25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Tinggal 20 Unit, Berharap Jadi Transportasi Turis

Angkutan becak dayung kian lama, kian tersisih oleh perkembangan zaman. Transportasi yang menggunakan tenaga kaki itu kini hanya tinggal 20 unit di Kota Tebingtinggi.

TUNGGU PENUMPANG: Basri tukang becak dayung menunggu penumpang  Jalan Ahmad Yani Kota Tebingtinggi, Selasa (5/3).//sopian/sumut pos
TUNGGU PENUMPANG: Basri tukang becak dayung menunggu penumpang di Jalan Ahmad Yani Kota Tebingtinggi, Selasa (5/3).//sopian/sumut pos

Di era serba teknologi canggih ini, keberadaan becak dayung memang semakin tersisih. Semakin terasa setelah becak bermotor (betor) lebih digandrungi masyarakat. Selain cepat, ongkos betor tidak jauh beda dengan becak dayung.

Sumut Pos, Selasa (5/2) menelusuri keberadaan tempat mangkal becak dayung menunggu penumpang, tepatnya di Jalan Ahmad Yani Simpang Jalan Iskandar, Tebingtinggi.

Di situ cuma ada seorang penarik becak dayung sedang menanti penumpang. Dalam kesempatan itu, wartawan koran ini menghampiri penarik becak dayung itu untuk menemaninya kongkow-kongkow.

Usai mengawal pembicaraan, ternyata penarik itu bernama Basri (54). Tinggal menetap di Jalan Prof Dr Hamka Kampungbicara Kota Tebingtinggi.
“Saya sudah 20 tahun menjadi penarik becak dayung ini, dari sini lah saya menghidupi istri dan lima orang anak saya,” kata Basri.

Basri kemudian menceritakan keluh kesahnya sebagai penarik becak dayung. Dikatakannya, semenjak 10 tahun terakhir ini keberadaan becak dayung di Kota Tebingtinggi semangkin lama semangkin langka. Angkutan Basri tersaingi oleh angkutan modern seperti angkot, ojek dan betor.

“Kini penarik becak dayung tinggal hanya 20 orang saja, dua tempat mangkal pagi, siang hingga sore di Pasar Senangin dan Jalan Iskandar Muda Kota Tebingtinggi, rata-rata penarik becak dayung sudah berusia lanjut,” bilang Basri.

Terasingnya keberadaan becak dayung jelas mempengaruhi penghasilannya yang didapatnya. Untuk menghidupi kebutuhan keluarga sehari-hari, ditambah lagi kebutuhan sekolah anak, Basri mengaku harus bekerja dari pagi hingga larut malam.

“Perjalanan yang terberat adalah saat menuju jalan tanjakan, memang tenaga ekstra harus dikeluarkan, tak sanggup mangayuh pedal becak, kita turun dan mendorongnya dan penumpang tetap di dalam,” kata Basri.

Pagi hari, sekitar pukul 06.30 WIB, Basri sudah harus bersiap-siap pergi dari rumah mengayuh becaknya menuju Kota Tebingtinggi untuk mengangkut pelanggan tetapnya.

Kebanyakan pelanggannya, kata Basri adalah suku Tionghoa di Kota Tebingtinggi. Untuk mengantar pulang pergi ke pasar penumpang tetapnya itu, Basri mendapat ongkos Rp10 ribu. Jauhnya sekitar 2 kilometer. “Kebanyakan penumpang saya suku Tionghoa, kalau orang kita (pribumi) tak mau lagi naik becak dayung dengan alasan ketinggalan zaman dan lama sampainya,”bilang Basri.

Untuk pendapatkannya, kata Basri tergantung rezeki dan banyaknya jumlah penumpang. Satu harinya menurut Basri bisa mendapat Rp30 ribu hingga Rp40 ribu. Tetapi hari-hari besar seperti Imlek pendapatan kami juga belipat ganda, karena mereka yang naik becak dayung memberikan ongkos lebih.

Setiap malam, menurut Basri kaki di bagian paha dan betis sering mengalami keram dan pegal-pegal, setelah seharian mengayuh. Basri harus menggosoknya dengan minyak kusuk yang disiapkannya. “Jadi setiap hari saya seperti itu, kalau libur dan malas-malas pelanggan bisa direbut orang lain,”ujarnya.

Basri sangat berharap kepada Pemko Tebingtinggi agar bisa melestrikan sarana angkutan becak dayung ini, karena bila tidak diperhatikan, 5 tahun ke depan becak dayung tidak akan terlihat lagi di Kota Tebingtinggi. “Kalau bias becak dayung dijadikan angkutan tamu mancanegera (turis) yang berkunjung di Tebingtinggi, untuk berkeliling-keliling melihat keindahan kota, contohnya saja di Yogyakarata,” kata Basri.

Acin (50), salah seorang penumpang becak dayung warga Kota Tebingtinggi mengaku enggan berpindah angkuta, selain becak dayung. Acin sudah puluhan tahun naik becak dayung bila pergi berbelanja ke pasar tradisional Hongkong di Jalan Senangin Kota Tebingtinggi.

Menurutnya, selain santai, becak dayung tidak berisik seperti angkutan bermorot lainnya. “Ya, kita berharap becak dayung jangan di musnahkan lah, kalau bisa Pemko Tebingtinggi lestarikan keberadaan becak dayung yang semakin terasing keberadannya, karena ini transportasi ramah lingkungan,” bilang Acin. (ian)

Angkutan becak dayung kian lama, kian tersisih oleh perkembangan zaman. Transportasi yang menggunakan tenaga kaki itu kini hanya tinggal 20 unit di Kota Tebingtinggi.

