JAKARTA- Kepercayaan publik kepada parpol terus merosot seiring dengan berbagai kasus korupsi yang menyeret kalangan elit parpol. Jatuhnya kepercayaan publik itu bisa berimbas negatif terhadap partisipasi publik di pemilu legislatif yang akan dihelat pada 9 April 2014.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menyatakan, sangat jelas kepercayaan publik kepada parpol menurun. Menurut dia, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan hal itu. Pertama, meningkatnya political literacy atau kesadaran melek politik yang dimiliki publik.
Kita tidak boleh meng-underestimate publik. Mereka makin tahu,” ujar Azyumardi dalam diskusi bertajuk “Masihkah Kita Percaya pada Partai Politik?” di Jakarta, Minggu (10/3).
Kedua, skeptisisme politik. Banyaknya pemberitaan media atas citra negatif parpol menjadi salah satu faktor pemicunya. Pemilih menjadi kehilangan insentif untuk memberikan suara. Tidak ada lagi dorongan ideologis dari publik atas keberadaan partai dengan aliran-aliran yang dimiliki.
“Parpol yang dipersepsikan memiliki basis ideologi kuat tidak berhasil meraih peningkatan suara. Mungkin yang ada adalah penurunan,” ujarnya.
Ketiga, kegagalan parpol memenuhi janji-janjinya dalam pemilu sebelumnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene dimotori Partai Demokrat ternyata lebih senang dengan urusan partai. “Keberadaan Setgab tidak memunculkan pembangunan untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Solusi atas masalah itu, terang Azyumardi, adalah melakukan perubahan demi Pemilu 2014. Menurut dia, parpol bisa memperoleh suara publik dengan menunjukkan kualitas sumber daya manusia melalui calon anggota legislatif masing-masing. “Mereka (anggota dewan) yang sudah di parlemen yang memiliki integritas akan menolong,” kata dia.
Konsultan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Marbawi A. Katon menambahkan, elektabilitas parpol saat ini boleh jadi berada di titik terendah. Kepercayaan publik terhadap parpol saat ini sudah dikalahkan kepercayaan publik kepada media. “Media justru paling dipercaya publik saat ini,” papar dia.
Menurut Marbawi, fenomena demokrasi pluralis tumbuh subur. Hal itu terlihat dari identitas kepartaian yang rendah. Hanya 20 persen publik yang memiliki identitas tersebut. Itu berbanding lurus dengan sentimen antipartai yang tinggi.
“Mereka rata-rata berasal dari kelas menengah atau elite politik yang terpinggirkan. Kalau tidak dikelola, berbahaya. Kekuatan otoriter akan tumbuh,” imbuh dia.(bay/c11/agm/jpnn)