30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Negara Untung, TKI Buntung

Permasalahan tenaga kerja Indonesia di luar negeri seolah tak kunjung selesai. Maraknya tindakan kekerasan, penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, gaji tak dibayar dan hukuman pancung setiap tahunnya menambah deretan panjang masalah yang berlarut-larut tanpa solusi tuntas penyelesaian dari pemerintah. Baru-baru ini TKI berinisial SM diperkosa oleh 3 oknum polisi Malaysia.

Oleh: Slamet Sudaryono

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, telah mengirimkan surat kepada Pemerintah Malaysia memprotes keras atas dugaan pemerkosaan yang dilakukan tiga polisi negara itu terhadap seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

“Kita sudah menyampaikan protes supaya pelaku dihukum seberat-beratnya,” kata Muhaimin, sebelum Rapat Koordinasi tentang Perburuhan, di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta (Metro TV, 13-14/11/2012). Bahkan muncul iklan obral TKI di Malaysia yang berbunyi ¨Indonesian maids now one sale! 45 persen discount¨.

Manusia diperdagangkan layaknya barang. Di Singapura lebih tragis, bukan sekadar iklan yang ditempel di kaca, tapi para TKW diberikan seragam dan diminta duduk berjajar layaknya barang dagangan untuk dipilih pembeli.
Misalnya di Bukit Timah Plaza, Singapura. Hal itu berdasar informasi yang diterima Anggota Komisi III DPR RI, Eva K Sundari di Jakarta (www.gatra. com, 6/11/12). Tahukah Anda, Indonesia memegang rekor tertinggi jumlah tenaga kerja yang meninggal di luar negeri? Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care mencatat ada 908 tenaga kerja Indonesia (TKI) meninggal dunia di berbagai negara hingga Oktober 2010.

Jumlah ini tidak pernah terjadi atas tenaga kerja negara lain. “Tiap tahun kecelakaan yang dialami TKI merupakan angka paling tinggi di seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. (www.mediaumat.com, 28/11/12)
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Firdaus Badrun mengakui terdapat 4 permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Pertama, terbatasnya kesempatan kerja. Menurutnya, situasi perekonomian Indonesia pada tahun yang akan datang dipenuhi dengan tantangan yang cukup berat dengan adanya krisis ekonomi yang melanda negara Eropa saat ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapat tahun terakhir diklaim meningkat  mencapai 6,4 persen di kuartal dua. Kedua, rendahnya kualitas angkatan kerja.

Berdasarkan data BPS Februari 2012, rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah sebanyak 47,87 persen, SMP 18,28 persen dan yang berpendidikan lebih tinggi termasuk perguruan tinggi hanya 9,72 persen. Ketiga, besarnya pengangguran. Pada Februari 2012 jumlah angkatan kerja berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu pengangguran terbuka mencapai 7,61 juta orang atau 6,32 persen.

Keempat, globalisasi arus barang dan jasa, permasalahan ini sangat terkait dengan bidang ketenagakerjaan. Sebagai contoh dalam sistem perdagangan bebas baik dalam kerangka WTO, APEC, dan AFTA mempengaruhi perpindahan manusia untuk bekerja dari suatu negara ke negara lain.

Negara Diuntungkan

Himpitan ekonomi adalah alasan utama betapa banyak warga Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri. Sekalipun banyak kasus penyiksaan TKI tidak menyurutkan antusias mereka mengadu nasib mengais dolar di negeri orang.
Ini dimanfaatkan perusahaan pengerah TKI (PPTKI) untuk meraih keuntungan bisnis. Bukan hanya PPTKI, menurut Komite Pimpinan Pusat (KPP) Federasi Serikat Pekerja  (FSP) BUMN Bersatu melalui Ketua Presidiumnya, Arief Poyuono, para calon TKI pun harus membayar uang dalam jumlah besar kepada negara.

Sesuai Surat Keputusan No.186 Tahun 2008 yang dikeluarkan  oleh Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Bina-penta) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi setiap  TKI wajib membayar Rp15,5 juta. Ditambah  bunga 18 persen per tahun, uang yang harus dibayar TKI Rp18,29 juta. Negara pun ikut menikmati keringat TKI. Mereka sampai disebut sebagai ‘pahlawan  devisa’ karena berhasil menyumbang devisa bagi negara. Tahun 2009 lalu berdasarkan catatan BNP2TKI, TKI menyumbang devisa sebesar Rp82 trilyun. Itu belum  termasuk uang yang dibawa langsung oleh mereka. Jadi rata-rata per tahun sekitar Rp100 trilyun.

