Anda ingin menjadi penulis, pengarang, cerpenis, prosais, novelis, atau apapun istilahnya? Maka, akan saya tanya dulu, berapa kata yang Anda kuasai? Bisakah Anda menghitungnya? Setelah itu, dari kata yang Anda kuasai, berapa kata yang bisa Anda definisikan?
Dialog di atas saya sampaikan ketika ada seorang kawan yang ingin belajar menulis. Ya, dalam pekan lalu. Setelah mendapat pertanyaan saya, kening dia langsung berkerut. Dia berpikir. Mungkin, mencoba menghitung kata yang dia miliki.
Tapi, tak berapa lama kemudian dia berkata, “Banyak!”
Lalu, saya langsung menyambar jawabannya itu, “Sebutkan.”
Dia bingung. “Banyak kali lah Bang, kan tiap hari aku gunakan kata-kata saat berbincang,” jawab dia.
Saya tersenyum. Begitulah, saya maklum dengan kebingungannya. Hingga kini, di usia 34 tahun, saya pun belum pernah bisa menghitung kata yang saya kuasai. Jangankan jumlah kata, definisi dari kata yang biasa digunakan sehari-hari saja, saya masih tak begitu mahir. Misalnya kata rumah, adakah yang bisa menyebutkan definisinya? Saya mendefinisikan kata rumah sebagai sebuah tempat untuk tinggal yang memiliki atap, dinding, pintu, jendela, kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, ruang makan, dapur, teras, pagar, taman kecil, dan sebagainya. Benarkah itu? Belum tentu, pasalnya ada juga yang mendefinisikan rumah sebagai tempat beristirahat, tempat berlindung, tempat berkumpul dengan keluarga, dan sebagainya. Ada juga yang mendefinisikan rumah sebagai kotak yang tersekat-sekat dan tertutup hingga privasi terjaga. Tentunya masih banyak definisi rumah yang lain biasanya tergantung siapa yang menjawab. Bisa bayangkan definisi untuk kata lain?
Maka, untuk menggampangkan hal itu, lihat saja kamus. Nah, dengan melihat kamus, maka kita bisa dikatakan tidak mengusai kata rumah dan yang lainnya bukan?
Sementara, di saat kita masih mencoba menghitung kata yang kita kuasai, di saat itu pula serangan kata baru begitu hebat. Sebut saja bahasa asing yang tiba-tiba mucul dan trend diucapkan. Contohnya kondusif (kata ini telah diserap bahasa Indonesia). Kata ini mulai akrab di telinga kan beberapa tahun ke belakang. Sebelumnya kita biasa menggunakan kata aman, terkendali, nyaman, dan sebagainya untuk makna yang sama dengan kondusif tadi. Akibatnya, kata aman, terkendali, dan nyaman mulai terlupakan. Apalagi, ketika ada pejabat atau publik figur yang menggunakan kata kondusif, khalayak pun ikut. Ujung-ujungnya, tiga kata tadi menyempit ke satu kata saja: kondusif. Artinya, pembendaharaan kata yang kita miliki tergerus jumlahnya. Lalu, bisakah kita mendefinisikan kata aman, terkendali, dan nyaman tadi secara spontan?
Selain serangan bahasa asing, ada pula bahasa daerah yang mulai punah (jarang digunakan) tiba-tiba kembali sering diucapkan gara-gara ada pejabat yang menggunakan kata itu. Contohnya kata blusukan yang sering digunakan Joko Widodo alias Jokowi. Kata blusukan yang berasal dari bahasa cakapan suku Jawa itu cukup mengganggu bukan? Sebelumnya kita kan akrab dengan akronim sidak (inspeksi mendadak) untuk makna yang sama dengan blusukan tadi. Tak sampai di situ, Presiden Susilo Bambang Yudhono pun sekarang mulai melakukan hal yang sama dengan Jokowi. Namun, dia tidak menggunakan kata blusukan atau sidak. Orang-orang di sekitarnya malah mengatakan apa yang dilakukan SBY itu adalah turba. Artinya, turun ke bawah. Bah!
Ada lagi serangan dari bahasa klasik. Artinya, bahasa itu sejatinya bahasa Indonesia tapi jarang digunakan. Dia muncul atau dipaksa muncul oleh seseorang untuk mencuri perhatian. Misalnya apa yang dilakukan artis Syahrini. Ya kata yang dimaksud adalah cetar, badai, dan membahana. Ketiga kata itu sejatinya cukup akrab di telinga orang Indonesia bukan? Namun, ketiga kata itu kan jarang digunakan dalam bahasa cakapan. Nah, Syahrini memunculkan itu kembali hingga banyak pula yang mengikutinya.
Pertanyaannya, dengan adanya tiga serangan di atas, bisakah kita tak terganggu dalam usaha membendaharai kata yang kita kuasai? Ayolah, kata-kata begitu cepat berganti dan mengikuti trend untuk diucapkan.
“Tapi, Bang, yang penting dalam menulis kan komunikasinya. Kalau yang nulis dan yang baca sudah nyambung kan selesai,” serang kawan saya tadi yang ingin menjadi penulis.
Saya tertawa. Saya katakan padanya, maksud pertanyaan di awal lantun tadi bukan berarti menyalahkan serangan kata-kata yang tiba-tiba muncul atau hadir kembali. Maksudnya saya, karena kita menggunakan bahasa Indonesia dalam menulis dan berbicara dengan bahasa Indonesia juga, kadang kita lupa dengan pengusaaan bahasa kita itu. Seorang penulis dipercayai memiliki perbendaharaan kata yang lebih banyak dibanding dengan orang yang bukan penulis. Jadi, ketika penulis hanya memiliki perbendaharaan kata yang terbatas, apa yang akan dia tulis?
Lalu, saya katakan pada dia untuk tidak patah arang. Pasalnya, saya pun mengalami masalah yang sama. Ya, seperti yang saya katakan tadi, saya belum bisa mengatakan jumlah kata yang saya kuasai. Kata yang saya kuasai pun kadang sering hilang dan muncul tak beraturan. Sebagai orang yang ingin menjadi penulis (syukur jika ada yang sudah mengakui) saya malah memakai trik. Trik yang saya maksud, saya tidak berusaha memaksakan diri untuk memakai kata-kata yang belum saya kuasai benar. Dalam karya saya tidak ditemukan kata jelaga, saujana, dan sebagainya. Kenapa? Karena saya tidak begitu yakin menggunakan kata itu dan karena tidak begitu yakin pula dengan maknanya. He he he he he.
“Berarti aku bisa jadi penulis, Bang!” teriak kawan tadi penuh semangat.
Saya tertawa. “Ya, siapa yang larang? Tapi, kuasai dulu kata yang kau kuasai,” balas saya.
Sial. Jawaban saya malah membuat keningnya berkerut lagi.
“Tenang kawan. Tulislah apa yang kau mau tulis. Jangan berpikir untuk membuat sesuatu yang langsung cetar, badai ,dan membahana. Supaya kuat tulisanmu, mulailah blusukan dan turba supaya saat kau menulis bisa kondusif,” balas saya.
Ha ha ha ha. (*)