27 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Menggugat Posisi Indonesia dalam Dewan HAM PBB

Pada tahun 2011 lalu Indonesia kembali terpilih sebagai satu dari empat puluh tujuh anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2011 hingga 2014 dengan memperoleh dukungan terbanyak yaitu 148 jumlah suara dari seluruh negara anggota PBB.

Sebelumnya Indonesia juga merupakan anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2006-2007 serta 2007-2010. Indonesia bersama Philipina (183 suara), India (181 suara), dan Kuwait (166 suara) menjadi wakil benua asia yang mengisi pos Dewan HAM PBB periode ini yang berlaku untuk tiga tahun masa jabatan. Keanggotaan ini merupakan yang ketiga kalinya secara berturut-turut dihuni oleh Indonesia setelah dewan ini dibentuk pada tahun 2006 lalu.

Ini merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi kita karena Indonesia masih tetap dipercaya oleh dunia internasional sebagai negara yang mampu mengaplikasikan HAM secara real dalam kehidupan masyarakatnya serta diharapkan juga mampu untuk mengayomi negara-negara lain dalam menciptakan penegakan HAM dan mematuhi kaidah-kaidah kemanusian yang dewasa ini semakin terdegradasi.

Konflik Israel dan Palestina yang tak kunjung berakhir, Korea Utara yang terus mengisolasi diri dari pergaulan dunia, hingga pelanggaran-pelanggaran HAM berat beberapa pemimpin negara dikawasan Afrika, marupakan salah satu tugas yang diemban oleh Indonesia bersama negara lainnya yang juga merupakan anggota dewan HAM PBB untuk segera diselesaikan.

Dunia menilai kerukunan umat beragama di Indonesia sebagai simbol dari terimplementasinya perlindungan hak-hak setiap warga negaranya baik itu hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Indonesia yang dihuni rakyat yang memiliki beragam suku bangsa, agama, kepercayaan, budaya, serta adat istiadat ini dianggap sebagai negara yang mampu menciptakan kedamaian umat manusia meskipun hidup ditengah-tengah berbagai perbedaan.

Pada periode 2009-2010 Indonesia bahkan diberi kesempatan untuk menduduki posisi sebagai Wakil Presiden Dewan HAM yang saat itu dijabat oleh Dian Triansyah Djani.

Kini meskipun jabatan wakil presiden dewan HAM sudah tidak dipangku oleh Indonesia lagi, namun kepercayaan dunia akan kemampuan Indonesia dalam melindungi hak-hak warga negaranya serta mengampanyekan penegakan HAM diseluruh dunia masih utuh diberikan. Hal ini terbukti dari kembali terpilihnya Indonesia untuk menjadi anggota dewan HAM PBB seperti yang telah dijabarkan diatas.

Teori tak Semanis Realita
Namun agaknya pepatah tersebut sangat cocok untuk menggambarkan situasi penegakan HAM yang benar-benar ada di Indonesia. Sebab meskipun dunia internasional mempercayakan kembali Indonesia sebagai anggota dewan HAM PBB, namun fakta yang terjadi mengenai nasib penegakan HAM di Indonesia justru masih sangat memprihatinkan.

Berbagai konflik horizontal yang menyangkut tentang hak-hak dasar manusia masih terus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Negara yang telah menjadikan HAM sebagai salah satu orientasi mutlak dalam menjalankan kehidupan bernegaranya ini ternyata belum mampu untuk mengaplikasikan segala bentuk jaminan akan kebebasan warga negaranya untuk mendapatkan hak asasinya.

Berbagai peraturan yang membahas tentang penegakan HAM telah dibuat oleh Indonesia sebagai instrumen baku untuk menjamin tegaknya hak-hak dasar setiap warga negara Indonesia. Mulai dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dari International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik yang juga merupakan hasil ratifikasi dari International Covenant On Civil And Political Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.

Namun meskipun telah banyak aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi dan menegakan hak-hak dasar warga negaranya, tetap saja itu hanya menjadi mimpi disiang bolong karena tidak diiringi dengan keseriusan dari pemerintah itu sendiri untuk menerapkan aturan tersebut dalam kehidupan nyata sehingga pelanggaran HAM masa lalu hingga kini masih belum ada yang diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah.

