26.7 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Lumbung Itu tidak untuk Ayam

SUMUTPOS.CO – Berita ini kurang baik. Kilang kebanggaan anak bangsa ini tutup. Tidak terlalu menarik perhatian media, tapi mengusik perhatian saya.

Lokasi kilangnya di pusat pengeboran minyak Cepu. Namanya Cepu tapi wilayahnya Bojonegoro. Saya pernah mengunjunginya.

Saya pikir inilah ayam yang bertelur di lumbung padi. Tidak menyangka. Empat tahun kemudian ayam itu mati.

Berita media tidak terlalu lengkap. Tidak dalam. Menyisakan banyak sekali pertanyaan.

Saya cari nomor HP penggagas kilang ini: Rudy Tavinos. Anak Padang lulusan kimia ITB (1989). “Anak Padang” kelahiran Banjarmasin.

Sungguh saya ingin tahu lebih banyak. Tapi sampai tulisan ini harus terbit belum ada jawaban darinya.

Waktu itu saya sungguh tertarik dengan konsep kilang ini. Kilang pertama yang sepenuhnya didesain oleh anak bangsa. Ya si Rudy itu.

Juga kilang pertama yang ukurannya kecil: 8.000 barel. Kecil tapi desainnya dibuat modular. Kalau kebutuhan lebih besar bisa ditambah modul kedua. Ketiga. Keempat. Dan seterusnya.

Maka ketika kilang itu diberitakan mati saya kaget. Padahal sudah sempat dikembangkan modul kedua.

Ide kilang ini saya anggap brilian: dibangun di dekat sumur minyak.

Dengan demikian tidak perlulah minyak mentah diangkut ke sana ke mari.

Dikumpulkan dulu dari berbagai lapangan. Agar mencapai jumlah tertentu. Baru dikirim ke pengilangan. Padahal kilangnya jauh sekali. Harus di pinggir laut.

Ada minyak mentah yang harus dikirim ke kilang ‘terdekat’ dengan kapal laut. Tanker. Atau dikirim dengan pipa ratusan kilometer. Pastilah biayanya lebih mahal.

Kilang kreasi Rudy ini bisa dibilang ‘kilang mulut tambang’. IRR-nya pasti lebih baik. IRR adalah rumus perhitungan waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal.

Pengusaha biasanya tertarik kepada bisnis yang IRR-nya di atas 14. Modal bisa kembali dalam waktu 5 tahun.

Untuk mewujudkan idenya itu Rudy menggandeng PT TWU. Milik temannya. Jadilah kilang itu populer dengan nama kilang TWU. Belakangan uangnya tidak cukup.

Diundanglah Saritoga, perusahaan keuangan milik grupnya Sandiaga Uno. Yang sekarang menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta Raya. Saratoga memegang saham 70 persen.

Kilang ini memang kecil. Tidak seperti Balongan yang raksasa. Yang bisa sampai 125.000 barel. Hukum membangun kilang memang begitu: harus besar.

Setidaknya dua kali Balongan. Bisa lebih efisien. Namun biayanya juga gajah bengkak: Rp 100 triliun. Sekitar itu.

Mencari pinjaman Rp 100 triliun tidaklah mudah. Apalagi menyediakan modal sendiri. Apalagi IRR untuk sebuah refinery besar kurang dari 10. Tidak menarik. Secara bisnis.

SUMUTPOS.CO – Berita ini kurang baik. Kilang kebanggaan anak bangsa ini tutup. Tidak terlalu menarik perhatian media, tapi mengusik perhatian saya.

Lokasi kilangnya di pusat pengeboran minyak Cepu. Namanya Cepu tapi wilayahnya Bojonegoro. Saya pernah mengunjunginya.

Saya pikir inilah ayam yang bertelur di lumbung padi. Tidak menyangka. Empat tahun kemudian ayam itu mati.

Berita media tidak terlalu lengkap. Tidak dalam. Menyisakan banyak sekali pertanyaan.

Saya cari nomor HP penggagas kilang ini: Rudy Tavinos. Anak Padang lulusan kimia ITB (1989). “Anak Padang” kelahiran Banjarmasin.

Sungguh saya ingin tahu lebih banyak. Tapi sampai tulisan ini harus terbit belum ada jawaban darinya.

Waktu itu saya sungguh tertarik dengan konsep kilang ini. Kilang pertama yang sepenuhnya didesain oleh anak bangsa. Ya si Rudy itu.

Juga kilang pertama yang ukurannya kecil: 8.000 barel. Kecil tapi desainnya dibuat modular. Kalau kebutuhan lebih besar bisa ditambah modul kedua. Ketiga. Keempat. Dan seterusnya.

Maka ketika kilang itu diberitakan mati saya kaget. Padahal sudah sempat dikembangkan modul kedua.

Ide kilang ini saya anggap brilian: dibangun di dekat sumur minyak.

Dengan demikian tidak perlulah minyak mentah diangkut ke sana ke mari.

Dikumpulkan dulu dari berbagai lapangan. Agar mencapai jumlah tertentu. Baru dikirim ke pengilangan. Padahal kilangnya jauh sekali. Harus di pinggir laut.

Ada minyak mentah yang harus dikirim ke kilang ‘terdekat’ dengan kapal laut. Tanker. Atau dikirim dengan pipa ratusan kilometer. Pastilah biayanya lebih mahal.

Kilang kreasi Rudy ini bisa dibilang ‘kilang mulut tambang’. IRR-nya pasti lebih baik. IRR adalah rumus perhitungan waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal.

Pengusaha biasanya tertarik kepada bisnis yang IRR-nya di atas 14. Modal bisa kembali dalam waktu 5 tahun.

Untuk mewujudkan idenya itu Rudy menggandeng PT TWU. Milik temannya. Jadilah kilang itu populer dengan nama kilang TWU. Belakangan uangnya tidak cukup.

Diundanglah Saritoga, perusahaan keuangan milik grupnya Sandiaga Uno. Yang sekarang menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta Raya. Saratoga memegang saham 70 persen.

Kilang ini memang kecil. Tidak seperti Balongan yang raksasa. Yang bisa sampai 125.000 barel. Hukum membangun kilang memang begitu: harus besar.

Setidaknya dua kali Balongan. Bisa lebih efisien. Namun biayanya juga gajah bengkak: Rp 100 triliun. Sekitar itu.

Mencari pinjaman Rp 100 triliun tidaklah mudah. Apalagi menyediakan modal sendiri. Apalagi IRR untuk sebuah refinery besar kurang dari 10. Tidak menarik. Secara bisnis.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/