JAKARTA-Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencurigai ada kongkalikong yang melibatkan banyak pihak di balik terbitnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Deliserdang untuk pembangunan puluhan ruko di atas lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II Kebun Helvetia.
Untuk kasus ini Deputi Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Iwan Nurdin, menegaskan langkah Pemkab Deliserdang mengeluarkan IMB juga sudah jelas salah. “Karena lahan statusnya masih sengketa Kalau PTPN melalui Kementerian BUMN sudah melakukan pelepasan, sudah tentu statusnya bukan lagi tanah sengketa,” ujar Iwan.
Menurut alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu, pendirian ruko atau bangunan lainnya di atas lahan sengketa, biasa dimainkan sebagai modus penguasaan lahan. Karena sudah telanjur ada bangunan di atas lahan itu, pihak investor biasanya melobi warga dan pihak PTPN. “Karena sudah ada rukonya, ya sudahnya, warga dikasih ganti rugi berapa gitu, PTPN dikasih berapa, yang akhirnya investorlah yang menikmati keuntungan maksimal atas lahan itu,” kata Iwan.
Dijelaskan, jenis sengketa di lahan PTNI II ada dua macam. Pertama, dulunya merupakan tanah yang ada SK Land Reform-nya, yang diberikan kepada warga sekitar tahun 1967-1968. Lahan diberikan kepada warga sebagai lahan garapan oleh Penguasa Darurat Militer saat itu.
Hanya saja, lanjut Iwan, tanah tersebut tidak diberikan sertifikat kepemilikan, tapi malah belakangan menjadi lahan HGU PTN. “Maka jadilah lahan sengketa,” kata dia.
Kedua, lahan PTPN II saat ini kebanyakan dulunya merupakan tanah adat, yang disewa Kolonial Belanda untuk perkebunan, dengan akta konsesi. Setelah merdeka, mestinya tanah itu dikembalikan ke rakyat. Tapi nyatanya, malah dijadikan lahan HGU PTPN II.
Nah, Iwan menyarakan Komisi A DPRD Sumut, sebelum mengambil langkah pencarian penyelesaian masalah, harus dipastikan dulu, lahan yang di atasnya sudah ada rukonya itu, masuk tipologi sengketa yang mana.
“Komisi A DPRD Sumut harus mendorong dilakukan pemetaan, mana lahan yang dulunya akta konsesi, dan mana yang land reform,” kata dia.
Iwan mengatakan, Kantor Setwapres dan Komisi II DPR, juga sudah menempatkan masalah sengketa lahan di PTPN II ini sebagai prioritas untuk dicarikan solusinya.
Sementara itu Asisten III Pemkab Deliserdang, Rewin, menyebutkan penerbitan IMB dilahan tersebut memang sempat bermasalah. Rewin yang dulunya menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum Pemkab Deliserdang itu, menjelaskan IMB puluhan ruko itu atas nama Syahruddin Riva’i dengan nomor 503.632.86/4282 tertanggal 27 Juni 2011. Riva’i mengajukan permohonan pengurusan IMB, saat itu persyaratan yang diajukan pemohon, surat keterangan tentang pembagian tanah sawah ladang (SKPTSL) tahun 1954.
“Salah satu persyaratanya pengurusan IMB adalah melampirkan surat alas hak atas lahan yang hendak diterbitkan izinnya. Bisa berupa sertifikat hak milik (SHM), surat keterangan desa, surat keterangan camat dan SKPTSL yang diterbitkan oleh Gubernur Sumatera Utara,” bilang Rewin.
Diakuinya, ketika Riva’i mengajukan permohoan pengurusan IMB sempat ditolak Pemkab Deliserdang dengan alasan bahwa lokasi yang dimohonkan masih ada sengketa. Namun, berapa saat kemudian Syahruddin Riva’i, kembali datang dengan membahwa surat keputusan Putusan Mahkamah Agung (MA) RI.
“Seingat saya lahan itu digugat. SKPTSL tahun 1954 milik Syahruddin Riva’i digugat pengugat namun putusan MA memutuskan permohona tergugat ditolak. Artinya SKPTSL milik Syahruddin Riva’i sah. Makanya kita berani memprosesnya,”ungkap Rewin.
Bahkan lanjut Rewin, IMB bukan surat menyebutkan hak milik. Bahkan IMB dapat ditinjau kembali apabila sewaktu waktu menimbulkan permasalahan hukum.
“Kan hak setiap warga negara mengajukan permohonan pengurusan IMB. Tetapi apabila kelak ada permasalahan baik itu masalah surat alas hak tanah, boleh sajanya dicabut. Namun, harus berkekuatan hukum tetap,” tegas Rewin. (sam/btr)