Mulai dari Kasus Penumpasan orang-orang yang dianggap antek-antek PKI pada tahun 1966, kasus Tanjung Priok pada tahun 1984 dimana bentrok yang terjadi antara aparat dengan warga sekitar yang berujung pada tewasnya ratusan orang akibat kekerasan dan penembakan, kasus Marsinah pada tahun 1994, peristiwa penculikan aktivis 1998, tragedi trisakti dan semanggi satu dan dua yang memakan korban jiwa mencapai 22 orang baik itu dari kalangan mahasiswa maupun masyarakat sipil, hingga kasus pelanggaran HAM di Aceh, Abepura Papua, Timor Timur, Ambon, Poso, dan banyak lagi yang lainnya.
Namun ironisnya, hingga saat ini belum ada satu pun tersangka yang divonis bersalah oleh pengadilan atas berbagai pelanggaran HAM yang pernah terjadi tersebut.

Menurut data dari Kontras, ada 137 kasus pelanggaran HAM yang disebut oleh Komnas HAM untuk diadili, dari 137 mengerucut menjadi hanya 34 kasus yang didakwa oleh kejaksaan agung. Namun jumlah tersebut kembali berkurang menjadi hanya 18 kasus saja yang diputuskan bersalah oleh pengadilan.

Yang lebih ironis lagi adalah dari semua kasus pelanggaran HAM tersebut, tidak ada satupun yang divonis bersalah setelah mereka yang menjadi pelaku pelanggaran HAM tersebut mengajukan banding. Sungguh-sungguh sangat menyedikan melihat realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terkesan tidak memiliki keseriusan.

Maka hal yang sangat wajar jika Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa begitu dicecar dan ditekan oleh beberapa negara yang kecewa dengan Indonesia saat mengikuti sidang periodik ke 13 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss pada tanggal 23-26 Mei 2012.

Indonesia dianggap sebagai negara yang gagal dalam melindungi dan menegakan hak-hak asasi warga negaranya meskipun telah terpilih sebagai anggota dewan HAM PBB.

Selain dianggap gagal dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, Indonesia juga dianggap gagal dalam melindungi hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan golongan Islam Syiah yang mendapatkan perlakukan diskriminatif oleh pemerintah.

Jika hal ini tidak segera ditanggapi dengan serius oleh pemerintah, maka bukan hal yang mustahil kekecewaan dunia internasional nantinya akan beimbas pada dikucilkannya Indonesia dari pergaulan dunia karena dianggap sebagai negara yang hipokrit dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan tidak mampu melindungi hak-hak kaum minoritas di negaranya. (*)

Penulis: Staf Pusham Unimed

Pada tahun 2011 lalu Indonesia kembali terpilih sebagai satu dari empat puluh tujuh anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2011 hingga 2014 dengan memperoleh dukungan terbanyak yaitu 148 jumlah suara dari seluruh negara anggota PBB.

Sebelumnya Indonesia juga merupakan anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2006-2007 serta 2007-2010. Indonesia bersama Philipina (183 suara), India (181 suara), dan Kuwait (166 suara) menjadi wakil benua asia yang mengisi pos Dewan HAM PBB periode ini yang berlaku untuk tiga tahun masa jabatan. Keanggotaan ini merupakan yang ketiga kalinya secara berturut-turut dihuni oleh Indonesia setelah dewan ini dibentuk pada tahun 2006 lalu.

Ini merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi kita karena Indonesia masih tetap dipercaya oleh dunia internasional sebagai negara yang mampu mengaplikasikan HAM secara real dalam kehidupan masyarakatnya serta diharapkan juga mampu untuk mengayomi negara-negara lain dalam menciptakan penegakan HAM dan mematuhi kaidah-kaidah kemanusian yang dewasa ini semakin terdegradasi.

Konflik Israel dan Palestina yang tak kunjung berakhir, Korea Utara yang terus mengisolasi diri dari pergaulan dunia, hingga pelanggaran-pelanggaran HAM berat beberapa pemimpin negara dikawasan Afrika, marupakan salah satu tugas yang diemban oleh Indonesia bersama negara lainnya yang juga merupakan anggota dewan HAM PBB untuk segera diselesaikan.

Dunia menilai kerukunan umat beragama di Indonesia sebagai simbol dari terimplementasinya perlindungan hak-hak setiap warga negaranya baik itu hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Indonesia yang dihuni rakyat yang memiliki beragam suku bangsa, agama, kepercayaan, budaya, serta adat istiadat ini dianggap sebagai negara yang mampu menciptakan kedamaian umat manusia meskipun hidup ditengah-tengah berbagai perbedaan.

Pada periode 2009-2010 Indonesia bahkan diberi kesempatan untuk menduduki posisi sebagai Wakil Presiden Dewan HAM yang saat itu dijabat oleh Dian Triansyah Djani.

