-ramai. Bukan partai!
Tapi, partai bisa dianggap sebagai perwakilan rakyat bukan? Ya, bisa saja. Setidaknya, penentuan partai yang bisa mengusung calon gubernur dan calon wakil gubernur kan berasal dari suara rakyat. Ya, berdasarkan kursi di DPRD Sumut yang tentunya hasil dari pilihan rakyat. Artinya, rakyat yang menentukan.
Sayangnya, ketika pemilih calon oleh masing-masing partai, rakyat cenderung tidak dilibatkan. Memang ada survei — hal itu dijadikan acuan bagi partai dalam menentukan calon — tapi pada praktiknya tidak juga sebagai unsur utama. Buktinya, lihatlah apa yang terjadi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan alias PDIP. Adakah Effendi Simbolon yang wakil rakyat dari Jakarta itu termasuk dalam survei? Pun wakilnya, Jumiran Abdi, namanya malah nyaris tak terdengar dalam beberapa bulan terakhir ketika bursa bakal calon begitu marak diperbincangkan.
Namun, begitulah, nanti ketika hari H, 7 Maret 2013, rakyat juga yang menentukan. Sosok tak terduga dari PDIP bisa saja menjadi kuda hitam. Ya, sosok yang tak dikenal kadang bisa mengejutkan bukan?
Pengamat politik Umar Syadat Hasibuan berkata lain. Menurutnya, sosok baru yang bisa mengejutkan adalah sosok seperti Jokowi. Dan, Effendi Simbolon bukan seperti wali Kota Solo tersebut. Effendi sejatinya bukan barang baru di Sumut, meski dia orang Jakarta. Marga Simbolon adalah pengikat anggota Komisi VII itu dengan Sumatera Utara. Sayangnya hal itu bukan sesuatu yang istimewa. Kata Umar, massa yang dibidik oleh Effendi sudah identik dengan RE Nainggolan.
Tapi sudahlah, toh Effendi telah resmi menjadi calon. Masalah dia menang atau tidak kan belum bisa ditentukan. Begitu juga dengan calon lain, yang telah cukup lama menjual wajah dan rencana di bumi Sumut Ini. Kepastian mereka akan menang juga belum diketahuio. Sekali lagi, ini soal pilihan rakyat. Suara rakyat, meski bisa diprediksi, sering menimbulkan kejutan. Misalnya — kembali ke Jokowi — sesuai prediksi dia kan harusnya kalah. Pasalnya, dia dan Ahok didukung PDIP dan Gerindra. Suara dua partai itu masih kalah dengan PKS, Demokrat, dan Golkar. Kenyataannya, pemilih Jokowi dan Ahok malah mengalahkan suara yang memilih PDIP dan Gerindra. Dengan kata lain, pemilih PKS, Demokrat, dan Golkar tersedot oleh pasangan itu bukan?
Nah, Sumut bagaimana? Secara hitungan, Demokrat tentunya memiliki kans paling besar. Partai berlambang mercy itu memilki kursi terbanyak di DPRD Sumut. Partai ini pun bisa memasang calon tanpa harus koalasi dengan partai lainnya. Tapi, itu tadi, benarkah data tersebut bisa menentukan hasil akhir? Entahlah, masih banyak waktu yang bisa membuat rakyat berubah. Artinya, tidak selalu buruk, bisa saja Demokrat malah tampil mendominasi hingga bisa unggul dalam satu putaran saja. Kita tunggu saja. Begitupun terhadap tiga pasangan lainnya Gus Irawan Pasaribu-Soekirman, Gatot Pujo Nugroho-T Erry Nuradi, dan Chairuman Harahap-Fadli Nurzal. Semua pasangan punya peluang yang sama. Meski, ketiga pasangan ini sedikit unik. Ketiganya terlibat dengan beberapa partai yang masih memiliki masalah interen; dualisme kepengurusan partai. Misalnya, ada partai yang mendukung Gus-Soekirman, tapi di sisi lain partai itu (pengurus yang lain) juga mendukung Gatot-Erry. Begitupun di Chairuman-Fadli, ada beberapa partai yang mendukung mereka tapi pengurus lainnya malah mendukung Gus-Soekirman.
Begitulah, soal dualisme memang merepotkan. Butuh perhatian khusus untuk mencari mana yang benar atau sah. Terlepas dari itu, saya senang. Pasalnya – walau entah mana yang benar dan sah – ada sebuah semangat yang berkobar di sana. Ya, tidak mendukung saja sulit, apalagi mendukung bukan? (*)