Jalanlah di jalanan Kota Medan. Lihat kiri kanan. Anda pasti melihat papan nama sebuah warung atau tempat makan yang menjual nama daerah. Sebut saja ada mie Aceh, sate Blora, sop Langsa, batagor Bandung, dan sebagainya.
Apakah itu salah? Sumpah saya tak mengatakan hal itu tak benar. Saya malah menganggap hal itu langkah yang pintar. Ya, menjual kedaerahan untuk meraih keuntungan. Dan, hal itu biasanya berhasil.
Kasus ini mirip dengan trik dalam menulis, setidaknya terungkap dari beberapa penulis senior yang sempat berbincang dengan saya. Artinya, pengarang yang baik adalah pengarang yang mampu memunculkan kenangan kolektif dalam karyanya.
Akan lebih hebat ketika kenangan kolektif itu mampu menusuk ke kenangan individual.
Misalnya begini, ketika ada pengarang yang menulis kisah tentang tsunami Aceh. Maka secara langsung kenangan terhadap tsunami tersebut, yang dirasakan semua orang, akan mengemuka dan mengajak pembaca menuju tahun 2004. Dari kisah tsunami itu, diceritakanlah kisah cinta di kamp pengungsi. Maka, mereka yang pernah punya kisah di kamp tersebut akan langsung terhanyut. Nah, kisah tsunami adalah kenangan kolektif dan kisah di kamp adalah yang kenangan individual.
Artinya, adalah wajar dan bisa dikatakan benar ketika seorang pengarang mengusung hal semacam itu. Seperti kata Sidney Sheldon dalam otobiografinya, “Buatlah ending yang berpihak pada penonton”. Ya, sang Sidney selain novelis memang dikenal sebagai penulis skenario film bukan?
Nah, dia mengungkapkan kalimat tadi ketika berbicara soal film. Dalam bukunya itu pun dia katakan, film Hollywood cenderung memiliki ending yang seragam: tokoh utama dan pasangannya berpelukan dan berciuman. Kenapa? Ya, seperti katanya tadi: berpihak pada penonton. Lalu, apakah berpelukan dan ciuman adalah keinginan penonton? Jawab Sidney: YA! Dengan kata lain, ciuman dan pelukan adalah kenangan kolektif sekaligus kenangan individual. Siapa orang di dunia yang tak pernah pelukan atau ciuman?
Nah, persis dengan nama daerah yang dijual dalam bisnis kuliner di Medan dan mungkin di semua tempat di dunia. Contohnya begini, sebut saja mie Aceh. Pertanyaannya, berapa jumlah orang yang ada di Medan (bukan warga ber-KTP Medan saja) yang tidak mengenal daerah Aceh? Berapa warga Aceh yang ada di Medan? Berapa banyak orang yang tahu tentang Aceh? Dan, seberapa erat hubungan Medan dan Aceh? Nah, pertanyaan-pertanyaan ini tentunya memiliki daya tarik tersendiri bukan? Bacalah: mie Aceh. Sambil membacanya, bayangkan jawaban dari empat pertanyaan di atas tadi. Sudah dapat hubungannya?
Setelah itu, mari kita bicara soal rasa makanan mie Aceh tadi. Namanya makanan Aceh, maka yang dikenal adalah aneka rempah dengan rasa yang menggiurkan. Maka, berapa banyak orang Medan yang suka makanan kaya rempah? Lalu, berapa orang Medan yang penasaran dengan rasa masakan asal Aceh? Nah, sudah dapat hubungannya?
Dengan dua paragraf yang mengisahkan tentang mie Aceh tadi, unsur kenangan kolektif dan kenangan individual yang kita ungkap dalam karya sastra bisa terlihat bukan? Aceh adalah kenangan kolektif dan rasa menjadi kenangan individual. Maka, inilah jawaban dari apa yang saya maksud dengan tak ada yang salah dengan penamaan bisnis kuliner dengan menjual nama daerah tadi.
Akhirnya, saya beranggapan, apapun bidangnya, silakan gunakan kenangan kolektif dan individual agar meraih untung. Hm, setujukah Anda? (*)