Kini meskipun jabatan wakil presiden dewan HAM sudah tidak dipangku oleh Indonesia lagi, namun kepercayaan dunia akan kemampuan Indonesia dalam melindungi hak-hak warga negaranya serta mengampanyekan penegakan HAM diseluruh dunia masih utuh diberikan. Hal ini terbukti dari kembali terpilihnya Indonesia untuk menjadi anggota dewan HAM PBB seperti yang telah dijabarkan diatas.

Teori tak Semanis Realita
Namun agaknya pepatah tersebut sangat cocok untuk menggambarkan situasi penegakan HAM yang benar-benar ada di Indonesia. Sebab meskipun dunia internasional mempercayakan kembali Indonesia sebagai anggota dewan HAM PBB, namun fakta yang terjadi mengenai nasib penegakan HAM di Indonesia justru masih sangat memprihatinkan.

Berbagai konflik horizontal yang menyangkut tentang hak-hak dasar manusia masih terus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Negara yang telah menjadikan HAM sebagai salah satu orientasi mutlak dalam menjalankan kehidupan bernegaranya ini ternyata belum mampu untuk mengaplikasikan segala bentuk jaminan akan kebebasan warga negaranya untuk mendapatkan hak asasinya.

Berbagai peraturan yang membahas tentang penegakan HAM telah dibuat oleh Indonesia sebagai instrumen baku untuk menjamin tegaknya hak-hak dasar setiap warga negara Indonesia. Mulai dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dari International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik yang juga merupakan hasil ratifikasi dari International Covenant On Civil And Political Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.

Namun meskipun telah banyak aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi dan menegakan hak-hak dasar warga negaranya, tetap saja itu hanya menjadi mimpi disiang bolong karena tidak diiringi dengan keseriusan dari pemerintah itu sendiri untuk menerapkan aturan tersebut dalam kehidupan nyata sehingga pelanggaran HAM masa lalu hingga kini masih belum ada yang diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah.

Mulai dari Kasus Penumpasan orang-orang yang dianggap antek-antek PKI pada tahun 1966, kasus Tanjung Priok pada tahun 1984 dimana bentrok yang terjadi antara aparat dengan warga sekitar yang berujung pada tewasnya ratusan orang akibat kekerasan dan penembakan, kasus Marsinah pada tahun 1994, peristiwa penculikan aktivis 1998, tragedi trisakti dan semanggi satu dan dua yang memakan korban jiwa mencapai 22 orang baik itu dari kalangan mahasiswa maupun masyarakat sipil, hingga kasus pelanggaran HAM di Aceh, Abepura Papua, Timor Timur, Ambon, Poso, dan banyak lagi yang lainnya.
Namun ironisnya, hingga saat ini belum ada satu pun tersangka yang divonis bersalah oleh pengadilan atas berbagai pelanggaran HAM yang pernah terjadi tersebut.

Menurut data dari Kontras, ada 137 kasus pelanggaran HAM yang disebut oleh Komnas HAM untuk diadili, dari 137 mengerucut menjadi hanya 34 kasus yang didakwa oleh kejaksaan agung. Namun jumlah tersebut kembali berkurang menjadi hanya 18 kasus saja yang diputuskan bersalah oleh pengadilan.

Yang lebih ironis lagi adalah dari semua kasus pelanggaran HAM tersebut, tidak ada satupun yang divonis bersalah setelah mereka yang menjadi pelaku pelanggaran HAM tersebut mengajukan banding. Sungguh-sungguh sangat menyedikan melihat realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terkesan tidak memiliki keseriusan.

Maka hal yang sangat wajar jika Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa begitu dicecar dan ditekan oleh beberapa negara yang kecewa dengan Indonesia saat mengikuti sidang periodik ke 13 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss pada tanggal 23-26 Mei 2012.

Indonesia dianggap sebagai negara yang gagal dalam melindungi dan menegakan hak-hak asasi warga negaranya meskipun telah terpilih sebagai anggota dewan HAM PBB.

Selain dianggap gagal dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, Indonesia juga dianggap gagal dalam melindungi hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan golongan Islam Syiah yang mendapatkan perlakukan diskriminatif oleh pemerintah.

Jika hal ini tidak segera ditanggapi dengan serius oleh pemerintah, maka bukan hal yang mustahil kekecewaan dunia internasional nantinya akan beimbas pada dikucilkannya Indonesia dari pergaulan dunia karena dianggap sebagai negara yang hipokrit dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan tidak mampu melindungi hak-hak kaum minoritas di negaranya. (*)

Penulis: Staf Pusham Unimed

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/