Akar Masalah

Masalah TKI begitu kompleks. Alasan utama kebanyakan TKI bekerja ke luar negeri adalah faktor ekonomi. Kebanyakan mereka adalah orang miskin. Jasa tenaga kerja mereka tidak bisa disalurkan di dalam negeri karena negara tidak menyediakan lapangan kerja yang cukup.

Dengan bahasa lain, negara sebenarnya telah gagal merealisasikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Akar persoalan TKI adalah kemiskinan. Negara gagal menyejahterakan rakyatnya dan mencari jalan pintas untuk menutupi kebobrokan itu. Itulah PR pemerintah: bagaimana menghentikan pengiriman TKI dengan memberikan kesejahteraan bagi mereka?

Hal ini memerlukan perubahan revolusioner, di mana penguasa harus benar-benar memenuhi kebutuhan rakyatnya. Penguasa yang memiliki rasa tanggungjawab untuk memenuhi hak-hak warga negaranya tanpa kecuali. Penguasa yang takut kepada Allah SWT dan bukan tunduk pada asing.

Maraknya kasus yang menimpa TKI sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor. Kita bisa melihat dari faktor ideologis, filosofis, sistemik hingga teknis. Secara ideologis, Kapitalisme-Sekulerisme yang dijadikan sebagai ideologi telah menempatkan asas manfaat sebagai tolak ukur dalam memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikan barang dan jasa.
Faktor inilah yang menyebabkan, tidak dipedulikannya lagi aspek halal-haram ketika memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikan barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat. Dan tentu tidak mengindahkan aspek-aspek yang bisa merusak masyarakat.

Selain faktor ideologis, ada faktor filosofis. Tidak dipungkiri mayoritas TKI adalah perempuan. Bagi sebagian perempuan, bekerja bukan sekedar profesi sampingan, tetapi juga menjadi ajang aktualisasi diri. Dengan peran dan profesi-nya, mereka tidak ingin dianggap masyarakat kelas dua.

Pandangan ini terbentuk karena racun filosofi kesetaraan gender yang ditebarkan oleh negara-negara kafir penjajah. Tujuannya untuk menghancurkan tatanan keluarga dan sosial di negeri-negeri kaum Muslim. Padahal, dengan mereka menjadi ibu dan peng-atur rumah (umm wa rabbatu al-bait) justru mereka dimuliakan, dan dijadikan ratu di rumah-rumah mereka.

Karena seluruh kebutuhan mereka telah dipenuhi oleh kepala rumah tangga, yang tak lain adalah pria yang menjadi suaminya. Faktor ketiga adalah faktor sistemik.
Munculnya TKW, termasuk pengiriman TKW keluar negeri adalah akibat kegagalan sistem ekonomi. Harus diakui, bahwa pemerintah Indonesia tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai untuk rakyatnya. Tidak terse-dianya lapangan pekerjaan bagi rakyat adalah dampak dari kegiatan ekonomi non-riil.

Dengan tingkat pengangguran tiap tahun 9 juta, dan skala pertumbuhan 1 persen untuk 200 ribu tenaga kerja, maka untuk me-nyerap tenaga kerja yang begitu besar, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 45 persen per tahun. Tetapi itu tidak mungkin. Akibatnya, masalah penumpukan tenaga kerja terus menerus terjadi, dan semakin tahun, angkanya terus mengalami peningkatan.
Inilah yang mendorong pemerintah untuk menyalurkan jasa TKI dan TKW keluar negeri. Selain ketiga faktor ini, ada juga faktor teknis, yaitu lambat-nya penyelesaian pemerintah, termasuk tidak adanya perlin-dungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri.

Solusi Kebijakan

Negara Khilafah yang menjadikan Islam sebagai ideologinya, dan halal-haram sebagai tolak ukurnya, serta filosofi wanita sebagai kehormatan yang harus dijaga (‘irdh yajib an yushan), di mana fungsi dan tugas utamanya adalah menjadi ibu dan pengatur rumah, maka justru wanita men-dapatkan kemuliaan dan kehor-matan yang luar biasa. Secara sistemik, sistem ekonomi Islam juga menetapkan bahwa kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban pria dewasa. Bukan kewajiban kaum wanita.

