JAKARTA – Pengamat politik AS Hikam menilai cara-cara yang digunakan Partai NasDem untuk menyelesaikan konflik internalnya cenderung otoriter. Menurutnya, Partai NasDem ternyata tidak mampu mengelola berbedaan.
Karena itu ia mulai berpikiran “restorasi” yang selama ini diusung NasDem sebenarnya bukan berarti perbaikan dan perubahan. Ia menilai, restorasi yang dimaksud bisa saja berarti kembali ke sistem otoriter Orde Baru.
“Maka tidak mengherankan jika Nasdem sangat mengedepankan pendekatan dari atas dan menyirik perbedaan pendapat,” ujar Hikam kepada wartawan di Jakarta, Kamis (24/1).
Hal ini diungkapkan Hikam setelah mencermati peristiwa yang menimpa Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Barat Rustam Effendi yang kemarin petang dikabarkan telah didatangi oleh lebih dari 50 orang preman. Para preman itu meminta Rustam untuk menandatangani surat pengangkatan Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai NasDem.
“Kalau informasi Rustam Effendi (RE), Ketua DPW NasDem Jabar sahih, maka tesis dasar saya mengenai partainya Surya Paloh (SP) itu makin terbukti,” ujar Hikam.
Dengan adanya insiden ini Hikam berharap mata masyarakat akan terbuka dan melihat wajah asli Partai NasDem. Ia menegaskan bahwa segala usaha untuk mengembalikan kejayaan rezim otoriter harus dilawan.
“Reformasi dan demokratisasi harus terus berlanjut, bukan diputar kembali ke masa lalu,” tegasnya.
Sekadar diketahui, perpecahan di tubuh Partai NasDem tidak hanya terjadi di tingkat pusat. Di tinggkat daerah perpecahan juga terjadi.
Tidak lama setelah Ketua Dewan Pakar NasDem Harry Tanoe Soedibjo resmi mengundurkan diri, Ketua DPW Jabar, Rustam Effendi juga menyatakan keluar. Namun, tampaknya keputusan Effendi ditanggapi negatif oleh partainya.
“Saya kemarin sore didatangi lebih 50 orang preman mereka suruh tanda tangan surat dukungan Surya Paloh sebagai ketua umum,” kata Rustam kepada wartawan, Rabu (23/1) kemarin. (dil/jpnn)