TUNGGU PENUMPANG: Basri tukang becak dayung menunggu penumpang  Jalan Ahmad Yani Kota Tebingtinggi, Selasa (5/3).//sopian/sumut pos
TUNGGU PENUMPANG: Basri tukang becak dayung menunggu penumpang di Jalan Ahmad Yani Kota Tebingtinggi, Selasa (5/3).//sopian/sumut pos

Di era serba teknologi canggih ini, keberadaan becak dayung memang semakin tersisih. Semakin terasa setelah becak bermotor (betor) lebih digandrungi masyarakat. Selain cepat, ongkos betor tidak jauh beda dengan becak dayung.

Sumut Pos, Selasa (5/2) menelusuri keberadaan tempat mangkal becak dayung menunggu penumpang, tepatnya di Jalan Ahmad Yani Simpang Jalan Iskandar, Tebingtinggi.

Di situ cuma ada seorang penarik becak dayung sedang menanti penumpang. Dalam kesempatan itu, wartawan koran ini menghampiri penarik becak dayung itu untuk menemaninya kongkow-kongkow.

Usai mengawal pembicaraan, ternyata penarik itu bernama Basri (54). Tinggal menetap di Jalan Prof Dr Hamka Kampungbicara Kota Tebingtinggi.
“Saya sudah 20 tahun menjadi penarik becak dayung ini, dari sini lah saya menghidupi istri dan lima orang anak saya,” kata Basri.

Basri kemudian menceritakan keluh kesahnya sebagai penarik becak dayung. Dikatakannya, semenjak 10 tahun terakhir ini keberadaan becak dayung di Kota Tebingtinggi semangkin lama semangkin langka. Angkutan Basri tersaingi oleh angkutan modern seperti angkot, ojek dan betor.

“Kini penarik becak dayung tinggal hanya 20 orang saja, dua tempat mangkal pagi, siang hingga sore di Pasar Senangin dan Jalan Iskandar Muda Kota Tebingtinggi, rata-rata penarik becak dayung sudah berusia lanjut,” bilang Basri.

Terasingnya keberadaan becak dayung jelas mempengaruhi penghasilannya yang didapatnya. Untuk menghidupi kebutuhan keluarga sehari-hari, ditambah lagi kebutuhan sekolah anak, Basri mengaku harus bekerja dari pagi hingga larut malam.

“Perjalanan yang terberat adalah saat menuju jalan tanjakan, memang tenaga ekstra harus dikeluarkan, tak sanggup mangayuh pedal becak, kita turun dan mendorongnya dan penumpang tetap di dalam,” kata Basri.

Pagi hari, sekitar pukul 06.30 WIB, Basri sudah harus bersiap-siap pergi dari rumah mengayuh becaknya menuju Kota Tebingtinggi untuk mengangkut pelanggan tetapnya.

Kebanyakan pelanggannya, kata Basri adalah suku Tionghoa di Kota Tebingtinggi. Untuk mengantar pulang pergi ke pasar penumpang tetapnya itu, Basri mendapat ongkos Rp10 ribu. Jauhnya sekitar 2 kilometer. “Kebanyakan penumpang saya suku Tionghoa, kalau orang kita (pribumi) tak mau lagi naik becak dayung dengan alasan ketinggalan zaman dan lama sampainya,”bilang Basri.

Untuk pendapatkannya, kata Basri tergantung rezeki dan banyaknya jumlah penumpang. Satu harinya menurut Basri bisa mendapat Rp30 ribu hingga Rp40 ribu. Tetapi hari-hari besar seperti Imlek pendapatan kami juga belipat ganda, karena mereka yang naik becak dayung memberikan ongkos lebih.

Setiap malam, menurut Basri kaki di bagian paha dan betis sering mengalami keram dan pegal-pegal, setelah seharian mengayuh. Basri harus menggosoknya dengan minyak kusuk yang disiapkannya. “Jadi setiap hari saya seperti itu, kalau libur dan malas-malas pelanggan bisa direbut orang lain,”ujarnya.

Basri sangat berharap kepada Pemko Tebingtinggi agar bisa melestrikan sarana angkutan becak dayung ini, karena bila tidak diperhatikan, 5 tahun ke depan becak dayung tidak akan terlihat lagi di Kota Tebingtinggi. “Kalau bias becak dayung dijadikan angkutan tamu mancanegera (turis) yang berkunjung di Tebingtinggi, untuk berkeliling-keliling melihat keindahan kota, contohnya saja di Yogyakarata,” kata Basri.

Acin (50), salah seorang penumpang becak dayung warga Kota Tebingtinggi mengaku enggan berpindah angkuta, selain becak dayung. Acin sudah puluhan tahun naik becak dayung bila pergi berbelanja ke pasar tradisional Hongkong di Jalan Senangin Kota Tebingtinggi.

Menurutnya, selain santai, becak dayung tidak berisik seperti angkutan bermorot lainnya. “Ya, kita berharap becak dayung jangan di musnahkan lah, kalau bisa Pemko Tebingtinggi lestarikan keberadaan becak dayung yang semakin terasing keberadannya, karena ini transportasi ramah lingkungan,” bilang Acin. (ian)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/