Secara ideologis, halal-haram merupakan tolok ukur satu-satunya dalam Islam untuk menentukan, apakah barang dan jasa (good and service), sebagai alat pemuas kebutuhan itu bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusi, atau tidak? Selain faktor halal-haram, Islam juga menetapkan, apakah barang dan jasa tersebut merusak masyara-kat atau tidak? Jika kedua syarat tersebut terpenuhi, yaitu halal dan tidak merusak masyarakat (ma ‘alaihi al-mujtama’), maka barang dan jasa tersebut bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat.

Di sisi lain, Negara Khilafah akan memacu produktivitas ka-um pria dewasa yang berkewa-jiban untuk mencari nafkah, mu-lai dengan penyediaan lapangan pekerjaan, pelatihan skill dan ketrampilan, hingga pemodalan. Jika belum cukup, Negara Khilafah akan memastikan mereka bekerja dan mencukupi nafkah keluarganya, melalui pembinaan, bahkan jika diperlukan dengan sanksi dan hukuman bagi yang tidak melaksanakan kewajiban dengan baik dan benar.
Untuk menjamin ketersediaan lapangan kerja, kegiatan ekonomi non-riil akan ditutup, digantikan sektor riil. Dengan demikian, produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa, baik di bidang industri, pertanian dan perdagangan akan selalu membutuhkan jumlah jasa yang besar. Dengan begitu, tidak akan lagi ada pengangguran. Jika semua nya ini bisa diwujudkan, maka kondisi yang memaksa kaum perempuan untuk bekerja itu tidak ada lagi.

Kesimpulan

Karena itu, munculnya ma-salah TKW ini sekali lagi tidak bisa dipisahkan dari keempat faktor di atas. Faktor ideologis, akibat dari penerapan ideologi Kapitalisme, dengan asas manfaatnya. Faktor filosofis, karena salah dalam memandang dan mendudukkan wanita, akibat dari racun kesetaraan gender.

Alumni Departemen Sastra Inggris, USU dan Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Permasalahan tenaga kerja Indonesia di luar negeri seolah tak kunjung selesai. Maraknya tindakan kekerasan, penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, gaji tak dibayar dan hukuman pancung setiap tahunnya menambah deretan panjang masalah yang berlarut-larut tanpa solusi tuntas penyelesaian dari pemerintah. Baru-baru ini TKI berinisial SM diperkosa oleh 3 oknum polisi Malaysia.

Oleh: Slamet Sudaryono

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, telah mengirimkan surat kepada Pemerintah Malaysia memprotes keras atas dugaan pemerkosaan yang dilakukan tiga polisi negara itu terhadap seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

“Kita sudah menyampaikan protes supaya pelaku dihukum seberat-beratnya,” kata Muhaimin, sebelum Rapat Koordinasi tentang Perburuhan, di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta (Metro TV, 13-14/11/2012). Bahkan muncul iklan obral TKI di Malaysia yang berbunyi ¨Indonesian maids now one sale! 45 persen discount¨.

Manusia diperdagangkan layaknya barang. Di Singapura lebih tragis, bukan sekadar iklan yang ditempel di kaca, tapi para TKW diberikan seragam dan diminta duduk berjajar layaknya barang dagangan untuk dipilih pembeli.
Misalnya di Bukit Timah Plaza, Singapura. Hal itu berdasar informasi yang diterima Anggota Komisi III DPR RI, Eva K Sundari di Jakarta (www.gatra. com, 6/11/12). Tahukah Anda, Indonesia memegang rekor tertinggi jumlah tenaga kerja yang meninggal di luar negeri? Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care mencatat ada 908 tenaga kerja Indonesia (TKI) meninggal dunia di berbagai negara hingga Oktober 2010.

Jumlah ini tidak pernah terjadi atas tenaga kerja negara lain. “Tiap tahun kecelakaan yang dialami TKI merupakan angka paling tinggi di seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. (www.mediaumat.com, 28/11/12)
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Firdaus Badrun mengakui terdapat 4 permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Pertama, terbatasnya kesempatan kerja. Menurutnya, situasi perekonomian Indonesia pada tahun yang akan datang dipenuhi dengan tantangan yang cukup berat dengan adanya krisis ekonomi yang melanda negara Eropa saat ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapat tahun terakhir diklaim meningkat  mencapai 6,4 persen di kuartal dua. Kedua, rendahnya kualitas angkatan kerja.

Berdasarkan data BPS Februari 2012, rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah sebanyak 47,87 persen, SMP 18,28 persen dan yang berpendidikan lebih tinggi termasuk perguruan tinggi hanya 9,72 persen. Ketiga, besarnya pengangguran. Pada Februari 2012 jumlah angkatan kerja berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu pengangguran terbuka mencapai 7,61 juta orang atau 6,32 persen.

Keempat, globalisasi arus barang dan jasa, permasalahan ini sangat terkait dengan bidang ketenagakerjaan. Sebagai contoh dalam sistem perdagangan bebas baik dalam kerangka WTO, APEC, dan AFTA mempengaruhi perpindahan manusia untuk bekerja dari suatu negara ke negara lain.

Negara Diuntungkan

Himpitan ekonomi adalah alasan utama betapa banyak warga Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri. Sekalipun banyak kasus penyiksaan TKI tidak menyurutkan antusias mereka mengadu nasib mengais dolar di negeri orang.
Ini dimanfaatkan perusahaan pengerah TKI (PPTKI) untuk meraih keuntungan bisnis. Bukan hanya PPTKI, menurut Komite Pimpinan Pusat (KPP) Federasi Serikat Pekerja  (FSP) BUMN Bersatu melalui Ketua Presidiumnya, Arief Poyuono, para calon TKI pun harus membayar uang dalam jumlah besar kepada negara.

Sesuai Surat Keputusan No.186 Tahun 2008 yang dikeluarkan  oleh Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Bina-penta) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi setiap  TKI wajib membayar Rp15,5 juta. Ditambah  bunga 18 persen per tahun, uang yang harus dibayar TKI Rp18,29 juta. Negara pun ikut menikmati keringat TKI. Mereka sampai disebut sebagai ‘pahlawan  devisa’ karena berhasil menyumbang devisa bagi negara. Tahun 2009 lalu berdasarkan catatan BNP2TKI, TKI menyumbang devisa sebesar Rp82 trilyun. Itu belum  termasuk uang yang dibawa langsung oleh mereka. Jadi rata-rata per tahun sekitar Rp100 trilyun.

Akar Masalah

Masalah TKI begitu kompleks. Alasan utama kebanyakan TKI bekerja ke luar negeri adalah faktor ekonomi. Kebanyakan mereka adalah orang miskin. Jasa tenaga kerja mereka tidak bisa disalurkan di dalam negeri karena negara tidak menyediakan lapangan kerja yang cukup.

Dengan bahasa lain, negara sebenarnya telah gagal merealisasikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Akar persoalan TKI adalah kemiskinan. Negara gagal menyejahterakan rakyatnya dan mencari jalan pintas untuk menutupi kebobrokan itu. Itulah PR pemerintah: bagaimana menghentikan pengiriman TKI dengan memberikan kesejahteraan bagi mereka?

Hal ini memerlukan perubahan revolusioner, di mana penguasa harus benar-benar memenuhi kebutuhan rakyatnya. Penguasa yang memiliki rasa tanggungjawab untuk memenuhi hak-hak warga negaranya tanpa kecuali. Penguasa yang takut kepada Allah SWT dan bukan tunduk pada asing.

Maraknya kasus yang menimpa TKI sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor. Kita bisa melihat dari faktor ideologis, filosofis, sistemik hingga teknis. Secara ideologis, Kapitalisme-Sekulerisme yang dijadikan sebagai ideologi telah menempatkan asas manfaat sebagai tolak ukur dalam memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikan barang dan jasa.
Faktor inilah yang menyebabkan, tidak dipedulikannya lagi aspek halal-haram ketika memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikan barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat. Dan tentu tidak mengindahkan aspek-aspek yang bisa merusak masyarakat.

Selain faktor ideologis, ada faktor filosofis. Tidak dipungkiri mayoritas TKI adalah perempuan. Bagi sebagian perempuan, bekerja bukan sekedar profesi sampingan, tetapi juga menjadi ajang aktualisasi diri. Dengan peran dan profesi-nya, mereka tidak ingin dianggap masyarakat kelas dua.

Pandangan ini terbentuk karena racun filosofi kesetaraan gender yang ditebarkan oleh negara-negara kafir penjajah. Tujuannya untuk menghancurkan tatanan keluarga dan sosial di negeri-negeri kaum Muslim. Padahal, dengan mereka menjadi ibu dan peng-atur rumah (umm wa rabbatu al-bait) justru mereka dimuliakan, dan dijadikan ratu di rumah-rumah mereka.

Karena seluruh kebutuhan mereka telah dipenuhi oleh kepala rumah tangga, yang tak lain adalah pria yang menjadi suaminya. Faktor ketiga adalah faktor sistemik.
Munculnya TKW, termasuk pengiriman TKW keluar negeri adalah akibat kegagalan sistem ekonomi. Harus diakui, bahwa pemerintah Indonesia tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai untuk rakyatnya. Tidak terse-dianya lapangan pekerjaan bagi rakyat adalah dampak dari kegiatan ekonomi non-riil.

Dengan tingkat pengangguran tiap tahun 9 juta, dan skala pertumbuhan 1 persen untuk 200 ribu tenaga kerja, maka untuk me-nyerap tenaga kerja yang begitu besar, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 45 persen per tahun. Tetapi itu tidak mungkin. Akibatnya, masalah penumpukan tenaga kerja terus menerus terjadi, dan semakin tahun, angkanya terus mengalami peningkatan.
Inilah yang mendorong pemerintah untuk menyalurkan jasa TKI dan TKW keluar negeri. Selain ketiga faktor ini, ada juga faktor teknis, yaitu lambat-nya penyelesaian pemerintah, termasuk tidak adanya perlin-dungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri.

Solusi Kebijakan

Negara Khilafah yang menjadikan Islam sebagai ideologinya, dan halal-haram sebagai tolak ukurnya, serta filosofi wanita sebagai kehormatan yang harus dijaga (‘irdh yajib an yushan), di mana fungsi dan tugas utamanya adalah menjadi ibu dan pengatur rumah, maka justru wanita men-dapatkan kemuliaan dan kehor-matan yang luar biasa. Secara sistemik, sistem ekonomi Islam juga menetapkan bahwa kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban pria dewasa. Bukan kewajiban kaum wanita.

Secara ideologis, halal-haram merupakan tolok ukur satu-satunya dalam Islam untuk menentukan, apakah barang dan jasa (good and service), sebagai alat pemuas kebutuhan itu bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusi, atau tidak? Selain faktor halal-haram, Islam juga menetapkan, apakah barang dan jasa tersebut merusak masyara-kat atau tidak? Jika kedua syarat tersebut terpenuhi, yaitu halal dan tidak merusak masyarakat (ma ‘alaihi al-mujtama’), maka barang dan jasa tersebut bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat.

Di sisi lain, Negara Khilafah akan memacu produktivitas ka-um pria dewasa yang berkewa-jiban untuk mencari nafkah, mu-lai dengan penyediaan lapangan pekerjaan, pelatihan skill dan ketrampilan, hingga pemodalan. Jika belum cukup, Negara Khilafah akan memastikan mereka bekerja dan mencukupi nafkah keluarganya, melalui pembinaan, bahkan jika diperlukan dengan sanksi dan hukuman bagi yang tidak melaksanakan kewajiban dengan baik dan benar.
Untuk menjamin ketersediaan lapangan kerja, kegiatan ekonomi non-riil akan ditutup, digantikan sektor riil. Dengan demikian, produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa, baik di bidang industri, pertanian dan perdagangan akan selalu membutuhkan jumlah jasa yang besar. Dengan begitu, tidak akan lagi ada pengangguran. Jika semua nya ini bisa diwujudkan, maka kondisi yang memaksa kaum perempuan untuk bekerja itu tidak ada lagi.

Kesimpulan

Karena itu, munculnya ma-salah TKW ini sekali lagi tidak bisa dipisahkan dari keempat faktor di atas. Faktor ideologis, akibat dari penerapan ideologi Kapitalisme, dengan asas manfaatnya. Faktor filosofis, karena salah dalam memandang dan mendudukkan wanita, akibat dari racun kesetaraan gender.

Alumni Departemen Sastra Inggris, USU dan Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/